Langsung ke konten utama

BERCERMIN PADA PENDIDIKAN DI FINLANDIA

OLEH: DARMANINGTYAS
YAYASAN PERGURUAN TAMANSISWA JAKARTA

KORAN TEMPO, SABTU, 31 AGUSTUS 2013

Menteri Pendidikan Finlandia, Krista Kiuru Minggu keempat Augustus dating ke Jakarta dan salah satunya bertemu Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau populer disebut Ahok. Dalam pertemuan tersebut Wakil Gubertnur DKI Jakarta menyatakan ingin bekerja sama dengan Pemerintah Finlandia terutama untuk pelatihan guru. Koran The Jakarta Post (26/8) sempat mengadakan wawancara khusus dengan Menteri Pendidikan Finlandia sehingga kita bisa mengetahui gambaran pendidikan di Finlandia secara lebih jauh.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Pemerintah Finlandia dalam mengembangkan pendidikan adalah komitmen politik yang kuat. Meskipun tidak dapat menyebutkan secara pasti besaran prosentase anggaran pendidikan, tapi Krista Kiuru mengaku bahwa pemerintah Finlandia mengalokasikan anggaran pendidikan yang cukup besar dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Dan ketika Eropa mengalami krisis ekonomi sejak tiga tahun silam, Pemerintah Finlandia tidak memotong anggarannya untuk pendidikan.  Adalah suatu kebodohan bila sampai memotong anggaran pendidikan.
Keberhasilan pendidikan di Finlandia saat ini merupakan hasil dari proses panjang reformasi pendidikan yang dimulai sejak dekade 1970an dengan mendasarkan diri pada nilai kesamaan hak. Mereka tidak percaya pada elitisme sekolah maupun kelompok masyarakat. Mereka meyakini, kalau ingin membangun seluruh masyarakat, maka harus mendidik bangsa secara menyeluruh pula.  Kunci keberhasilan pendidikan di Finlandia itu adalah terdapatnya guru-guru yang berkualitas. Banyak sumber daya pendidikan dialokasikan untuk pendidikan guru. Guru-guru di Finlandia bergelar master. Contoh tingginya kualitas guru di Finlandia itu diperlihatkan oleh sosok Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan sekaligus pernah menjadi pemenang Hadiah Nobel. Sebelumnya, ia adalah seorang guru sekolah dasar. Ini berbeda sekali dengan para guru sekolah dasar di Indonesia yang cenderung tidak percaya diri. Hal itu terlihat jelas dari cara mereka memperkenalkan diri: “Saya hanya guru SD”. Ungkapan ini mencerminkan rasa rendah diri sebagai seorang guru SD dan dengan sendirinya mereduksi peranannya dalam mencerdaskan bangsa.
Kiblat Pendidikan Dunia
            Finlandia dalam satu dekade terakhir memang tengah menjadi kiblat pendidikan dunia karena dinilai memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia berdasarkan standar tes-tes yang diberlakukan secara internasional, seperti TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), dan PISA (Programme for International Student Assessment). Berdasarkan hasil tes TIMSS, PIRLS, dan PISA Finlandia selalu masuk dalam kategori Negara-negara yang memiliki hasil tes tinggi, sedangkan Indonesia termasuk ke dalam kategori Negara-negara yang memiliki hasil tes rendah. Betul bahwa tes itu sendiri tidak terbebas dari kepentingan capital, terbukti yang mengorganisir adalah OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), bukan UNESCO (badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan dan kebudayaan) dan untuk mengikutinya membayar puluhan ribu dolar US, sehingga negara seperti Philipina memilih tidak mengikutinya. Meskipun demikian, sampai saat ini, hasil tes tersebut sering dijadikan acuan untuk melihat kualitas pendididikan maupun melek aksara di suatu negara. Indonesia termasuk negara yang mempercayai hasil tes-tes tersebut.
            Kemajuan pendidikan yang dicapai oleh Finlandia tersebut telah mendorong penentu kebijakan maupun para akademisi dan aktivis di Indonesia untuk berkiblat ke Finlandia, seperti yang diperlihatkan dalam konsep Kurikulum 2013 yang sekarang tengah diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh. Kurikulum yang action oriented tersebut diterapkan di Finlandia sejak dekade 1990an. Kurikulum ini mewakili pandangan praktis, dipicu oleh kebutuhan individual siswa yang tidak dapat diseragamkan dengan penekanan pada berfikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi antar pelaku pendidikan (guru, siswa, pengelola), mengevalusi proses secara terus menerus melalui pemantauan proses dan capaiannya secara ketat, penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya), dan hasil akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya (M.Nuh:2013).
            Jadi, dengan kata lain, Kurikulum 2013 memiliki rujukan yang jelas, yaitu Finlandia. Hanya saja, implementasinya di lapangan ada perbedaan yang mendasar antara di Finlandia dengan di Indonesia. Pemerintah Finlandia justru mengurangi jam tatap muka di kelas dan memperkuat proses pembimbingan personal serta tidak menerapkan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Tapi di Indonesia, pada Kurikulum 2013 justru ada penambahan empat jam pelajaran dalam seminggu dan tetap memberlakukan UN sebagai penentu kelulusan. Konsekuensi dari penambahan jam pelajaran adalah anak-anak akan semakin lebih banyak di sekolah dan kurang mengenal lingkungan (geografis maupun sosial) sehingga alih-alih melahirkan generasi yang peka terhadap lingkungan sekitar, justru melahirkan generasi yang kuper (kurang pergaulan). Ini memang kontradiksi antara apa yang diinginkan oleh penentu kebijakan dengan yang diputuskan dan dilaksanakan di lapangan.
Serba Tanggung
Berdasarkan uraian di atas, ada dua catatan yang dapat diberikan di sini. Pertama, kecenderungan para pengambil kebijakan untuk menjadikan sistem pendidikan di Finlandia sebagai rujukan untuk pengembangan sistem pendidikan nasional adalah sah-sah saja. Tapi hendaknya prosesnya dilaksanakan secara konsisten agar berhasil baik. Sebab bila tidak konsisten, maka apa yang baik di Negara asal, ketika kita adopsikan di Indonesia, belum tentu hasilnya sama baiknya. Sebagai contoh, seperti terlihat dalam Kurikulum 2013. Secara konseptual, Kurikulum 2013 mengadopsi kurikulum yang berlaku di Finlandia sejak dekade 1990an, tapi dalam implementasinya, Kurikulum 2013 menambahkan jam pelajaran di kelas sebanyak empat jam seminggu dan tetap menerapkan UN (Ujian Nasional) sebagai penentu kelulusan. Ini jelas memperlihatkan sikap ambivalensi penentu kebijakan. Sebetulnya yang akan dicapai itu penambahan jam pelajaran per minggunya atau hasil pendidikan yang baik? Jika yang akan dicapai adalah hasil yang baik, maka jelas bahwa hasil yang baik tersebut tidak harus disertai dengan penambahan jumlah jam pelajaran di kelas.
Kurikulum 2013 yang mengacu pada Finlandia itu menjadi problematik lagi ketika ternyata dalam struktur kurikulumnya (pengaturan bobot jam pelajaran) dipenuhi oleh jumlah jam pelajaran yang memiliki muatan moral/sikap cukup banyak, seperti Pendidikan Agama dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan). Kedua jenis mata pelajaran tersebut cenderung mengajarkan berfikir dogmatis-normatif, padahal, yang mau dibidik dengan mengadopsi kurikulum yang action oriented tersebut adalah tumbuhnya generasi yang kritis, kreatif, dan mandiri. Dalam suatu tatanan masyarakat yang normative-dogmatis, sulit mengharapkan munculnya sikap kritis dan kreatif tersebut, sehingga bila tidak ada modifikasi secepatnya, Kurikulum 2013 secara konseptual bagus, tapi hasilnya serba tanggung.

Catatan kedua adalah soal peningkatan kualitas guru sebagai garda depan pencapaian kualitas pendidikan yang baik. Di Finlandia guru berasal dari lulusan SMA terbaik. Tapi di Indonesia, guru terseleksi dari lulusan SMA yang tidak lolos di PTN-PTN terkemuka. Menjamurnya LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) swasta sejak lima tahun terakhir dapat menjadi bumerang bagi pencapaian kualitas pendidikan nasional. Guru-guru ke depan akan lahir dari LPTK-LPTK yang tidak didukung oleh prasarana, sarana, dan kualitas dosen yang memadai, sehingga hasilnya pun jelek. Oleh karena itu, bila mau berkiblat ke Finlandia, maka kebijakan pengembangan LPTK pun harus ketat, hanya PTN/PTS unggul saja yang berhak mendidik calon-calon guru. Bila tidak, hasil akhirnya serba tanggung. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.