DARMANINGTYAS,
Ketua Dep.Pembudayaan Nilai Kejuangan ’45 dan Pendidikan
Dewan Harian
Nasional (DHN) 45
Tulisan di bawah ini dimaksudkan untuk
memberikan masukan kepada Pemerintah yang tengah menyusun kurikulum baru.
Tulisan ini diinspirasi oleh tulisan kata pengantar Dr.Sindunata dalam buku Ilir-ilir, Ilustrasi Tembng Dolanan yang
diterbitkan oleh Bentara Budaya Yogyakarta.
Buku tersebut sangat bagus sebagai referensi untuk menyusun kurikulum TK (Taman Kanak-kanak) hingga SD (Sekolah Dasar), sayang dicetak secara terbatas sehingga penyebarannya tidak meluas dan tidak terbaca oleh pengambil kebijakan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Buku tersebut sangat bagus sebagai referensi untuk menyusun kurikulum TK (Taman Kanak-kanak) hingga SD (Sekolah Dasar), sayang dicetak secara terbatas sehingga penyebarannya tidak meluas dan tidak terbaca oleh pengambil kebijakan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sesuai dengan judul bukunya, kata
pengantar itu sendiri lebih fokus mengulas masalah peran permainan dalam
kehidupan anak-anak. Dengan mengutip pemikiran Johann Huizinga, sejarawan
pengarang buku Homo Ludens, H.Overbeck yang menulis buku Javaanche Meisjesspelen en Kinderliedjes, yaitu buku yang berisi kumpulan
dolanan anak-anak, Hugo Rahner yang menulis buku Der Spielende Mensch Einsiedeln, serta Andrew Greely; Sindunata
ingin menggambarkan betapa permainan memiliki peran sentral dalam proses
pertumbuhan anak-anak, terutama menyangkut masalah pembentukan karakter yang
menjunjung tinggi kerjasama, gotong royong, dan menghargai alam maupun budaya.
Permainan itulah yang sampai akhir dekade 1970-an menemani anak-anak di Jawa
menghabiskan sorenya. Mengutip Overbeck, ada sekitar 1.500 sampai 2.000 lagu
dolanan yang tersebar di pelbagai tempat di Jawa pada waktu itu (1938).
Overbeck sendiri berhasil menghimpun 690 lagu untuk diterbitkan dalam bukunya.
Beberapa contoh lagu-lagu dolanan
anak-anak itu antara lain: Jamuran,
Entong-entong, Pong-pong Bolong, Atur-atur Kemendur, Ancak-ancak Alis, Andul,
Tumbaran, Srek-usrekan, Cublak-cublak Suweng, dan sebagainya. Setiap
permainan memiliki variasinya masing-masing, sehingga ragamnnya menjadi jauh
lebih banyak. Menurut Sindunata, dari permainan anak-anak terbacalah sekaligus ciri khas sebuah kultur yang hendak
ditampilkannya. Sebagai contoh, dari permainan Ancak-ancak Alis, dapat menggambarkan betapa dekatnya hubungan
antara permainan anak-anak Jawa dengan kebudayaan agraris mereka. Permainan itu
bahkan memperagakan kembali seluruh proses kultivasi padi. Dengan dimainkan
jadi tampak, bahwa penanaman padi bukanlah sekedar aktivitas petani, tapi juga
suatu kejadian kebudayaan, yang khas. Padi, tanaman yang menghidupi orang Jawa
setiap hari, demikian dihormati, sampai tanaman itu diperlakukan seperti
manusia juga.
Penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin ini juga menjelaskan bahwa permainan
anak-anak Jawa dulu selalu terjadi dalam kebersamaan. Anak-anak saling
berinteraksi, dan diandaikan bahwa mereka mempunyai pengalaman dan pengenalan
bersama mengenai lingkungannya, seperti sawah, pasar, bintang-bintang,
binatang, dan sebagainya. Tanpa kebersamaan, tidak mungkin permainan khas anak
Jawa itu dimainkan. Mengutip tesis Huizinga, bahwa permainanlah yang melahirkan
kultur, dan menjadi dasar dan sumber dari kultur dan peradaban, maka Sindu
berkesimpulan bahwa kebudayaan Jawa pun sangat diwarnai oleh kesosialan,
kebersamaan, dan kegotong-royongan, seperti tampak dalam permainan anak-anak. Dengan
permainan, manusia boleh mentransendensikan dirinya dari aktivitas kehidupan
sehari-hari, orang keluar dari kehidupan yang nyata, tak lagi di bawah tuntutan
untuk memuaskan nalurinya seturut permintaan dari luar. Orang bisa dipaksa
untuk bekerja, tapi ia tidak pernah bisa dipaksa untuk bermain. Memaksa orang
untuk bermain bukanlah permainan lagi.
Sayang, permainan yang merupakan
cermin dari hakekat manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens) itu makin menghilang, tergerus oleh perkembangan
zaman. Pada awalnya adalah televise yang mampu mengalihkan perhatian anak-anak
dari permainan. Dominasi televise berlangsung dua dekade lebih (dekade 1980-an
hingga awal dekade 2000-an), terutama dengan kemunculan stasiun-stasiun
televise swasta. Kemudian muncullah era baru yang disebut internet. Bersamaan
dengan ini adalah games yang
merupakan produk industri. Tapi menurut Sindunata, games itu tidak lagi mendekatkan anak-anak kita pada alam dan
lingkungan di mana mereka hidup. Games
itu bukanlah permainan yang bisa mengantarkan kita pada kebudayaan. Sebaliknya,
games itu malah menyerobot anak-anak
kita dari kebudayaan kita, dan total mengasingkan mereka darinya.
Kehadiran alat-alat komunikasi
seperti HP, blackberry, gaget, IPAD, dan sebagainya semakin membuat anak-anak
asyik dengan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Bahkan mereka juga cuek dengan keselamatan dirinya. Terbukti, ketika berjalan
kaki atau naik kendaraan umum (umum/pribadi) mereka selalu menutup kedua kuping
mereka dengan alat untuk mendengarkn musik. Beberapa kasus kecelakaan terjadi,
remaja ditabrak kereta api atau kendaraan bermotor pada saat berjalan, lantaran
konsentrasi mereka asyik mendengarkan musik yang ditempel di kupingnya.
Pengembangan Panca
Indera
Membaca uraian filosofis dari
Sindunata tentang makna permainan anak-anak bagi pengembangan kultur suatu
masyarakat, kita pun diingatkan untuk melihat kembali konsep pendidikan yang
digagas oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD), salah seorang peletak dasar sistem
pendidikan nasional. Menurut Ki Hadjar, pendidikan harus menyenangkan. Oleh
karena itulah nama-nama perguruan (sekolah) yang didirikan oleh KHD selalu
mempergunakan istilah “taman” (garten),
seperti Taman Indriya (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya
(SMA), dan Taman Karya (SMK). Secara harafiah, taman adalah suatu ruang terbuka
yang memungkinkan berbagai individu maupun kelompok bertemu untuk kepentingan
yang sama, rekreatif! Dengan penamaan seperti itu, maka menurut KHD, sekolah
bukan sebagai tempat yang menakutkan, tapi sebagai tempat yang menyenangkan.
Dengan kata lain, konsep pendidikan yang menyenangkan bukan konsep baru, tapi
telah ada sejak lahirnya Perguruan Tamansiswa (1922). Hanya saja,
karena kita selalu melupakan sejarah, maka tidak mengenal konsep lama dan apa
yang kita konsepkan sekarang seakan-akan hal baru.
Taman
Kanak-kanak disebut dengan istilah Taman Indriya, karena aksentuasi pada
pengembangan panca indera dan psikomotorik, jangan sampai kehilangan kodrat
anak dengan dolanan. Pada Taman Indriya ini yang lebih ditekankan adalah pada
konsep ”3 n”, yaitu nonton (melihat),
niteni (memperhatikan dengan
seksama), dan niroke (menirukan). Untuk
Taman Muda (SD), selain konsep ”3n” tadi, ditambah dengan nambahi (menambahkan). Ini artinya sudah ada pengembangan dari
Taman Indriya tadi, tapi basisnya tetap pada pengembangan panca indera dan
psikomotorik. Di Taman Muda pada saat itu, selain lebih banyak mengembangkan
kepekaan panca indera, juga ditambahi dengan kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung (Calistung).
Berdasarkan
pada konsep pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara tersebut, maka
sebaiknya kurikulum SD lebih ditekankan pada fasilitasi pengembangan panca
indera dan kemampuan Calistung. Pengembangan panca indera itu dapat dilakukan
melalui kegiatan seni (dolanan, suara, tari, menggambar, prakarya) dan olah
raga. Oleh karena itulah mata pelajaran seni dan olah raga untuk SD, terutama
di kelas 1-3 harus lebih banyak dari mata pelajaran yang bersifat
dogmatis-normatif, seperti Pendidikan Agama dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan). Kurikulum di SD yang lebih menekankan pada pelajaran yang
bersifat dogmatis-normatif dapat berdampak buruk pada kebebasan berfikir dan
kreativitas masyarakat. Bahkan yang mencemaskan adalah sikap tidak toleran yang
sekarang sudah mulai berkembang, tidak akan terbendung lagi. Akhirnya kurikulum
baru yang semula dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya kreativitas,
eksploratif, toleransi, dan kerjasama tidak mencapai sasaran, sebaliknya justru
menegasikan kesemuanya tadi. Oleh karena itu, selagi kurikulum tersebut belum
disahkan, maka struktur kurikulum untuk SD dapat ditinjau kembali, jangan
sampai justru menjebak bangsa ini ke dalam alam berfikir
dogmatis-normatif!
Komentar
Posting Komentar