Langsung ke konten utama

TANTANGAN MEWUJUDKAN ANGKUTAN UMUM MASSAL

OLEH: DARMANINGTYAS
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, 25 Oktober 2013


PDFPrintE-mail
INSTRAN.org - Pasangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil  Gubernur Basuki Tjahja Purnama atau dikenal dengan sebutan Jokowi-Ahok menandai masa kepemimpinannya satu tahun dengan melakukan ground breaking pembangunan MRT (mass rapid transit) dan monorail. Warga Jakarta patut mengapresiasi keberanian Jokowi-Ahok untuk memulai pembangunan MRT dan monorail ini karena, bila telah selesai dibangun dan beroperasi, pasti akan berkontribusi besar terhadap pengurangan kemacetan di Jakarta. Kecuali itu, semakin banyak tersedia moda angkutan umum massal itu akan semakin baik bagi warga Jakarta.
Rencana  Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jakarta 2030 juga telah menargetkan pada tahun 2030 tersebut jumlah warga yang akan menggunakan angkutan umum mencapai 60% dari total perjalanan per harinya. Pada saat ini, jumlah perjalanan di DKI Jakarta diperkirakan mencapai 22 juta perjalanan per hari. Pada tahun 2030 itu boleh jadi jumlah perjalanan telah mencapai di atas 30 juta per hari dan 60% nya diharapkan menggunakan angkutan umum. Dengan kata lain, pembangunan kedua infrastruktur, yaitu MRT dan monorail tersebut adalah langkah antisipatif untuk menghadapi lonjakan penumpang angkutan umum yang akan terjadi pada tahun 2030 tersebut. 
Disadari oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jokowi-Ahok bahwa proses pembangunan MRT dan monorail akan menimbulkan kemacetan baru, karena ruang jalan yang ada sebagian akan terambil untuk pembangunan MRT dan monorail. Tapi sebagai pemimpin, Jokowi-Ahok telah menyatakan diri siap dicaci maki oleh warga Jakarta akibat kemacetan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan MRT dan monorail ini. Inilah ciri pemimpin sejati, yang tidak hanya mencari popularitas, tapi juga siap dicaci maki untuk suatu kebijakan yang diambilnya demi kemaslahatan bagi semua warga. Upaya untuk meminimalisir kemacetan dapat dilakukan dengan melakukan rekayasa selama proses pembangunan, seperti pengalihan jalur di jalan tertentu yang kemungkinan akan terjadi stagnan pada saat proses pembangunan. Juga mendorong masyarakat untuk mengurangi perjalanan yang tidak penting atau melakukan perjalanan dengan angkutan umum sehingga selama proses pembangunan, jumlah kendaraan pribadi yang hilir mudik bisa berkurang.
Integrasi Anta Moda
Penulis, sebagai pengguna angkutan umum jelas turut menyambut gembira atas dimulainya pembangunan MRT dan monorail ini karena semakin banyak pilihan yang dapat penulis ambil pada saat akan bepergian, semuanya amat tergantung pada tarif, tujuan perjalanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu perjalanan yang ditawarkan oleh masing-masing moda. Namun sebagai orang yang intens mengikuti perkembangan isu-isu transportasi di Jakarta, izinkan penulis juga memberikan catatan atas pembangunan kedua infrastruktur tersebut. Catatan ini perlu diberikan agar pelaksanaan pembangunan MRT dan monorail sesuai dengan harapan masyarakat untuk menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, selamat, tepat waktu, dan terjangkau sehingga ujung-ujungnya dapat mengurangi kemacetan di Kota Jakarta.  Catatan di awal ini justru diperlukan untuk melakukan perbaikan perencanaan pembangunan yang masih kurang di sana-sini. 
Pertama, untuk MRT secara prinsip memang kota seperti Jakarta amat memerlukan angkutan umum massal yang dalam sekali perjalanan mampu mengangkut seribu orang lebih. Moda angkutan tersebut sebetulnya telah tersedia, yaitu berupa KRL Jabodetabek yang saat ini telah mengangkut sekitar 550.000 penumpang per hari, namun itu bukan milik Pemprov DKI Jakarta, melainkan milik Pemerintah Pusat. Moda tersebut menghubungkan Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya, sedangkan angkutan umum massal yang menghubungkan warga di dalam lingkup Jakarta saja baru tersedia Transjakarta Busway. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta merasa perlu membangun MRT baru yang memiliki jalur Lebak Bulus – Hotel Indonesia (HI) dan kelak diharapkan berlanjut sampai Kampung Brandan. Dengan tersedianya moda angkutan umum massal yang aman, nyaman, dan tepat waktu tersebut diharapkan para pengguna mobil pribadi mau pindah naik MRT. 
Persoalan yang ada pada MRT yang sekarang sedang dimulai pembangunannya itu ada dua, yaitu soal desainnya yang tidak semuanya bawah tanah (subsway) dan jalurnya yang masih terbatas sampai di HI saja. Desain layang itu berdampak pada pengurangan ruas jalan yang ada sehingga akan terjadi kemacetan di bawah rel MRT layang. Dan matinya bisnis elektronik di sekitar kawasan Fatmawati akan mendorong warga Jakarta Selatan belanja ke kawasan Kota sehingga menambah arus kendaraan yang ke arah Kota. Sedangkan jalurnya yang baru sampai ke HI, kurang menarik bagi pengguna mobil pribadi yang bekerja di utara HI untuk pindah ke MRT. Mereka akan pindah ke MRT bila memperoleh kenyamanan yang sepadan dengan naik mobil pribadi, termasuk dalam hal efektivitas dan efisiensinya. 
Bila infrastruktur MRT telah tersedia dan sarana juga sudah dapat dioperasikan, namun penumpangnya tidak sesuai dengan yang ditargetkan, maka Pemprov DKI Jakarta perlu siap-siap memberikan subsidi besar untuk operasional MRT, sebab bila tanpa subsidi, MRT tidak bisa operasional. Bisa saja MRT beroperasi tanpa subsidi seperti di Hongkong dengan persyaratan operator MRT diberi kewenangan untuk mengembangkan bisnis properti di sekitar stasiun, sehingga pemasukan PT MRT tidak hanya dari tiket penumpang saja, tapi dari keuntungan bisnis properti tersebut. Sayang, sampai sekarang belum ada desain pengembangan bisnis di sekitar stasiun-stasiun MRT, sehingga kemungkinannya dalam beberapa waktu pemasukan PT MRT masih mengandalkan pemasukan dari tiket penumpang dan subsidi Pemprov DKI Jakarta. 
Kedua, tentang monorail. Sebagai kelengkapan moda transportasi massal, terlebih menyelesaikan tiang-tiang monorail yang mangkrak, permulaan pembangunan kembali monorail patut didukung penuh. Tapi jangan terlalu optimis bahwa monorail akan mampu mengatasi kemacetan di Jakarta, mengingat jalurnya bukan jalur asal dan tujuan pergerakan, tapi baik Kuningan maupun Senayan kesemuanya dari tujuan perjalanan. Angkutan umum itu akan penuh penumpang bila dibangun untuk menghubungkan dari asal-tujuan pergerakan, sehingga polanya jelas, pada pagi hari akan mengangkut orang dari rumah menuju ke tempat kerja, sedangkan sore mengangkut dari tempat kerja kembali ke rumah. Tapi siapa yang akan diangkut oleh monorail di jalur hijau yang menghubungkan Kuningan – Senayan? Boleh jadi memang hanya akan menjadi angkutan makan siang/malam atau angkutan wisata saja. Apalagi dengan tariff Rp. 9.000,- per orang untuk jarak 14,5 km, ini jelas kategori mahal, meskipun untuk ukuran empat tahun yang akan dating, sehingga kemungkinan penumpangnya sendikit. Akibatnya, operator akan rugi dan terpaksa Pemprov DKI Jakarta harus mengambil alih operasionalnya karena tidak mungkin membiarkan insfrastruktur tersebut menganggur begitu saja. 
Ada cara untuk meningkatkan jumlah penumpang pada masing-masing moda angkutan umum yang sedang terbangun tersebut, yaitu membangun integrasi antar moda, baik fisik maupun system sehingga orang dapat berpindah angkutan secara aman, mudah, dan nyaman. Sebagai contoh, di atas stasiun MRT di HI perlu dibangun halte Transjakarta Busway, sehingga orang dari Lebak Bulus yang akan pergi ke Kota, dari Lebak Bulus sampai HI mereka naik MRT, tapi dari HI sampai Kota naik Transjakarta Busway. Demikian pula sebaliknya, dari Kota menuju Lebak Bulus, mereka naik Transjakarta Busway sampai di HI kemudian pindah ke MRT. Di Gelora Senayan, bisa dibangun pusat integrasi antara MRT, monorail, dan Tranjakarta Busway agar orang dapat melakukan perpindahan moda dengan mudah. Integrasi itu bukan hanya fisik, tapi juga sistem (ticketing), sehingga cukup membayar sekali untuk naik beberapa moda transportasi secara bergantian. Bila integrasi antar moda tersebut terbangun secara bagus, maka target penumpang yang tinggi di masing-masing moda akan dapat tercapai. ***

DARMANINGTYAS, DIREKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI) DI JAKARTA 

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.