“Tiap-tiaprumahjadiperguruan!
Tiap-tiap orang jadipengajar
DenganatautanpaOrdonansi!
(Ki HadjarDewantara, 1935)
Tanggal 3 Juli sesungguhnya merupakan tanggal bersejarah bagi pendidikan bangsa Indonesia, karena pada 3 Juli 1922 itulah Dr. Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan perguruan Taman siswa, suatu badan perjuangan pendidikan dan kebudayaan. Dikatakan bersejarah karena sebelum berdirinya Perguruan Tamansiswa, pendidikan itu bersifat elitis. Untuk dapat bersekolah paling tidak harus lahan seorang jaksa atau anak yang di didik secara Barat. Atau mampu membayar sepuluh gulden (rupiah) per bulan untuk tiap anak. Di mana-mana subur perusahaan sekolah swasta dari kaum guru yang telah pension karena dapat memungut biaya tinggi buat pengajaran perseorangan (privat).
Perguruan Taman siswa hadir untuk menampung anak bangsa yang tidak bias mengakses pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah colonial maupun sekolah-sekolah swasta tersebut. Sayang, kita terbiasa melupakan sejarah bangsa, sehingga hal penting itu tidak banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk kalangan terdidik. Bahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri boleh jadi tidak tahu hal tersebut. Hari Pendidikan Nasional diambilkan dari tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara dan peristiwa lain dalam kalender pendidikan tidak pernah ada yang menempatkan tanggal 3 Juli sebagai momentum sejarah yang amat penting.
Tulisan di bawah ini mencoba mengajak pembaca untuk menapak tilas pada jejak sejarah Perguruan Taman siswa sebagai bahan refleksi untuk mengembangkan system pendidikan nasional. Uraian bersumber pada Almanah Perguruan, keluaran Taman siswa tahun 1942 yang kemudian diterbitkan dalam Pendidikan, Karya Ki Hadjar Dewantara.
Menjadi Perguruan Nasional
Sejak didirikan 1922 itu Taman siswa memperkenalkan dirinya sebagai “perguruan nasional”. Menurut Ki Hadjar Dewantara, rintangan yang hebat justru dating dari bangsanya sendiri. Oleh karena itulah, para pendiri, termasuk KHD sendiri, memutuskan untuk selama windu pertama, yaitu hitungan waktu delapan tahun menjalankan apa yang disebut apa meneng (bertapa sambil berdiam diri). Artinya, selama satu windu itu kelahiran Perguruan Taman siswa tidak dipublisir, tapi lebih menekankan kerja keras untuk mewujudkan gagasan. Sesudah sewindu yang lama itu, penuh perjuangan batin dan amat baik untuk mengambil pelajaran dari padanya dan begitu indah untuk latihan menguasai diri, tibalah waktunya untuk berkonferensi, yaitu pada 1930. Konferensi pertama dari persatuan keluarga Tamansiswa yang pada waktu itu jumlah cabang-cabangnya tidak kurang dr enampuluh.
Boleh dikatakan pendirian Perguruan Tamansiswa itu modal nekat saja, karena tanpa bantuan pemerintah. Menempatkan orang-orang dari bangsa sendiri (mereka dahulu disebut Inlanders) di muka kelas, bahkan menjadikan mereka ketua perguruan (kepala sekolah). Tapi yang lebih mencengangkan adalah ketika mendengar bahwa bahasa sendiri, kesenian sendiri, sejarah sendiri, adat istiadat sendiri, pendek kata segala sesuatu dari bangsa sendiri akan dibawa keruang perguruan.
Delapan tahun kemudian, hasil-hasil pertama memasuki sekolah-sekolah yang lebih tinggi, sehingga akhirnya para pendiri Tamansiswa inipun memberanikan diri mendirikan sebuah sekolah Taman Dewasa (MULO=SMP), suatu perbuatan yang menyebabkan mereka disebut “pemimpi”, atau bahkan ada yang menyebut gila! Pada tahun 1928, menjadi titik tolak sejarah Tamansiswa, karena telah lulus tujuh dari 12 murid pada ujian masuk AMS (SMA), jurusan alam pasti. Dari tahun ketahun, prosentase anak-anak yang lulus dalam ujian masuk kesekolah-sekolah yang lebih tinggi dalam segala jurusan selalu meningkat. Sejak itulah masyarakat baru percaya dan para pendiri Tamansiswa boleh bicara. Pengalaman spiritual inilah yang kemudian melahirkan seruan: Neng, ning, nung, nang. Oleh karena meneng yang berarti diam, kita mendapatkan wening atau kesucian; dari kesucian kita mendapatkan anung, yaitu kekuatan, kemudian dating dengan sendirinya kemenangan.
Guna mencukupi kebutuhan tenaga guru, di Yogyakarta didirikan Taman Guru di Yogyakarta pusat, dan di Malang, Surabaya, Semarang, Jakarta, serta Medan sekolah-sekolah guru untuk sekolah-sekolah rendah. Cabang Jakarta mendirikan Taman Dewasa Raya, sekolah menengah atas yang lebih diberi dasar maatschappelijk daripada untuk melanjutkan pelajaran. Sekalipun begitu, beberapa tamatannya dapat melanjutkan pelajarannya di India, Jepang, dan Filipina. Hal yang sama terjadi di cabang-cabang Tamansiswa lainnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dari Perguruan Tamansiswa yang didirikan dan diajar oleh bangsa sendiri itu diakui oleh bangsa-bangsa lain.
Dasar Kebangsaan
Kehadiran Perguruan Tamansiswa bukan sekedar memberikan ruang bagi anak bangsa kebanyakan untuk mengenyam pendidikan secara lebih luas, melainkan juga meletakkan dasar-dasar kebangsaan. Tamansiswa tumbuh menjadi salah satu pusat gerakan kebudayaan yang penting. Cita-cita kleinambtenaar (pegawai rendah) ditinggalkan oleh pendidikan Tamansiswa. Pendidikan nasional yang dirintis oleh Tamansiswa telah menumbuhkan rasa cinta terhadap kebudayaan dan kebatinan sendiri. Semboyan seperti dikutip di atas, bahwa“Tiap-tiap rumah jadi perguruan! Tiap-tiap orang jadi pengajar
Dengan atau tanpa Ordonansi!” merupakan semboyan yang amat heorik dan masih relevan sampai sekarang. Pendidikan yang dikembangkan oleh KHD berhasil menumbuhkan kepercayaan diri yang amat kuat sebagai bangsa, sehingga tidak mendewa-dewakan Barat atau tidak membenci mati-matian, melainkan menempatkannya secara wajar.
Sikap percaya diri yang ditunjukkan oleh Taman siswa itu terlihat pula dari penamaan perguruan tersebut yang tidak mengikuti penamaan persekolahan yang telah ada, seperti misalnya Kindergarten untuk Taman Kanak-kanak (TK), HIS (HollandschInlandsche School) untuk Sekolah Rendah Belanda untuk bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwjs UNTUK SMP), AMS (Algemeene Middelbare School) untuk SMA. Di lingkungan Tamansiswa TK dikenal dengan sebutan Taman Indriya, SD disebut Taman Muda, SMP disebut Taman Dewasa, dan SMA disebut Taman Madya. Semua penyebutan tersebut didasarkan pada perkembangan fisik dan jiwa anak.
Apa yang dikembangkan oleh Taman siswa itu telah menjadi dasar bagi tumbuhnya jiwa kebangsaan. Pendirian Perguruan Tamansiswa itu sendiri didasari oleh semangat untuk mencerdaskan bangsa Indonesia kebanyakan. Orientasi pendidikan tidak hanya menyiapkan calon-calon tenaga terampil yang akan bekerja sebagai ambtenaar, tapi mengembangkan kebudayaan bangsa. Itulah sebabnya di Taman Indriya, permainan dan olah raga dengan nyanyian anak-anak dan tari guna memelihara badan secara ritmis, nyanyian rakyat (macapat, tembang gending di tanahJawa), menggambar corak dan warna, merangkai bunga-bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek atau janur, dsb.. Itu semua latihan untuk kesempurnaan panca indra dihubungkan dengan rasa. Pada saat Indonesia merdeka 1945, para lulusan Taman siswa itu telah dewasa dan cakap untuk bekerja. Mereka itulah yang kemudian turut mewarnai perjalanan bangsa, sehingga nasionalisme kepemimpinan saat itu amat terasa. UU No. 4/1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah merupakan UU Pendidikan Nasional yang amat nasionalis, toleran, dan manusiawi. Hal itu tidak terlepas dari peranan tokoh-tokoh Taman siswa saat itu, khususnya Ki Mangunsarkoro pada saat itu. Selamat Ultah Tamansiswa yang ke-91, semoga jejaknya tetap Nampak jelas di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar