DARMANINGTYAS, PERGURUAN TAMANSISWA JAKARTA
Dimuat di Koran Tempo, 26 Juli 2013
Dimuat di Koran Tempo, 26 Juli 2013
Implementasi terbatas Kurikulum 2013
ternyata menimbulkan masalah. Berdasarkan keluhan yang disampaikan melalui
media massa maupun media social, salah satu kendalanya selain soal buku yang
terlambat, juga pelatihan gurunya lemah. Seorang guru menulis di twitter-nya, dia merasa para pelatih
–berasal dari Dinas Pendidikan dan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan)—kurang
menguasai materi sehingga para guru menjadi bingung. Guru tersebut akhirnya
sampai pada kesimpulan: “kalau suruh memilih antara meningkatkan kualitas guru
dengan mengganti kurikulum, saya milih meningkatkan kualitas guru”.
Sebagai orang yang pernah menyaksikan
langsung proses pelatihan guru, saya dapat membenarkan keluhan tersebut. Sayangnya,
sampai sekarang belum terlihat grand
design tentang pelatihan guru selanjutnya agar menjadi lebih baik. Taruhlah
pelatihan guru yang berlangsung awal-pertengahan Juli lalu itu baru untuk
sekitar 85.000 guru yang akan mengimplementasikan Kurikulum 2013 pada Tahun
Ajaran 2013/2014 ini. Tapi bagaimana dengan pelatihan 2,8 juta guru yang akan mengimplementasikan
Kurikulum 2013 pada Tahun Ajaran 2014/2015 nanti? Padahal, butuh waktu lama,
tidak cukup setahun untuk melatih 2,8 juta guru tersebut. Sementara para
pejabat di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selalu
mengingatkan bahwa guru-guru yang belum mendapat pelatihan tidak boleh
mengimplementasikan Kurikulum 2013. Peringatan tersebut dapat menjadi bumerang
bagi Kemendikbud sendiri tatkala Kurikulum 2013 harus diimplementasikan di
seluruh Indonesia pada Tahun Ajaran 2014/2015, tapi gurunya belum mengikuti
latihan semua.
Bukan
Sekedar Proyek
Sebagai anggota tim pengembang Kurikulum
2013 –yang turut memikul dosa bila implementasi kurikulum ini gagal—penulis berkewajiban
moral untuk mendorong suksesnya implementasi kurikulum baru. Dan mengingat
salah satu kontribusi kesuksesan implementasi kurikulum baru terletak pada
guru, maka harus segera dibuat grand
design pelatihan untuk sekitar 2,8 juta guru di seluruh wilayah Indonesia. Bukan
sekedar membuat proyek pelatihan saja, tapi dapat menjadi media pencerahan para
guru sasaran agar memahami ruh Kurikulum 2013. Tatkala guru memahami ruh kurikulum
baru, maka pelatihan mengenai proses pembelajaran dan penilaian jauh lebih
mudah, karena hal itu menyangkut soal teknis belaka. Buku yang belum siap tidak
menjadi penghalang utama asalkan guru telah memahmi ruhnya. Guru dapat memakai
buku lama yang sama kompetensi dasarnya untuk sarana pembelajaran. Buku bisa
menjadi hambatan utama ketika guru tidak memahi ruh kurikulum baru sehingga
ingin langsung masuk ke teknis pembelajaran. Tapi bila guru telah memahami ruhnya,
buku bukan menjadi hambatan utama implementasi kurikulum. Apa ruh Kurikulum
2013 tersebut?
Pertama, Standar Kompetensi Lulusan (SKL) diturunkan dari kebutuhan. Jadi kebutuhan manusia Indonesia di masa datang itu dirumuskan terlebih
dahulu, baru kemudian SKL-nya dirumuskan. Menghadapi tantangan global, maka
kompetensi yang diharapkan pada masa dating adalah kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral
suatu permasalahan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab, mencoba untuk mengerti dan
toleran terhadap pandangan yang berbeda, serta kemampuan hidup dalam masyarakat
yang mengglobal. Juga harus memiliki minat luas dalam kehidupan, kesiapan untuk bekerja, kecerdasan sesuai dengan
bakat/minatnya, serta memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan. Berdasarkan kebutuhan seperti itulah SKL dirumuskan. Pada KBK 2004 dan
KTSP Standar Kompetensi Lulusan itu diturunkan dari Standar Isi (mata pelajaran).
Kedua, Standar Isi diturunkan dari
Standar Kompetensi Lulusan melalui Kompetensi Inti yang bebas mata pelajaran. Kompetensi Inti itu mencakup sikap religius, sosial, pengetahuan, dan
aplikasi pengetahuan. Dalam setiap pembelajaran –apapun mata
pelajarannya—mengandung Kompetensi Inti. Pada KBK 2004 dan KTSP 2006, Standar Isi dirumuskan
berdasarkan tujuan mata pelajaran (standar kompetensi lulusan mata pelajaran) yang dirinci menjadi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mata Pelajaran (SKKD).
Ketiga, Semua mata pelajaran harus
berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Hal itu bisa terjadi karena semua mata pelajaran diikat dengan
Kompetensi Inti. Pada KBK 2004 dan KTSP 2006, ada pemisahan antara mata pelajaran pembentuk sikap (Agama, PPKN, Sejarah) pembentuk keterampilan (Seni, Olah Raga, TIK, Mulok), dan pembentuk pengetahuan (Bahasa, Matematika, IPA, IPS).
Keempat, mata pelajaran diturunkan dari
kompetensi yang ingin dicapai. Misalnya, yang ingin
dicapai adalah kemampuan berkomunikasi global. Dengan sendirinya mata pelajaran
yang diberikan dan proses pembelajarannya mengacu kepada kemampuan
berkomunikasi global tersebut. Pada KBK 2004 dan KTSP 2006 Kompetensi diturunkan dari mata
pelajaran. Konsekuensinya, setiap mata pelajaran memiliki
rumusan kompetensi masing-masing, tapi belum tentu menunjang kebutuhan para
lulusan di masa mendatang.
Kelima, proses pembelajaran yang
mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar,
dan mencoba [observation based learning]
untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Disamping itu, dibiasakan bagi
peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning.
Keenam, proses penilaian yang
menekankan pada proses dan hasil sehingga diperlukan penilaian berbasis
portofolio (pertanyaan yang tidak memiliki jawaban tunggal, memberi nilai bagi
jawaban nyeleneh, menilai proses pengerjaannya bukan hanya hasilnya, penilaian
spontanitas/ekspresif, dll).
Pemahaman
mengenai ruh Kurikulum 2013 itu mutlak diperlukan. Untuk bisa memahaminya
diperlukan pembongkaran mindset para
guru agar mereka tidak berfikir berdasarkan mata pelajaran saja sehingga selalu
mengandalkan pada buku pegangan. Bila guru masih mengandalkan pada buku pegangan,
ini awal kegagalan Kurikulum 2013. Guru mestinya bisa meramu sendiri materi
yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan kompetensi di masa datang. Upaya
membongkar mindset guru itu tidak
mudah karena ini sama dengan membongkar ideologi guru yang konservatif.
Terkait dengan
desain pelatihan guru untuk implementasi Kurikulum 2013, urusan membongkar mindset tidak bisa diserahkan kepada Dinas
Pendidikan/LPMP karena mindset mereka
sendiri harus diubah! Bagaimana mungkin mereka dapat melatih secara benar
sementara mindset mereka sendiri
bermasalah? Bila Kemendikbud ingin sukses sungguh menerapkan Kurikulum 2013,
harus berani merekrut para guru yang progresif, guru-guru di sekolah
alternative, aktivis pendidikan, atau bahkan guru-guru di sekolah-sekolah
internasional untuk menjadi instruktur pelatihan guru di hari pertama, yang
substansi materinya terkait dengan
persoalan ideologi pendidikan untuk mengubah mindset guru. Pada hari-hari berikutnya, setelah memasuki persoalan
teknis pembelajaran dan evaluasi, baru dapat diserahkan kepada Dinas Pendidikan/LPMP.
Tapi menyerahkan pelatihan kepada Dinas Pendidikan/LPMP semua, jelas bibit
kegagalan Kurikulum 2013. Guru-guru yang dilatih tambah bingung perbedaan Kurikulum
2013 dengan KBK 2004 dan KTSP 2006.
Kecuali
terkait masalah substansi, waktu pelatihan itu juga perlu didesain secara
matang. Bila Juli 2014 Kurikulum 2013 itu harus terimplementasi ke semua
sekolah di seluruh Indonesia, maka semestinya sejak tahun 2013 ada pelatihan
guru terus menerus sepanjang tahun agar mampu menjangkau seluruh guru di
Indonesia. Program pelatihan tidak harus di hotel selama lima hari
berturut-turut, tapi bisa setiap Hari Sabtu atau seminggu sekali dengan lokasi
di sekolah, guru beberapa sekolah bergabung menjadi satu group pelatihan. Cara
ini lebih efektif karena ada proses pengendepan dan diskusi di antara para guru
sendiri. Berbeda bila dikonsinyir di hotel selama lima hari berturut-turut, mereka
tidak mengalami pengendapan maupun proses diskusi dengan sesame guru maupun
instruktur.
Pada Kurikulum 2013, SKL diturunkan dari Kebutuhan, yang dimaksud dengan Di turunkan dari kebutuhan di sini tu apa? dan yang membuat atau menentukan SKL itu siapa? apakag guru atau sekolah dapat menentukan SKL?
BalasHapus