Langsung ke konten utama

MEMBANGUN INFRASTRUKTUR TRANSPORT, MEMBANGUN PERADABAN BANGSA[1]

Pengantar:

Tulisan di bawah ini lebih merupakan pengantar kepada siapa saja untuk merangsang kepada siapa saja agar mulai memperbincangkan persoalan pembangunan infrastruktur transportasi di negeri ini secara lebih serius agar proses pembangunan infrastruktur transportasi nasional tidak menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang kesengsaraan, lantaran salah asumsi, strategi, dan implementasinya. Sebaliknya kita justru mendorong agar pembangunan infrastruktur transportasi tersebut dapat menumbuhkan dan mengembangkan peradaban bangsa.


Kondisi transportasi yang buruk di Jakarta dapat dijadikan sebagai refleksi dan sekaligus referensi bagi pembangunan infrastruktur transportasi di kota-kota atau daerah-daerah lain di Indonesia agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang ada di Jakarta. Sebab kemacetan yang terjadi di Jakarta bukan saja telah menyebabkan penderitaan jutaan manusia, tapi juga, untuk menguraikannya memerlukan dana yang besar dan waktu yang panjang disertasi dengan proses politik yang amat alot. Bila keledai tidak mau tertumbuk pada batu yang sama, semoga kita sebagai manusia yang berfikir, juga tidak ingin tertumbuk pada batu yang itu-itu juga.

Agar paparan ini sedikit terarah, maka akan menjawab beberapa pertanyaan panitia saja yang telah terumuskan dalam TOR.

Pertama, mengenai persoalan-persoalan yang teridentifikasi menjadi faktor penyebab dari ruwetnya persoalan transportasi publik kita adalah rendahnya komitmen politik dari pengambil kebijakan.  Rendahnya komitmen itu berdampak amat luas, dari soal perhatian yang kurang serius sampai pada masalah pendanaan yang terbatas. Tidak ada satu pihak pun (eksekutif maupun legislatif) yang secara serius berjuang untuk pengembangan angkutan umum massal ini. Ketiadaan komitmen politik itu mungkin disebabkan karena ketidak-tahuan mereka. Ambil contoh, penghapusan sarana transportasi umum di Jakarta berupa tram listrik pada masa Walikota Sudiro (1953-1960) hanya didasarkan pada pandangan Presiden Soekarno bahwa tram-tram tersebut tidak cocok dengan kesan kota modern, karena tram tersebut tidak berada di bawah tanah (Peter J.M. dan Manase Malo2007, hal. 246-248). Desakan untuk menghapus tram itulah yang memicu konflik antara Walikota Sudiro (representasi daerah) dengan Presiden Soekarno (representasi pusat). Presiden Soekarno pada saat itu melihat sarana transportasi tersebut tidak dari fungsinya, tapi dari aspek estetika belaka. Seandainya Soekarno melihat fungsi tram sebagai moda transportasi kota yang efisien, tidak berpolusi, dan tidak menggunakan BBM, tentu dia tidak akan menyarankan untuk dihapus, sebaliknya justru dikembangkan sehingga sampai sekarang mungkin masih menjadi moda transportasi publik di Jakarta yang sangat handal karena mampu mengangkut jumlah penumpang cukup besar.
Jabakan Motorisasi
Hilangnya tram lisrik menyebabkan Jakarta kehilangan moda transportasi massal yang handal. Moda transportasi massal yang ada pada itu (dekade 1960-an) tinggal berbasis motor, yaitu bus dan bemo. Sedangkan angkutan umum lain yang dominan adalah becak. Adapun kendaraan pribadi didominasi oleh sepeda. Di penghujung dekade 1960an produk Jepang, terutama berupa sepeda motor merek Honda dan Suzuki mulai membanjiri Jakarta. Arus motorisasi itu semakin kuat memasuki dekade 1970-an, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan berkembangnya industri otomotif.
Bank Dunia turut andil besar dalam mendorong motorisasi ini dengan memfasilitasi pembangunan jalan raya. Blok M – Kota yang dulunya dilayani tram kemudian digantikan dengan jalan raya. Jaringan tram dihapuskan. Sedangkan pembangunan jalan yang menghubungkan Cawang - Tanjung Priok dibiayai oleh Amerika Serikat (Ibid, hal.248). Perhatian besar Bank Dunia terhadap motorisasi itu tidak terlepas dari campur tangan pemilik saham, termasuk Jepang yang sangat diuntungkan dengan proses motorisasi di Indonesia. Mayoritas motor (baik roda empat maupun dua) yang menyesaki jalan-jalan di Jakarta adalah produk Jepang, seperti  Daihatsu, Hino, Honda, Isuzu, Kawasaki, Mitsubishi, Nissan, Suzuki, Toyota, Yamaha, dll.
Proses motorisasi ini tidak terbendung lagi ketika negara secara sadar memfasilitasinya dengan membangun banyak jalan raya dan mulai tahun 1978 membangun tol Jagorawi, kemudian diikuti dengan pembangunan jalan tol lainnya, seperti Jakarta – Cikampek, Jakarta Tangerang, Cawang – Priok, Cawang – Bandara, dan sebagainya. Juga diikuti pembangunan jalan-jalan tol di luar Jakarta, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, dan Makasar. 
Jebakan motorisasi itu semakin mencengkeram ketika industri otomotif Jepang mulai ekspansi dengan mendirikan pabrik di Indonesia. Krisis ekonomi Juli 2007 sampai dengan akhir 1999 sempat membuat pasaran industri otomotif khususnya sepeda motor dan mobil lesu, tapi mulai tahun 2000 industri tersebut bangkit kembali. Khususnya untuk produk sepeda motor, pertumbuhan mereka begitu cepat, karena paska krisis ekonomi itu sepeda motor dijadikan sebagai moda produksi dalam bentuk ojek bagi korban PHK. Mayoritas pengojek mulai akhir dekade 1990-an itu adalah korban PHK, mereka membelanjakan pesangonnya untuk membeli sepeda motor untuk ngojek. Kehidupan tukang ojek yang relatif lebih mapan daripada menjadi buruh pabrik itu mendorong orang desa untuk tertarik menjadi profesi ojek di Jakarta. Mereka kemudian rela menjual sapi, kayu jati, atau bahkan tanah (sawah/ladang) mereka untuk membeli sepeda motor sebagai ojek di Jakarta.
Belakangan, industri sepeda motor sendiri lebih kreatif dalam memasarkan produknya dengan mengetrapkan mekanisme kredit amat mudah, mereka bekerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti WOM Finance, FIF, Aldira, dan sejenisnya. Kesemuanya itu mempermudah orang untuk mendapatkan kredit sepeda motor. Itu yang terjadi pada tingkat swasta. Sedangkan pada tingkat pengambilan keputusan, sejak Orde Baru, terlebih paska reformasi, kita sesungguhnya memasuki Rezim Bina Marga, di mana program pembangunan jalan, entah itu jalan tol maupun non tol memperoleh perhatian besar daripada pembangunan infrastruktur untuk pertanian, perikanan, perkebunan, maupun peternakan yang sebetulnya semuanya itu akan membuat bangsa Indonesia hidup lebih mandiri. Rezim Bina Marga itu terasa sekali (justru) paska reformasi ini ketika seperti tahun lalu dan tahun sekarang ini anggaran untuk satu direktorat jendral (Bina Marga) di PU jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran satu departemen (Perhubungan) yang menangani empat jenis moda transportasi: jalan raya, kereta api, laut, dan udara.
Sinerginya antara inovatifnya swasta dalam mengembangkan produk otomotifnya dengan kebijakan pemerintah yang didominasi oleh Rezim Bina Marga itulah yang memicu pertumbuhan kendaraan bermotor begitu cepat dalam satu dekade terakhir.
Tabel
Perkembangan Kendaraan Bermotor Nasional
(versi Polri)

Tahun
Mobil
Bus
Truck
Spd  Mtr
Jumlah
2006
6 615 104
1 511 129
3 541 800
33 413222
45 081 255
2007
8 864 961
2 103 423
4 845 937
41 955 128
57 769 449
2008
9 859 926
2 583 170
5 146 674
47 683 681
65 273 451
2009
--
--
--
--
--
2010
--
--
--
--
--

Perkembangan Kendaraan Bermotor nasional
(versi Dephub)

TAHUN
Mobil
Bus
Truck
Spd Mtr
Jumlah
2006
7.678.891
4.896.065
2.737.610
35.102.492
50.415.058
2007
9.501.241
5.031.544
2.854.990
45.948.747
63.318.522
2008
10.779.687
6.025.023
3.870.741
51.697.879
72.373.329
2009
11.828.529
6.225.588
4.223.677
59.477.626
81.725.420
2010
--
--
--
--
--

Tabel
Pergeseran Moda Transportasi yang dipakai untuk Perjalanan
No
Moda yang dipakai
2002
2010
1
Jalan kaki dan sepeda
23,7%
22,6%
2
Motor
21,2%
48,7%
3
Mobil Pribadi
11,6%
13,5%
4
Bus
38,3%
12,9%
5
Lainnya
5,3%
2,3%
                        Sumber : JUTPI, Commuter Survey, 2010

Di sisi lain, percepatan pertumbuhan kendaraan bermotor itu telah mengorbankan moda transportasi lain, yaitu kereta api dan laut. Di Jakarta kita melihat sehari-hari pemandangan di mana jumlah penumpang KRL Jabodetabek yang begitu banyak tidak dapat terlayani semua sehingga harus naik di atas atap yang membahayakan jiwanya. Sedangkan buruknya transportasi laut terlihat dari panjang dan lamanya kasus antrean di Merak dan Bakauheni akibat keterbatasan prasarana maupun sarana angkutan laut.
Kasus antrean panjang itu merupakan persoalan serius karena berdampak pada ekonomi berbiaya tinggi, juga penderitaan para sopir dan kernet truck yang harus tombok untuk makan dan lainnya selama terjebak kemacetan. Tapi kita lihat, setidaknya yang muncul di media massa, itu seakan persoalan perhubungan saja, padahal itu persoalan ketersediaan infrastruktur secara keseluruhan, di mana Kepentrian PU selayaknya turut bertanggung jawab.
Kuatnya Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong realisasi pembangunan Jembatan Suramadu, yang berbiaya tinggi dan mematikan moda transportasi laut, tapi tidak ekonomis dan tidak membuat warga Madura lebih sejahtera. Meskipun demikian, sebuah rencana yang jauh lebih besar dengan menelan dana amat besar pula akan dilaksanakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yaitu pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). JSS yang diharapkan akan dimulai tahun 2014, sebelum SBY meletakkan masa jabatan pada 2014 nanti, akan menelan dana sekitar Rp. 250 triliun. Sebuah tim, aturan, dan kelembagaan untuk mempercepat rencana  itu sudah disiapkan. Ini artinya, rencana itu bukan sekedar wacana saja, tapi akan diimplementasikan di lapangan. Menko Perekonomian, Bappenas, PU, dan Perhubungan sudah selalu intensif melakukan pembahasan terhadap implementasi rencana tersebut.
Dilihat dari kepentingan berbangsa, JSS ini adalah proyek besar yang akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kehancuran. Sebab dari aspek finansial, dana Rp. 250 triliun itu tidak sedikit. Jauh akan lebih bermanfaat untuk membangun infrastruktur pertanian (termasuk pertanian garam agar tidak impor garam), infrastruktur perkebununan, peternakan, dan perikanan agar bangsa Indonesia dapat mandiri dari segi pangan. Sedangkan dari aspek politik, JSS dapat mempercepat disintegrasi bangsa, terutama antara Indonesia Barat –yang selalu dimanjakan dengan infrastruktur transportasi—dan Indonesia Timur  yang selalu termarginalisasi. Bagaimana warga di Papua tidak marah dan menuntut merdeka bila persoalan infrastruktur transportasi mereka sampai sekarang belum terpecahkan, tapi anggaran besar dari negara justru akan dipakai untuk membiayai proyek megalomania saja, yang dampaknya juga akan mematikan moda transportasi laut yang selama hampir satu abad menjadi jembatan penghubung antara Jawa dengan Sumatra. Rezim Bina Marga itu tampaknya menumpulkan cara berfikir kita, sehingga pemahaman penguasa terhadap arti kata “jembatan” itu identik dengan bentangan baja atau beton saja. Padahal, kalau kita lihat Kamus Bahasa Indonesia, kata “jembatan” selain diartikan titian biasanya dari kayu atau beton yang melintang di atas sungai, juga dapat berarti penghubung atau perantara. Penghubung atau perantara itu tidak harus berupa bentangan besi atau beton, tapi kapal itu juga berfungsi penghubung. Dengan kata lain, Rezim Bina Marga itu telah memiskinkan dan mereduksi pemahaman kita tentang makna kata “jembatan” yang bisa selain fisik, juga bermakna simbolik menjadi menjadi bermakna fisik semata.
Indonesia, mestinya belajar dari Yunani, yang tahun 2010 lalu mengalami kebangkrutan ekonomi dan perlu bantuan dari negara-negara Eropa lainnya. Salah satu faktor yang memicu kebangkrutan itu adalah banyak utang yang jatuh tempo. Utang tersebut salah satunya untuk pembangunan infrastruktur menjelang pelaksanaan Olympiade olah raga satu dekade lalu. Kebangkrutan yang sama akan dialami Indonesia pada saat dan atau paska pembangunan JSS. Bisa saja para pejabat terkait selalu membodohi (menganggap rakyat bodoh) dengan mengatakan JSS akan dibiayai oleh swasta. Komentar terhadap pernyataan tersebut sederhana saja: “Tidak ada makan (pagi, siang, malam) yang gratis!”.  Boleh jadi, sepertiga negeri ini digadaikan kepada investor hanya untuk membangun JSS itu.
Pembangunan JSS itu juga akan memperburuk kondisi lalu lintas di Jakarta, karena Jakarta ibarat digerojok dengan mobil pribadi dari Sumatra. Begitu juga sebaliknya sehingga kondisi lalu lintas di Sumatra pun akan kacau balau dan udaranya menjadi sangat polutif. Semoga tsunami Jepang minggu lalu membuat para pengambil keputusan berefleksi lagi, bahwa betulkah kemampuan teknologi akan dapat mengalahkan kekuatan alam? Jepang adalah negara yang unggul teknologinya dan kepada mereka pula kita berkiblat. Tapi kenyataannya mereka tidak mampu mensiasati kebesaran alam (tsunami), juga tidak mampu menahan agar PLTN nya tidak meledak. Siapa yang menjamin bahwa kekuatan angin kencang di selat Sunda dan Gunungkrakatau dapat diatasi dengan kemampuan teknologi. Runtuhnya Jembatan Misisipi di AS dan tidak terselesaikannya jalan tol yang retak di Semarang – Solo merupakan bukti bahwa kekuatan alam lebih dahsyat daripada kekuatan otak manusia, maka kalau betul-betul orang beragama, jangan takhabur dengan mengatakan bahwa “kita bisa mengatasi kondisi alam tersebut”. Saya bersedih mendengar pernyataan semacam itu karena itu mencerminkan sikap takhabur dari orang yang beragama. Saya berharap nafsu megalomania pimpinan tidak menyebabkan kita menjadi takhabur.
Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong pembangunan Tol Trans Jawa yang merusak ekosistem pertanian dan memiskinkan warga yang tergusur. Padahal, kita semua tahu bahwa Pulau Jawa merupakan daerah yang subur dan menjadi penobang terbesar untuk produksi padi maupun cadangan air tanah. Dengan digusurnya lahan pertanian dan sumber air kita untuk jalan tol, maka ke depan akan muncul bencana besar berupa kelaparan dan kelangkaan air bersih. Keduanya kelak terpaksa harus impor.
Pembangunan Tol Trans Jawa itu dilihat dari segi transportasi sangat tidak rasional karena jaringan rel kereta api (KA) kita itu sudah ada dari Merak sampai Banyuwangi, tinggal mengoptimalkan saja (agar lebih sering dilewati) dan dikembangkan dengan membuat jalur ganda. Membuat jalur ganda KA tidak perlu menggusur karena lahannya sudah tersedia, tingkat meletakkan rel baru itu di sisi kiri atau kanan dari rel yang sudah ada saja. Tapi pilihan yang mudah dan murah itu tidak diambil karena memang tidak menguntungkan dari kepentingan kapital. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur transportasi kita dibangun bukan dalam rangka menjalankan tugas negara agar dapat melayani warganya untuk bertransportasi dengan aman, nyaman, dan selamat; tapi dalam rangka memperluas pasar kapitalisme global. Kalau memang betul untuk melayani warga, maka mestinya yang dibangun adalah pelabuhan-pelabuhan yang bagus dengan kapal yang kokoh sehingga dapat memperlancar mobilitas geografis antar pulau. Jembatan Selatan Sunda itu hanya kepentingan pemimpin yang megalomania dan Cina maupun Jepang yang sudah tahu potensi alam yang dapat dikeruk paska adanya pembangunan JSS.

Begitu kuatnya Rezim Bina Marga itu pula yang membuat kita ini tidak memiliki blue print tentang pembangunan transportasi nasional yang sesuai dengan karakter geografis kita sebagai negara kepulauan. Yang ada hanyalah blue print tentang pengembangadan jalan tol, baik Tol Trans Jawa maupun luar Jawa. Memang masing-masing direktorat (darat, kereta api, laut, dan udara) di Kementrian Perhubungan punya perencanaan nasional, tapi kalau tidak didukung oleh kementrian terkait (PU dan Keuangan), maka rencana tetap menjadi rencana belaka, tidak bisa direalisasikan.

Contoh ketidak-jelasan visi transportasi itu terlihat dari kebijakan BBM di negeri ini tidak ada juntrungnya. Tarik menariknya kebijakan pembatasan penggunaan BBM (bersubsidi atau tidak) menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya lebih dikendalikan oleh kekuatan kapital (industri otomotif) yang khawatir produk mereka akan turun bila ada pembatasan penggunaan BBM. Bila pemerintah itu sungguh otonom dan punya visi, maka harga BBM dibuat sesuai harga pasar, sedangkan BBM bersubsidi khusus untuk angkutan umum (penumpang dan barang) serta nelayan, dengan maksud agar harga barang-barang tidak naik dan nelayan tetap bisa bertahan hidup. Lalu, alihkan dana yang untuk subsidi BBM itu untuk membangun infrastruktur dan penyediaan sarana tranportasi yang baik sehingga warga merasa terfasilitasi; untuk pendidikan dan kesehatan secara murah. Membiarkan kebijakan BBM tidak jelas seperti sekarang ini, akan membuat negara hancur karena subsidi untuk BBM terus meningkat, apalagi sekarang kita sudah menjadi negara pengimpor BBM.

Jebakan motorisasi dan kuatnya Rezim Bina Marga ini menunjukkan bahwa tidak ada diregen yang baik di negeri ini untuk pengembangan sektor transportasi. Ibarat orang bermain orkestra, nada suara antara alat satu dengan lainnya itu sumbang, bertentangan sehingga tidak menghasilkan permainan musik yang merdu didengar, tapi kacau balau. Di satu sisi mau melakukan pembatasan penggunaan BBM (bersubsidi maupun tidak), tapi di sisi lain justru giat membangun jalan tol, jalan layang, maupun jembatan beton/baja antar pulau yang itu jelas-jelas akan memicu motorisasi dan otomatis pemborosan BBM.
Permainan orkestra itu terasa sumbang sekali kalau kita melihat kebijakan infrastruktur transportasi dikaitkan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak emisi gas buang (yang disebabkan oleh kendaraan bermotor). Pemerintah berjanji kepada dunia untuk mengurangi dampak emisi gas buang, tapi tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberadaan moda non motorize transportation (NMT) dan pejalan kaki, sebaliknya justru hanya memfasilitasi pergerakan motor saja.

Maut Selalu Menjemput

Jebakan motorisasi itu terasa amat di Jakarta, sehingga yang terjadi kemudian adalah pembangunan infrastruktur di Jakarta terjebak untuk melayani pergerakan motor. Banyak jalan layang dan terowongan dibangun, tapi tidak menyelesaiakan
Masalah karena semakin banyak jalan baru dibangun, semakin banyak pula jumlah pengguna kendaraan bermotor. Di sisi lain, keberadaan jaringan rel kereta api yang banyak, tidak dapat dioptimalkan pemakaiannya dan juga tidak dapat dikembangkan dengan alasan ketiadaan dana. Di sini mestinya Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta dapat bersinergi untuk mengoptimalkan dan mengembangkan jaringan rel kereta api, mengingat UU Perkeretaapian yang baru memungkinkan Pemprov dapat masuk ke KA, sebagai operator (pada jaringan rel yang sudah ada), tapi juga bisa membangun jaringan rel baru pada kawasan yang belum ada. Kebijakan pembangunan infrastruktur di Jakarta saat ini masih terjebak pada motorisasi dan Rezim Bina Marga, bahwa jalan raya adalah panglima utama untuk bertransportasi. Mereka lupa bahwa jalan raya selain bermakna sosial dan ekonomis, juga dapat berperan sebagai algojo dengan sepeda motor sebagai mesin pembunuhnya. Menurut Kapolda Metro Jaya, rata-rata tiga orang per hari meninggal di Jakarta karena kecelakaan lalu lintas. Dan meskipun Pemerintah sudah mempunyai komitmen untuk menciptakan Zero Accident, tapi belum terlihat jelas strategi implementasinya sehingga jargon tidak terwujud. Maut tetap menjemput para pemakai jalan di Jakarta.

Kececelakaan Lalu Lintas di Wilayah Ditlantas Polda Metro Jaya 2005-2010

Tahun
Jumlah Kecelakaan
Jumlah Korban
Jumlah korban
Kerugian
Tewas
Luka berat
Luka ringan
Benda
Materiil (Rp)
2005
4.156
1.118
2.402
1.943
5.463
6.779
9.520.300.000
2006
4.407
1.128
2.372
2.188
5.688
6.585
7.693.727.000
2007
5.154
999
2.345
3.398
6.742
8.003
11.302.141.000
2008
6.393
1.169
2.597
4.317
8.083
10.131
12.249.420.000
2009
7.329
1.071
3.388
5.165
9.624
11.209
12.393.069.000
2010*
6.786
854
2.956
4.776
8.586
10.349
14.219.318.000
*) (s/d Oktober)
Sumber data           : Polda Metro Jaya, Direktorat Lalu Lintas, 2010
Sumber berita         : Kompas, 23 Desember 2010

Trend yang Berkembang
 




















Jumlah Kecelakaan Nasional, sumber: Instran, data diolah, 2010

WORLD REPORT ON ROAD TRAFFIC INJURY PREVENTION: SUMMARY
Text Box:


Upaya Mengurai Benang Kusu

Kebijakan pembangunan transportasi publik adalah sebuah keputusan politik, bukan ekonomi. Oleh karena itu, usaha untuk mengurai benang kusut persoalan transportasi publik tidak ada cara lain kecuali dengan keputusan politik. Kita mengharapkan ada pimpinan negara yang memiliki visi jelas terhadap pembangunan infrastruktur transportasi publik. SBY bukan orang yang memiliki visi yang jelas, terbukti dia justru mendorong percepatan pembangunan Tol Trans Jawa dan menghendaki terwujudnya pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) sebelum masa akhir jabatannya yang kedua, sementara sebagai seorang militer mestinya dia mengetahui bahwa keberadaan jembatan tersebut akan berpotensi terhadap percepatan disintegrasi antara Indonesia Timur (yang semakin tertinggal) dan Indonesia barat yang mengalami percepatan berlipat dalam infrastruktur transport. SBY sebagai doktor pertanian dari IPB mestinya juga tahu kalau pembangunan Tol Trans Jawa yang akan merusak lahan pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya. SBY juga tahu kalau kebijakan BBM sekarang ini akan mendorong pemborosan pemakaian BBM. Sebagai orang yang katanya dulu memakai KA Matramaja (Malang – Jakarta PP) SBY juga tahu kalau kondisi KA ekonomi kita amat memprihatinkan dan perlu direnovasi. Tapi semuanya itu dibiarkan tanpa arah yang jelas. Kita butuh pengambil kebijakan yang memiliki visi jelas. Yaitu kembangkan angkutan umum massal baik berbasis rel, bus, maupun angkutan antar pulau, karena itu yang akan memfasilitasi mobilitas warga secara efektif dan efisien.

Karakteristik Aangkutan Massal
(Kecepatan, Biaya,  Kapasitas Angkut)

No
Tipe Moda
Kecepatan
Biaya
Kapasitas

Km/jam
Juta USD/Km
Arah/ Jam-Lajur
1
Busway Mix
10–12
0,5-2,5
15000

Busway Mix
15–30
35.000
2
Kereta Api Mix
10-12
3-5
12.000
3
Light Train
15-25
12-25
18.000-40.000
4
Metro Surface
30-35
30-40
20.000-50.000
5
Metro Subway
30-35
85-105
25.000-70.000
Sumber : ITDP, 2003

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta membuat PTM (Pola Transportasi Makro) dengan menyediakan pilihan-pilihan infrastruktur yang akan dibangun sudah tepat, kecuali PTM revisi yang memasukkan enam ruas jalan tol tengah kota yang menjadi salah sasaran.  Yang perlu ditambahkan dalam PTM adalah perhatian terhadap last mile, terutama pejalan kaki dan sepeda, keduanya terlupakan karena kuatnya arus motorisasi yang mendekte kekuasaan dan pakar dalam menyusun perencanaan transportasi. Sepeda dan pejalan kaki tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen perjalanan, meskipun setiap pergerakan ada unsur pejalan kaki. Pilihan infrastruktur dengan membangun FO Anatasari dan Casablanca adalah pilihan yang amat keliru karena justru akan menambah deret kemacetan di Jakarta lima tahun ke depan setelah FO tersebut beroperasi. Sebaliknya revitalisasi sungai sebagai bagian integral dari pengembangan infrastruktur transportasi di perkotaan malah tidak dilakukan. Kita berharap agar Dinas dan Kementrian Pekerjaan Umum jangan hanya terfokus pada bidang bina marga saja dengan membangun jalan dan jembatan, tapi kembali ke khitoh sebagai “Pekerjaan Umum” yang mendorong terciptanya infrastruktur transportasi unuk publik. ***


LAMPIRAN SAJA BILA DIPERLUKAN, BAGI YANG BELUM TAHU


LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN KEMACETAN
VERSI KANTOR WAPRES

  1. Memberlakukan Electronic Road Pricing (Kemenhub, Pemprov DKI)
  2. Mengkaji kebijakan perpakiran on street dan penegakan hukum (Pemprov DKI, Kepolisian  Pemprov DKI, Banten, Jawa Barat, Otoritas )
  3. Perbaikan sarana-prasarana jalan Transportasi Jabodetabek (Pemkab Bodetabek)
  4. Jalan tol dalam kota tambahan (Kemen PU Kemenkeu, Kemenko Perekonomian),
  5. Menyusun kebijakan pembatasan kendaraan bermotor (Kemenhub, Polri, Bappenas)
  6. Penyiapan lahan park and ride untuk mendukung KRL (Kemenhub, BPN, Pemprov DKI, PT. KCJ)
  7. Meningkatkan kualitas, merevitalisasi dan memperluas pedestrian way (Pemprov DKI)
  8. Sterilisasi jalur busway (Bus Rapid Transit) (Pemprov DKI, polisi)
  9. Penambahan jalur busway hingga 12 koridor pada akhir 2012 (Pemprov DKI)
  10. Harga gas khusus transportasi (Pertamina, Kemen BUMN, Kemen ESDM)
  11. Restrukturisasi angkutan bus kecil yang tidak efisien (Kemenhub, Pemerintahan di Wilayah Jabodetabek)
  12. Mengoptimalkan KRL Jabodetabek dengan re-routing (Kemenhub)
  13. Penertiban angkutan liar dan tempat perhentian angkutan liar (Pemprov DKI)
  14. Mempercepat pembangunan MRT (Pemprov DKI)
  15. Proyek double-double track KRL Jabodetabek ruas Manggarai – Cikarang (Kemenhub, Pemprov DKI)
  16. Mempercepat pembangunan lingkar dalam KRL yang diintegrasikan dengan sistem angkutan massal (Kemenhub, Pemprov DKI, PT. KAI)
  17. Percepatan pembangunan KA Bandara (Kemenkeu)
  18. Pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek (Kemenko Perekonomian)
  19. Revisi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek Kemenko Perekonomian
  20. Pendidikan masyarakat tentang kemacetan dan disiplin  berlalu lintas ( Kemenhub)




[1] Catatan untuk bahan diskusi dengan tema Labirin Transportasi Publik: Antara Kenyamanan, Keamanan, dan Kesenjangan, tanggal 17 Maret 2011 di The Indonesian Forum, Jakarta

[2] Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (NGO Transportasi) dan Wakil Ketua MTI

Komentar

  1. teirma kasih ulasan berita yang sangat menariknya salam sukses selalu

    kunjungi juga pak saya di Obat Penyakit Stroke

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.