DARMANINGTYAS, DIREKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI) DI JAKARTA
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, tanggal 16 September 2013
Gubenur DKI Jakarta Joko Widodo atau dikenal dengan Jokowi dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal dengan sebutan Ahok merasa gelisah dengan adanya kebijakan Pemerintah Pusat mengenai mobil murah atau yang popular dikenal dengan istilah low cost green car (LCGC). Keberadaan mobil dengan harga di bawah Rp. 100 juta tersebut mendapat payung hukumnya yang kuat pada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenak Pajak Penjualan atas Barang Mewah, termasuk LCGC, program low carbon emission, mobil listrik, dan hybrid biodiesel.
Latar belakang munculnya PP No. 41 Tahun 2013 memang misterius. Sebab, konon, pemikiran awal membuat mobil murah dimaksudkan untuk memfasilitasi warga di daerah terpencil yang membutuhkan layanan transportasi terjangkau baik untuk orang maupun barang. Tanpa adanya kebijakan khusus tentang harga mobil, mereka sulit mendapatkan layanan transportasi untuk mendistribusikan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, ternak, maupun perikanan sehingga ekonomi mereka tidak tumbuh. Mengapa? Karena sarana angkutan umum tidak ada, sedangkan mobil pribadi harganya mahal. Oleh karena itulah selain perlu ada kebijakan harga khusus, bentuk kendaraan yang diproduksi pun lebih fleksibel, dapat untuk angkut orang dan barang, seperti colt pickup di Jawa pada dekade 1970-1980-an. Tapi realitas di lapangan, produksi mobil murah itu untuk penumpang dan yang dibidik adalah kelas menengah baru di perkotaan.
Penjelasan Menteri Perindustrian M.S.Hidayat bahwa kementriannya mendorong pengembangan produksi mobil murah sebagai langkah menghadapi pasar bebas ASEAN 2015 menjawab teka-teki latar belakang munculnya kebijakan tersebut. Menurutnya, ketika pasar bebas ASEAN dibuka, mobil-mobil dari Malaysia dan Thailand akan membanjiri pasar di Indonesia. Dengan memproduksi mobil murah sendiri, diharapkan pada tahun 2015 posisi industri otomotif dalam negeri sudah mapan, sehingga produk-produk dari Malaysia dan Thailand tidak dapat bersaing di Indonesia. Peraturan Menteri Perindustrian No. 33 Tahun 2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) mempertegas besaran harga jual KBH2, setinggi-tingginya Rp. 95 juta berdasarkan lokasi kantor pusat Agen Pemegang Merek.
Mengapa mobil ini bisa dijual murah? Karena memperoleh insentif pajak dari pemerintah yang besarannya 75 hingga 0 persen. PP No. 41/2013 pasal 3 ayat (1) butir C menyebutkan bahwa mobil hemat energi dan harga terjangkau, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak sebesar nol (0) persen dari harga jual. Pajak 0 persen tersebut untuk motor bahan bakar cetus api dengan kapasitas silinder 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bakan bakar setaranya. Mengapa disebut ramah lingkungan? Itu pertanyaan yang sulit terjawab. Sebab kalau dasarnya hanya karena irit bahan bakar, maka itu tidak kuat, mengingat iritnya itu per unit. Tapi lantaran harganya murah, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk membelinya, maka secara komulatif jadi boros energi. PT Pertamina sendiri sudah mengkhawatirkan bahwa mobil murah ini akan menyedot BBM bersubsidi, sebab siapa yang akan mengontrol di lapangan agar mobil murah tersebut menggunakan BBM nonsubsidi?
Kebijakan mobil murah tersebut selain kontradiksi dengan kebijakan hemat BBM, juga kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk mengurai kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makasa, Bandung, dll. Kota-kota tersebut sulit terhindar dari kemacetan karena mendapatkan grojokan mobil baru dengan harga murah di jalanan. Inilah ambivalensi kebijakan mobil murah tersebut.
Terapkan ERP
Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemacetan dengan sistem memungut bayaran pada setiap kendaraan yang melintasi kawasan tertentu yang diterapkan ERP. Singapura merupakan Negara tetangga terdekat yang sudah menunjukkan bukti mengenai keberhasilan ERP untuk mengurai kemacetan. Banyak pejabat Pemrpov DKI Jakarta, konsultan, pakar, LSM, dan operator ticketing yang sudah studi banding ke Singapura dan Negara-negara lain yang telah melaksanakan ERP tersebut. Artinya, pengetahuan teknis mengenai implementasi ERP itu sudah cukup dimiliki oleh para stakeholder transportasi di Jakarta. Sayang, sampai sekarang belum ada implementasinya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah memutuskan saja untuk dilaksanakan.
Menurut penulis, inilah saat yang tepat bagi Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok untuk mengambil keputusan menerapkan ERP di Jakarta. Kajian teknis mengenai bagaimana penerapan sistem ERP itu sudah seabrek. Penulis sendiri pernah terlibat langsung dalam pembuatan kajian tersebut. Jadi siap memberikan masukan. Demikian pula landasan hukumnya juga sudah jelas, yaitu Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing, sehingga apa lagi yang ditunggu oleh Pemprov DKI Jakarta untuk tidak menerapkan ERP?
Gubernur Jokowi menyadari bahwa kebijakan mobil murah sudah diputuskan oleh pusat sehingga tidak mungkin menolaknya. Tapi kegundahannya bahwa mobil murah akan menambah kemacetan dapat diantisipasi secara cepat dengan menerapkan ERP. Segera putuskan pelaksanaan ERP agar dapat ditindak-lanjuti di tingkat bawah dengan melakukan persiapan-persiapan teknis, termasuk lelang mengadaan alat-alatnya. Apabila keputusan penerapan ERP itu dapat diambil sekarang, maka penganggarannya dapat dialokasikan dalam APBD 2014 nanti, sehingga paling lambat, akhir 2014 sudah terimplementasi.
ERP yang dikombinasikan dengan tarif parkir mahal dan sesuai dengan zona (pusat kota lebih mahal), BBM mahal, serta pajak progresif untuk kepemilikan mobil; jelas efektif untuk mengurangi kemacetan mengingat salah satu alasan orang Indonesia suka mengendarai mobil pribadi adalah karena biaya operasionalnya murah. Kombinasi berbagai kebijakan tersebut akan membuat biaya operasional mobil pribadi di Indonesia mahal dan mendorong orang untuk berpindah ke angkutan umum. Yang penting, bersamaan dengan penerapan ERP dan kebijakan pendukung lainnya itu, perlu dilakukan percepatan pembenahan angkutan umum. Keberhasilan PT KAI melakukan perbaikan pelayanan KRL Jabodetabek sehingga mampu mendongkrak jumlah penumpang sebanyak 150.000 per hari, dapat dapat dipakai sebagai proses pembelajaran untuk melakukan percepatan perbaikan angkutan umum lainnya.
Resisten terhadap penerapan ERP dan kebijakan pendukungnya itu jelas ada, terutama pada tingkat awal. Tapi ketika publik sudah merasakan manfaatnya, mereka akan langsung mendukung. Yang penting adalah dana yang terkumpul dari ERP itu tidak dibelanjakan untuk kebutuhan lain, tapi dialokasikan untuk perbaikan dan subsidi angkutan umum massal, mensubsidi angkutan pelajar, serta perbaikan jalan, sehingga warga tidak merasa dirugikan.
Penulis meyakini bahwa penerapan ERP akan menimbulkan kreativitas baru pada warga dan pengelola gedung untuk mencari cara bertransportasi secara aman, nyaman, lancar, dan terjangkau. Kreaivitas itu misalnya berkembangnya sistem car polling, yaitu orang-orang yang satu tujuan akan berangkat bersama-sama, seperti yang sudah dikembangkan oleh komunitas Nebeng.com. Atau juga memakai angkutan massal dikelola dengan baik oleh operator, seperti yang sudah terjadi pada warga dari perumahan di kawasan Lippo Karawaci menuju Jakarta. Di sana tersedia angkutan bus yang aman, nyaman, dan dilengkapi dengan jaringan internet sehingga para penumpangnya bisa bertransportasi sambil akses internet atau melakukan aktivitas kantor. Kendaraan itu didesain sedemikian rupa sehingga mampu memikat pemilik mobil pribadi untuk pindah naik bus. Pada saat ini mampu mengangkut sekitar 2.000 penumpang per hari, itu berarti sudah mengurangi penggunaan 2.000 unit mobil pribadi. Bila sistem tersebut dikembangkan oleh para pengelola gedung, tentu menjadi jalan keluar efektif untuk mengatasi kemacetan. Jadi Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok tidak perlu ragu lagi untuk ambil keputusan menerapkan ERP. Biarkan mobil murah diproduksi dan dibeli masyarakat, tapi penggunaannya yang dibatasi agar tidak menambah kemacetan baru di Jakarta. ***
Jakarta, Aktual.com — Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuturkan kendala yang saat ini menunda penerapan ERP adalah terkait tarif. Yang diinginkan Pemprov, sambung Ahok, tarif ERP dapat disesuaikan dengan jumlah kendaraan yang melewati area ERP.
BalasHapus“Kita menginginkan ERP adalah untuk mengontrol jumlah kendaraan di sebuah jalan bukan pajak. Bukan seperti tol. Jadi kalau retribusi, enggak bisa naik turun (tarif). Saya kan maunya begini, mobil yang lewatnya sedikit turunin harganya. Kalau banyak yang lewat naikin harganya,” kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Rabu (5/8).
Ahok: Penerapan ERP Terkendala Tarif