Langsung ke konten utama

MENJADIKAN METROMINI LEBIH MANUSIAWI


DARMANINGTYAS
Dimuat Koran SUARA PEMBARUAN, SENEN, 29 JULI 2013

Peristiwa Metromini T47  jurusan Senen – Pondok Kopi yang menabrak tiga siswi SMP Al Washliyah 1 dan satu diantaranya (Bennity Rivilini Mapata (12) meninggal dunia (24/7) merupakan bukti kongkrit kebobrokan angkutan umum di DKI Jakarta, yang ternyata dijalankan oleh orang-orang dengan tanpa kompetensi apa pun. Terungkap bahwa pengemudi Metromini, Wabdi Sihombing (22) telah tiga tahun menjadi pengemudi Metromini tapi tidak memiliki SIM.  Metromini T47 itu sesungguhnya izin trayeknya adalah Metromini T50  dengan nomor polisi B 7660 AS jurusan Kampung Melayu - Klender. Pada saat menabrak, Metromini masuk ke jalur Transjakarta.

Ada tiga kesalahan mendasar yang terlihat dari peristiwa tersebut. Pertama, tidak memiliki SIM tapi bisa menjalankan angkutan umum selama tiga tahun. Itu artinya tidak pernah ada pemeriksaan  di lapangan. Kedua, penyimpangan izin trayek, dari Metromini T50  (Kampung Melayu – Klender) tapi dipakai untuk T47 (Senen – Pondok Kopi). Ini memperlihatkan tidak adanya pengawasan secara rutin terhadap perizinan. Ketiga, Metromini masuk jalur Transjakarta Busway, itu jelas-jelas merupakan pelanggaran karena menurut UU LLAJ maupun Perda No. 12/2003 tentang Transportasi di di DKI Jakarta, jalur tersebut khusus untuk Transjakarta Busway. Di sini memperlihatkan tidak tidak adanya penegakan hukum sama sekali di lapangan.
Pengalaman pribadi naik Metromini sejujurnya amat miris. Setiap kali naik Metromini saya selalu menemukan pengemudi yang performance-nya sungguh menakutkan: gondrong, sangar, bertato, kumel, merokok, dan menjalankan Metromini secara ugal-ugalan, siksak kanan kiri sehingga selain membahayakan penumpang juga mengganggu arus lalu lintas kendaraan yang lain. Yang sering menjengkelkan adalah naik Metromini Pasar Minggu – Tanah Abang atau sebaliknya, lalu Metromini masuk jalur Transjakarta Busway (Jl Gatot Subroto), padahal Metromini tersebut menaikkan/menurunkan penumpang di sepanjang jalan. Perilaku tersebut jelas amat membahayakan penumpang yang akan naik/turun, dan otomatis mengganggu kelancaran lalu lintas, mengingat Jl. Gatot Subroto merupakan jalan yang padat. Tahun 2009 seorang penumpang Metromini jurusan Pasar Minggu - Tanah Abang jatuh pada saat turun. Penumpang tersebut diturunkan di jalur busway dan busnya langsung tancap. Penumpang jatuh membentur separator busway dan akhirnya tidak terselamatkan setelah dibawa ke rumah sakit. Sampai hari ini tidak ada pertanggung jawaban dari pengemudi.
Pengalaman traumatik itu  selalu terulang setiap saat naik Metromini karena para pengemudi Metromini sepertinya tidak pernah belajar dari kesalahan pengemudi lainnya atau pengalaman diri sebelumnya. Mereka tetap saja menjalankan kendaraan dengan ugal-ugalan dan siksak kanan-kiri, atau naik ke trotoar sehingga mengancam keselamatan pejalan kaki. Bila masyarakat tetap naik Metromini, karena tidak ada pilihan lain. Perilaku demikian juga dilakukan oleh pengemudi Kopaja, tapi dengan gradasi yang lebih rendah. Semua itu terjadi karena pengawasan lemah sehingga mereka tidak merasa takut untuk ditilang atau dikenai sanksi. Sebab kalau ditilang sudah ada yang mengurusnya, bukan urusan pengemudi lagi.
Pembenahan Struktural
Apa yang terjadi pada Metromini itu sesungguhnya bukan merupakan persoalan teknis managerial semata, tapi persoalan struktural, karena sumber masalahnya bukan hanya pada pemilik atau pengemudi saja, tapi pada pemegang otoritas pembianaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Kekacauan di lapangan itu cermin dari kekacauan struktural. Banyak pihak yang ada dalam struktur tersebut. Instansi Perhubungan memiliki peran melakukan pembinaan dan pengawasan di lapangan, polisi melakukan penegakkan hukum, Pendapatan Daerah memungut pajak/retribusi dari angkutan umum, sedang Kementrian Keuangan mengatur persoalan fiskal dan kredit, termasuk untuk angkutan umum.
Peran Kementrian Keuangan amat penting terutama bila bicara tentang peremajaan armada. Selama ini tarif angkutan umum jenis Metromini dan Kopaja atau angkutan umum regular lainnya dikenalikan oleh pemerintah dan selalu kurang berpihak kepada pengusaha angkutan, tapi hanya berpihak kepada penumpang saja. Oleh karena tarifnya dikendalikan pemerintah, maka tarif Metromini dan Kopaja amat tidak ekonomis. Jangankan untuk pemeliharaan dan peremajaan, untuk operasional sehari-hari saja pas-pasan. Oleh karena pendapatan dari operasional tidak bisa untuk pemeliharaan dan peremajaan, maka wajar bila kondisi fisik Metromini itu jelek dan tidak layak beroperasi: kursi banyak yang rusak, bodi karatan, tidak ada spedometernya, dan sudah berusia 30 tahun tapi masih tetap beroperasi. Mana mungkin para pemilik Metromini mampu melakukan peremajaan bila tarifnya tidak ekonomis dan mereka juga tidak memperoleh kredit lunak, serta subsidi berupa pembebasan bea masuk untuk impor kendaraan sejenis? Sayang, peran penting Kementrian Keuangan dalam mendorong terciptanya angkutan umum yang baik itu tidak pernah disentuh oleh banyak pihak, sehingga kalau bicara transportasi seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab Kementrian Perhubungan saja.
Dengan tarif yang tidak ekonomi itu pula, hanya para sopir tembak (pengemudi yang tidak memiliki SIM) yang mau menjalankan Metromini. Mereka yang memiliki SIM dan terdidik memilih lari menjadi pengemudi mobil pribadi maupun taxi. Dengan dijalankan oleh sopir tembak, wajar pula bila perilaku Metromini ugal-ugalan, karena mereka memang tidak tahu aturan dan tidak pernah mendapat pembinaan maupun pengawasan di lapangan. Juga tidak pernah ada penegakkan hukum apabila mereka melakukan pelanggaran, mereka merasa jalan itu miliknya sendiri. Dari perspektif ini, wajar bila Metromini menampilkan sosok wajah yang buruk di jalanan. Tapi amat tidak fair menimpakan buruknya Metromini itu hanya kepada pemilik saja.  Ini adalah tanggung jawab struktural, sehingga penyelesaiannya pun bukan hanya teknis managerial belaka. Teknis managerial itu masalah di lapangan, tapi struktural di pemegang otoritas. Yang di lapangan itu amat tergantung pada pemegang otoritas, bukan sebaliknya. Bagaimana penyelesaian yang structural tersebut?
Pertama, peremajaan Metromini dan Kopaja. Langkah Pemprov DKI Jakarta yang akan membeli 450 kendaraan jenis bus sedang perlu didukung penuh. Sebab hanya dengan APBN/APBD itulah peremajaan jenis angkutan umum reguler dapat dilakukan. Menyuruh pengusaha melakukana peremajaan, sementara tarifnya dikendalikan pemerintah, sangat tidak adil dan eksploitatif. Bukanlah dosa bila dana APBN/APBD dipakai untuk membeli bus yang diperuntukkan bagi warga. Pengusaha hanya mungkin dapat melakukan peremajaan bila difasilitasi dengan kredit lunak serta subsidi berupa pembebasan bea masuk.
Kedua, peremajaan armada tersebut perlu dibarengi dengan seleksi pengemudinya. Calon pengemudi bus yang dibeli dengan dana APBN/APBD itu perlu diseleksi secara ketat, termasuk latar belakang pendidikan dan komptensinya, juga apakah memiliki SIM atau belum. Pemerintah/Pemprov DKI Jakarta dapat memfasilitasi para calon pengemudi untuk mendapatkan SIM bila mereka lolos psikotes. Seleksi calon pengemudi dapat dilakukan oleh badan independen. Di India ada aturan bahwa untuk mengemudikan angkutan umum setidaknya harus tamatan SMTA. Aturan ini masuk akal karena tingkat pendidikan berkorelasi positip dengan pengetahuan mereka akan lalu lintas.
Ketiga, mutlak perlu ada pembinaan rutin setiap enam bulan sekali bagi pengemudi angkutan umum. Berdasarkan perbincangan dengan para pengelola angkutan umum di Jakarta, mereka mengeluhkan bahwa dulu (sebelum otonomi daerah) ada pembinaan pengemudi angkutan umum secara rutin, tapi paska otonomi daerah justru dihapuskan. Semoga Pemprov DKI Jakarta dapat menghidupkan kembali program yang bagus tersebut agar peran pembinaan terhadap awak angkutan umum dapat berjalan.
Keempat, mutlak perlu ada pengawasan dan penegakkan hukum di lapangan Para pengemudi angkutan umum yang ugal-ugalan harus diperingatkan, ditindak, dan diberi sanksi. Saya membayangkan, pada setiap titik tertentu ada petugas yang dibayar Pemprov DKI Jakarta (bisa Dishub atau Satpol PP) yang ngawasi Metromini ini di lapangan. Polisi perlu bertindak tegas dn konsisten terhadap pengemudi angkutan umum yang melakukan pelanggaran. Peran “jasa pengurusan” bila pengemudi mengalami masalah penegakkan hukum harus dihapuskan. Tanpa menyelesaikan persoalan struktural tersebut, sulit berharap terwujudnya angkutan umum yang manusiawi di Kota Jakarta. Menyerahkan perbaikan Metromini kepada pemiliknya pada kondisi saat ini jelas ibarat menggantang asap saja, tidak akan pernah terwujud.***





Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.