Langsung ke konten utama

REGULASI YANG MELIBERALISASI PENDIDIKAN

Oleh : Darmaningtyas

            Pendidikan, di mana pun di dunia ini adalah hak yang melekat pada setiap warga (hak asasi manusia). Indonesia, bila berpijak pada Pembukaan UUD 1945 juga menempatkan pendidikan itu sebagai hak yang harus dimiliki oleh setiap warga. Sebab pendidikan adalah sarana untuk pencerdasan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut. 


            Selama lebih dari 50 tahun, sampai berakhirnya Rezim Orde Baru, pengakuan pendidikan sebagai hak itu kurang tegas alias samara-samar. Tapi sejak amandemen UUD 1945 yang Pasal 31 menyatakan:  (1). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; dan (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; maka pengakuan akan hak itu makin jelas. Apalagi Indonesia telah meratifikasi  Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2005 yang di dalamnya mengakui bahwa pendidikan itu sebagai hak yang melekat pada diri setiap warga negara (HAM).

            Secara empiris, pendidikan juga berperan sangat besar dalam memajukan bangsa dan negara. Hanya negara yang memperhatikan pendidikan bagi warganya lah yang dapat mencapai kemajuan ilmu pengetahuan maupun kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebaliknya negara-negara yang tidak memperhatikan pendidikan warganya, akan semakin tertinggal dalam banyak hal. 

            Ironisnya, Indonesia sebagai negara yang secara formal mengakui pendidikan itu sebagai hak dan secara empiris merupakan negara berkembang, justru mengabaikan pendidikan warganya. Ketika angka partisipasi pendidikan dasar belum mencapai 100%, angka partisipasi pendidikan menengah belum mencapai 70%, dan angka partisipasi pendidikan tinggi (orang berusia 19 – 24 tahun kuliah) baru mencapai 14 persen—Orde  Baru dulu punya target angka partisipasi pendidikan tinggi pada tahun 2010 (dua tahun lagi) mencapai 25 persen—, Pemerintah SBY – JK sekarang justru membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada liberalisasi pendidikan. Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan itu adalah pendidikan tidak lagi menjadi hak dasar setiap warga, tapi akan menjadi barang dagangan (komoditas), sehingga hanya mereka yang mampu membayar lah yang dapat menikmatinya. 

Berawal Privatisasi PTN

            Liberalisasi pendidikan sebetulnya dimulai dari PP No.61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, yang kemudian diikuti dengan PP No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang mengatur privatisasi UI, UGM, IPB, dan ITB dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sejak itulah keempat PTN terkemuka itu –kemudian diikuti oleh PTN-PTN lainnya—menjadi sangat mahal dan hanya terjangkau oleh golongan kaya saja. Celakanya PTN seperti USU (Universitas Sumatra Utara), UNAIR (Universitas Airlangga), dan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, mengikuti langkah UI, UGM, ITB, dan IPB tersebut. Akibatnya, PTN-PTN tersebut makin tidak terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Privatisasi PTN itu akibat dari tekanan IFM agar Indonesia mengurangi subsidi untuk kebutuhan sosial dasar sehingga dapat mencicil utang luar negerinya.

            Kebijakan liberalisasi itu diberikan payung hukum dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semangat dari UU Sisdiknas baru itu adalah liberalisasi pendidikan dengan cara membuka lebar masuknya kekuatan modal asing ke dalam pendidikan di Indonesia dan melemparkan tanggung jawab pendanaan pendidikan kepada masyarakat. UU Sisdiknas yang baru ini pula yang mengamanatkan pengelolaan pendidikan formal dalam bentuk badan hukum pendidikan dan diatur dengan undang-undang tersendiri (Pasal 53). Berdasarkan pasal tersebut, sekarang pemerintah tengah menyusun RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan). Seluruh substansi RUU BHP ini adalah liberalisasi pendidikan.

            RUU BHP itu kelak bila disahkan menjadi Undang-undang akan menjadi landasan hukum yang kuat  bagi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab pendanaan pendidikan dan menyerahkannya kepada swasta atau mekanisme pasar. Oleh sebab itu, bagi mereka yang masih dapat berfikir waras, RUU BHP itu harus ditolak mentah-mentah. Kita tidak memerlukan UU BHP karena pengelolaan pendidikan sudah memiliki dasar yang kuat berupa UU Sisdiknas. Bila RUU BHP akan disahkan menjadi UU, lalu mau dikemanakankah UU Sisdiknas yang disusun dengan menimbulkan gejolak sosial tersebut?

PP yang Menelikung

            Tapi sebelum RUU BHP disahkan menjadi UU, sebetulnya telah muncul berbagai bentuk peraturan baru yang sifatnya meliberalisasi sistem pendidikan nasional. Peraturan baru itu di antaranya adalah pertama, Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 dan 77 tahun 2007 yang merupakan implementasi dari UU tentang Penanaman Modal Asing yang didalamnya menyebutkan bahwa sektor pendidikan merupakan sektor yang terbuka bagi PMA dengan prosentase kepemilikan maksimal 49%. Kedua, PP No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. PP No.48/2008 ini memiliki semangat pelepasan tanggung jawab negara dalam pendanaan pendidikan dan menyerahkannya kepada masyarakat maupun asing. 

            Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 ini akan menjadi landasan kuat bagi pemerintah untuk melepaskan beban tanggung jawabnya dalam mendanai pendidikan bagi warganya dengan alasan bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan tidak hanya ada pada pemerintah, tapi juga ada pada masyarakat (baca: warga). Sekaligus menjadi landasan kuat bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Sebab pada Bab V tentang Sumber Pendanaan Pendidikan, pasal 51 ayat 4 butir c (dan sejumlah pasal lainnya) dikatakan bahwa : ”Dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat bersumber dari pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”. 

            Bunyi pasal seperti itu jelas menelikung perjuangan masyarakat yang selama ini menuntut dihentikannya berbagai pungutan yang tidak perlu dan dilakukan oleh sekolah. Sekolah dengan berlindung pada PP tersebut dapat terbebas dari tuntutan masyarakat. Sebaliknya posisi masyarakat semakin lemah. Menyadari hal itu maka selagi PP itu baru (diundangkan tanggal 4 Juli 2008), masyarakat harus secepatnya melakukan judicial review ke MA agar secepatnya dapat direvisi.

            Selan ada Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 serta PP No.48/2008, ada pula RPP PPP (Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan). RPP PPP ini selain akan memperkukuh PP tentang Pendanaan Pendidikan, juga akan memperkokoh keberadaan RUU BHP karena lebih dari 10 pasal dalam RPP PPP mengacu pada RUU BHP. Inilah ironisnya Departemen Pendidikan Nasional yang biasa berfikir tidak logis, karena sebuah RUU yang masih dalam taraf pembahasan sudah diacu untuk pembuatan RPP baru. 

            Apa dampak langsung dari semua perundangan/peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam bidang pendidikan tersebut? Tidak lain kecuali pendidikan akan menjadi makin mahal, karena menjadi barang komoditas, pemerintah melanggar konstitusi negara, rakyat Indonesia akan makin bodoh, dan bangsa Indoneia akan makin tertinggal dari negara-negara lain yang warganya makin cerdas. Bila anda tidak merelakan itu terjadi, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus merapatkan barisan untuk menolak RUU BHP dan peraturan-peraturan lain yang sudah terbukti meliberalisasi sektor pendidikan.

Darmaningtyas, aktivis yang konsisten menolak liberalisasi pendidikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.