Langsung ke konten utama

KASTANISASI PENDIDIKAN MELALUI PENERIMAAN CPNS

DARMANINGTYAS, PENGURUS DHN (DEWAN HARIAN NASIONAL) 45 JAKARTA

Medio Oktober-November ini adalah masa penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di semua instansi pemerintah. Seperti biasa, setiap kali ada lowongan CPNS selalu dibanjiri oleh pendapftar. Jumlah pendaftar CPNS tahun 2013 mencapai dua juta orang untuk memperebutkan sekitar 65.000 kursi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau tingkat persaingan 1:30,7 orang. Ini menunjukkan betapa ketatnya persaiangan dalam perebutan kursi CPNS.


Tulisan ini tidak ingin membahas profesi PNS, tapi lebih menyoroti proses penerimaan CPNS yang implikasinya pada penciptaan kastanisasi (membentuk kasta-kasta baru) pada pendidikan tinggi berdasarkan nilai akreditasi maupun kastanisasi masyarakat berdasarkan tingkat intelegensinya dengan mengambil contoh di tiga Kementerian/Lembaga (K/L) yang tersedia datanya, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), serta Kementrian Pariwisata.

Kastanisasi PT

Kastanisasi pendidikan tinggi (PT) terlihat dari persyaratan umum yang ditetapkan oleh semua Kementerian/Lembaga (K/L) dalam penerimaan CPNS baru. Ketiga K/L yang dirujuk dalam tulisan ini mencantumkan persyaratan umum yang sama, yaitu berijazah S1, DIV, DIII, atau yang disetarakan, baik dari lulusan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT) minimal B, atau Perguruan Tinggi Luar Negeri yang telah mendapat pengesahan Kemdikbud.

Persyaratan mengenai nilai minimal akreditasi suatu perguruan tinggi tersebut tanpa disadari telah mengabaikan keberadaan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang baru tumbuh sehingga nilai akreditasinya belum mencapai B, mungkin baru C/D. Itu artinya, anak-anak bangsa yang kuliah di perguruan tinggi berakreditasi C/D, tidak memiliki kesempatan untuk menjadi PNS. Jangankan diterima sebagai PNS, untuk turut serta mendaftar sebagai CPNS saja sudah tertutup rapat. Padahal, belum tentu yang kuliah di sana semuanya bodoh. Boleh jadi, mereka kuliah di sana karena peluang yang terbuka tinggal itu, baik karena alasan ekonomi, kerja, dan lainnya. Bila hak mereka untuk turut mendaftar sebagai CPNS ditutup dengan persyaratan nilai minimal akreditasi, maka itu sesungguhnya pelanggaran konstitusi.

Persyaratan  nilai minimal akreditasi B itu pula, tanpa disadari proses penerimaan CPNS menciptakan kastanisasi pendidikan tinggi (swasta), dengan kasta tertinggi adalah perguruan tinggi (PT) yang memiliki nilai akreditasi A dan kasta terendah adalah yang memiliki nilai C/D.  Mereka yang berasal dari Kasta C/D tidak bisa bergabung dengan mereka yang berasal dari Kasta A/B. Ini merupakan formasi sosial baru yang buruk karena orang dikelompokkan berdasarkan latar belakang pendidikan tingginya. Kecuali itu, dalam realitas hidup tidak semuanya berjalan linier, terbukti ada yang berasal dari Kasta A/B prestasi kerjanya jeblok, sebaliknya ada yang berasal dari Kasta C/D tapi prestasinya bagus. Pada saat ini, penulis mengetahui sendiri ada sejumlah pejabat Negara eselon satu (Dirjen dan setingkat Dirjen) yang berasal dari PTS pinggiran yang nilai akreditasinya tidak mungkin B, tapi mungkin C/D.  Mereka beruntung lulus dari PT pada saat sistem penerimaan CPNS belum terkastanisasi. Seandainya mereka lulus sekarang, jangankan menjadi Dirjen, turut mendaftar sebagai CPNS saja sudah tertutup. Jadi sungguh sangat tidak fair bila nilai minimal akreditasi perguruan tinggi dijadikan sebagai persyaratan utama untuk menyeleksi CPNS, karena persyaratan tersebut diskriminatif dan tidak adil terhadap mereka yang berada di Kasta C/D.

Kastanisasi Masyarakat

Proses penerimaan CPNS bukan hanya menciptakan kastanisasi pendidikan tinggi, tapi juga kastanisasi di masyarakat. Sebab dengan menitik-beratkan pada persyaratan nilai indek prestasi komulatif (IPK) saja, maka hanya mereka yang memiliki IPK tinggi yang dapat mendaftar menjadi CPNS. Syarat ini amat bias kemampuan kognitif saja. Padahal, realitas menunjukkan bahwa kesuksesan amat ditentukan oleh kematangan sosial dan spiritual seseorang. Faktor kognitif atau intelegensia penting, tapi bukan yang terpenting. Bukti juga telah menunjukkan, mereka yang memiliki intelegensia tinggi akhirnya gagal dalam karier (hidup) karena tidak memiliki kematangan sosial dan spiritual; mereka kaku dan kurang fleksibel dalam pergaulan akhirnya teralenasi dengan rekan kerjanya. IPK tinggi lebih berkorelasi dengan ketekunan belajar, tidak selalu berkorelasi positip dengan tingkat kreativitas, inovasi, keberanian mengambil resiko, maupun tanggung jawab. Padahal, birokrasi ke depan membutuhkan orang-orang yang kreatif, inovatif, memiliki keberanian untuk mengambil keputusan, serta bertanggung jawab terhadap sesamanya.

Mengenai besaran IPK minimum untuk masing-masing instansi berbeda. Di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menetapkan sarjana minimal 2,75, sedangkan diploma minimal 2,50 dan  SMA/SMK nilai ijazah minimal 6,75 serta memiliki Sertifikat Penanggulangan Bencana/Sertifikat SAR/Sertifikat Komputer. Di Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) IPK minimal 2,50 untuk PTN dan 3,0 untuk PTS. Tapi pada syarat seleksi administratif no. 2 disebutkan bahwa jumlah peserta tes sebanyak 15 x jumlah lowongan, diseleksi berdasarkan IPK atau nilai rata-rata Ijazah/Transkrip Nilai yang tertinggi serta nilai TOEFLT/IELT. Artinya, meskipun memiliki nilai 3,1 tapi kalau jumlah pendaftar yang memiliki nilai tersebut lebih dari 15 orang untuk satu bidang, tetap tidak bisa ikut tes karena yang dipanggil hanya 15 orang yang memiliki nilai tertinggi. Sedangkan di Kementrian Pariwisata mensyaratkan: pelamar harus memiliki IPK minimal 3,0  pada skala 4 (empat), tapi diutamakan yang mampu berbahasa Inggris dengan lancar, baik lisan maupun tertulis.

Dengan persyaratan nilai IPK terendah, maka yang dapat mendaftar menjadi CPNS adalah satu lapisan masyarakat tertentu dan homogen, yaitu mereka yang secara intelegensia tinggi dan ditopang dengan fasilitas belajar yang cukup sehingga memiliki nilai IPK tinggi. Kelak mereka akan mereproduksi generasi sejenis yang akan menggantikan posisi mereka di birokrasi pula. Sedangkan golongan miskin, karena kemiskinannya, asupan gizinya rendah, dan fasilitas belajarnya minim, akhirnya ber-IPK rendah pula. Mereka beserta generasinya tidak berhak turut mengisi formasi PNS. Sistem penerimaan PNS yang demikian, bila diteruskan, jelas akan melahirkan kastanisasi baru di masyarakat berdasarkan latar belakang intelegensinya dan atau pendidikan tinggi seseorang. Ini jelas ironis sekali karena bertolak belakang dengan misi pendidikan itu sendiri yang harus menciptakan persamaan derajat antar sesama.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu merupakan jabatan publik yang seleksinya terbuka bagi seluruh warga tanpa ada hambatan administratif. Dengan menetapkan persyaratan nilai minimal akreditasi PT dan IPK, maka sesungguhnya seleksi CPNS tersebut bersifat semi tertutup. Ini jelas tidak sejalan dengan konstitusi yang menjamin persamaan hak bagi setiap warga. Konsekuensi dari Negara yang amat beragam secara geografis, ekonomi, social, dan budaya adalah formasi CPNS harus terbuka bagi setiap warga agar tercipta suasana yang heterogen, bukan homogen. Bila pada akhirnya yang lolos seleksi tertulis itu mayoritas dari PT berakreditasi A-B atau ber-IPK tinggi, itu merupakan persoalan teknis-metodologis. Tapi persoalan teknis-metodologis itu tidak boleh melanggar hak konstitusi warga untuk turut mendaftar sebagai CPNS dengan hambatan administratif pada nilai akreditasi PT atau IPK. 

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.