Langsung ke konten utama

PENERIMAAN MAHASISWA YANG BERKEADILAN


Oleh Darmaningtyas

            Saya ingin memulai tulisan ini dengan bercerita dari apa yang saya lihat belum lama ini pada saat saya diminta untuk mengisi acara penerimaan mahasiswa baru Fakultas Hukum UGM (FH UGM) tanggal 20 Agustus 2008 lalu. Pada waktu itu saya bertanya kepada mahasiswa baru –yang katanya jumlahnya sekitar 300-an orang, berapa yang dari Papua, berapa dari NTT, dan berapa yang dari Maluku? Ternyata yang dari Papua hanya satu orang (putri), tapi ketika saya minta tunjuk jari, orangnya bukan berambut keriting, tapi berambut lurus dan berkulit kuning. Itu artinya, mahasiswi itu kelahiran Papua, tapi bukan asli Papua. Sedangkan yang dari NTT (Flores, Kupang, Rote, dsb.) maupun Maluku tidak ada satu pun. 


            Kepada beberapa mahasiswa yang menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru tersebut, saya bertanya, apakah teman angkatannya juga tidak ada yang dari Maluku, Papua, dan NTT? Seorang mahasiswi Semeter III menjawab bahwa ada satu dari Ambon, tapi orang tuanya sebetulnya asli Jawa, hanya saja bertugas di Ambon. Jadi apa yang saya hadapi tanggal 20 Agustus 2008 lalu itu bukan kasusistik, tapi sebelumnya pun sudah terjadi, sehingga tidak bisa dipatahkan dengan pembelaan “kebetulan saja”. 

            Di forum itu juga saya langsung menyatakan bahwa saya sedih bila tidak ada satu pun mahasiswa/wi FH UGM berasal dari ketika daerah yang saya sebutkan tadi, karena itu berarti UGM mengalami kemunduran dari aspek keragaman asal mahasiswa/wi. Hal yang sama terjadi pada diskusi di PPSK tanggal 24/8 yang tajuknya juga untuk menyambut mahasiswa baru. Tidak ada kawan dari Papua, Maluku, dan NTT di forum tersebut, sehingga bagi saya ini suatu hal yang amat menyedihkan bagi perkembangan UGM maupun perkembangan bangsa Indonesia pada umumnya.

            Pada waktu saya kuliah pada dekade 1980an dulu di setiap fakultas selalu ada mahasiswa berasal dari seluruh pulau besar di Indonesia, termasuk di Fakultas Filsafat yang saat itu paling tidak laku. Konon, dulu memang ada kuota bagi warga Maluku (saat itu baru satu Maluku), Papua (saat itu bernama Irian Jaya), NTT, Sulawesi, NTB, dan daerah tertinggal lainnya untuk bersekolah di UGM, yang jumlahnya mencapai 18%. Meskipun tidak jelas betul sumber informasinya, tapi secara empiris saya percaya terhadap informasi tersebut karena pada saat itu kita dengan mudah dapat menemukan orang-orang dari Papu, Maluku, NTT, NTB, Sulawesi, dan Kalimantan, terutama di fakultas-fakultas ilmu sosial politik dan humaniora. 

            Keragaman asal mahahasiswa/wi itulah yang membuat semarak kuliah di UGM pada saat itu. Kita betul-betul merasa sebagai kampus milik bangsa Indonesia –bukan hanya milik orang Jawa saja—karena dengan mudah kita dapat menemukan orang-orang dari beragam suku dan daerah di Indonesia. Banyak untungnya pula kita memiliki kawan-kawan dari berbagai daerah itu, sebab ketika kita sudah lulus dan bertugas di daerah-daerah tersebut kita dapat bertemu dengan mereka dan dengan senang hati mereka akan membantu kita, apalagi bila orang yang bersangkutan pada waktu kuliah sama-sama satu minat (pramuka, SEMA/BPM, pengurus terbitan, atau penulis lepas). 

            Saya tidak tahu sama sekali mengapa orang-orang dari daerah Indonesia bagian timur itu hanya amat sedikit yang kuliah di UGM saat ini?: apakah karena tidak ada yang mendaftar? Atau ada yang mendaftar tapi tidak lolos? Atau mendaftar dan lolos tapi tidak dapat membayar –karena UGM sekarang telah berubah menjadi sangat muaahaaal sekali? Yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu hanya pihak rektorat saja, karena merekalah yang memegang data calon-calon mahasiswa di UGM maupun yang sudah diterima. Dan sebagai universitas besar –tidak dapat lagi dikatakan sebagai universitas publik—pihak rektorat perlu menjelaskan masalah agar publik dapat mengetahuinya.  

            Apa urgensinya UGM perlu memberikan ruang bagi kawan-kawan dari Maluku, Papua, NTT, Sulawesi, Kalimantan, NTB, Bali, dan Sumatra? Jawabannya sederhana saja, yaitu kalau UGM masih konsisten akan menjadi kampus kebangsaan dan kerakyatan. Salah satu bukti kongkrit bahwa UGM menjadi kampus kebangsaan adalah kalau di UGM sendiri dapat secara mudah menemukan praktek kehidupan berbangsa, yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan kebudayaan. Jadi persoalan bangsa itu oleh segenap warga UGM betul-betul dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya berada dalam teori. Kalau mengaku tetap sebagai kampus kebangsaan tapi tidak memperlihatkan praktek kehidupan berbangsa secara nyata, maka itu hanya klaim belaka. Padahal, kampus mestinya terbebas dari klaim-klaim intelektual belaka. 

            Ada yang mengatakan bahwa kampus-kampus di luar Jawa sekarang sudah maju sehingga orang Maluku, Papua, NTT, dan lainnya tidak perlu datang ke UGM, UI, ITB, IPB, atau kampus-kampus lain di Jawa untuk kuliah di Jawa. Bukankah sebaiknya pemerintah mendorong perkembangan kampus-kampus di luar Jawa tersebut sehingga mereka tidak perlu kuliah di Jawa? 

            Pernyataan dan pertanyaan di atas betul bila kita memaknai kuliah hanya sebagai transfer of knowledge belaka. Tapi bila kita memaknai kuliah sebagai proses pembelajaran secara komprehenseif, termasuk mempelajari interaksi budaya dengan beragam suku bangsa, maka pertanyaan itu tidak tepat. Terlebih bila kita mengingat bahwa Indonesia ini terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan kebudayaan; yang harus terus dipelihara dan dikembangkan agar satu dan lainnya saling memahami dan menghargai. Bagaimana kita dapat menghargai perbedaan, bila dalam kehidupan riil kita tidak pernah diperkenalkan secara langsung dengan perbedaan-perbedaan?  Perbedaan-perbedaan tersebut hanya diperkenalkan melalui teori sehingga ketika dipraktekkan ada kesenjangan yang cukup lebar, akhirnya orang tidak dapat melebur dalam suatu komunitas yang nyata beragam. Atas dasar pertimbangan itu, maka mutlak dibutuhkan kehadiran fisik kawan-kawan dari NTT, Maluku, Papua, dan daerah-daerah lain dari seluruh wilayah Indonesia untuk kuliah di UGM. Interaksi budaya antar orang yang berasal dari berbagai suku bangsa dan daerah itulah yang akan memperkaya para mahasiswa dan sekaligus mematangkan jiwa mereka sebagai bagian dari ke-Indonesia-an. Agak naif mengharapkan mereka memiliki jiwa ke-Indonesia-an sementara mereka dibesarkan dalam suatu daerah dengan interaksi agama, suku, dan budaya yang homogen. 

Affirmative Action

            Pentingnya kehadiran secara fisik orang-orang dari luar Jawa, terutama Indonesia bagian timur untuk kuliah di UGM itu amat terasakan ketika kita menengok ke belakang tentang sejarah kelahiran UGM. Bahwa UGM didirikan pada masa revolusi oleh para pejuang negeri ini. UGM dibangun berdasarkan penggabungan dari berbagai pendidikan tinggi, termasuk Institute Pasteur Bandung, Sekolah Tinggi Kedokteran (STK) Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik Bandung yang kemudian diboyong ke Yogyakarta menjadi Sekolah Tinggi Teknik di Jetis.  Secara legal formal, berdirinya UGM itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949  tertanggal 16 Desember 1949. Tapi mengapa tanggal lahir UGM diresmikan 19 Desember 1949? Menurut Presiden Soekarno –yang meresmikannya—karena mempunyai makna persatuan Indonesia yang semakin kuat akibat aksi militer 19 Desember 1948. Ternyata Indonesia mampu bangkit dan membangun dirinya. Bung Karno juga berharap UGM menjadi universitas yang mempersatukan Indonesia. [1] Hal senada diungkapkan oleh Prof.Dr. Sardjito, yang menjadi Rektor I UGM. Menurutnya: “Dipilih tanggal 19 Desember, agar supaya detik kesedihan dan kemalangan dalam perjoangan kemerdekaan kita, yang terkandung padanya, secara asosiasi dapat dihilangkan sifatnya kesedian dan kemalangan itu dengan menjadikannya suatu saat nasional yang penting, ialah pendirian sebuah Universiteit negeri yang nasional”.[2]

            Di antara perintis UGM itu, selain mayoritas orang Jawa, juga ada Prof. Herman Johannes (dari Pulau Rote, NTT, pen.) yang diminta oleh pemerintah RI untuk mendirikan laboratorium persenjataan di Yogyakarta. 

            Semangat UGM untuk meng-Indonesia itu sangat kuat, selain karena itu yang diharapkan oleh Presiden Soekarno, juga adanya pengorbanan yang besar dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meminjamkan Siti Hinggil, Pagelaran, Dalem Wijilan, dan Mangkubumen untuk tempat kantor dan kuliah. Juga keterlibatan Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa yang menjadi Ketua Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yaitu panitia yang diserahi untuk merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah Raja Mataram yang secara tegas menyarakan di belakang RI, begitu kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno – Hatta. Sedangkan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa-nya mengembangkan semangat kebangsaan.[3]
 
            Pilihan nama UGM sama dengan nama mahapatih Gadjah Mada itu sendiri sudah merupakan nama simbolis. Kita tahu dalam sejarah nasional, patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit itu selalu digambarkan sebagai mahapatih yang memiliki semangat tinggi untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Sehingga pemakaian nama Gadjah Mada di belakang kata Universitas Negeri –dulu bernama Universitas Negeri Gadjah Mada—itu juga memiliki makna imperatif (perintah yang pasti) agar UGM tetap menjadi universitas yang mampu mengembangkan persatuan Indonesia. Untuk itu, menjadikan UGM sebagai kawah condromuko bagi penggodokan calon-calon pemimpin bangsa dan daerah, merupakan tugas yang melekat pada pelaksanaan pembelajaran di UGM. Ini termasuk harga yang tidak dapat ditawar. Atas dasar itu, maka setiap warga dari seluruh wilayah Indonesia harus dibukakan aksesnya agar dapat kuliah di UGM, baik melalui seleksi yang obyektif maupun melalui kebijakan affirmative aciton, yaitu suatu kebijakan khusus yang memungkinkan para lulusan SMTA dari Maluku, Papua, NTT, NTB, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra dapat kuliah di UGM, ketika melalui seleksi obyektif tidak dapat diterima. 

            Kebijakan affirmative action ini bukan suatu dosa, sebaliknya mulia (menurut orang punya hati nurani) karena akan membantu masyarakat yang termarginalisasi untuk dapat mengakses pendidikan yang baik. Sebaliknya, membiarkan UGM menerima calon mahasiswa hanya dari model seleksi obyektif saja, tanpa melihat hambatan-hambatan geogratfis, ekonomi, dan budaya masing-masing calon mahasiswa, hanya akan mengantarkan UGM menjadi universitas yang elitis, tidak membumi dan menyimpang dari amanat para pendiri UGM sebagai universitas kebangsaan, kerakyatan, atau bahkan universitas perjuangan; dan menjadi hanya universitas bisnis belaka. Kebijakan affirmative action itu dulu juga pernah diterapkan oleh Predana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad untuk memajukan etnis Melayu dalam bidang ekonomi agar tidak terlalu tertinggal degan etnis Cina. Perkara dalam realitas sehari-harinya etnis Melayu tetap tidak dapat mengejar ketertinggalan terhadap etnis Cina, hal itu bukan kesalahan pemerintah, yang pasti Pemerintah Mahathir sudah membuat kebijakan yang memberikan privilege kepada warga etnis Melayu. Sama halnya kuota 30% untuk perempuan di partai politik, ketiga undang-undang yang mengatur itu sudah dibuat dan ternyata kuotanya tidak terpenuhi, maka kesalahan bukan pada regulasinya.

            Affirmative action yang saya bayangkan dalam penerimaan mahasiswa baru UGM dari saudara-saudara kita yang berada di luar Jawa, itu sama persis dengan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Mahathir Mohammad untuk memberikan privilege kepada etnis Melayu agar maju atau memberikan kuota kepada saudara-saudara kita dari luar Jawa agar dapat masuk ke UGM dengan sistem seleksi yang khusus, tidak mengikuti seleksi yang umum. Sebab ketika mereka harus mengikuti seleksi yang normal, mereka pasti tidak akan lolos karena start-nya (sejak SD – SMA) sudah tertinggal jauh dengan kawan-kawan yang di Jawa, yang seluruh infrastruktur (transportasi, telekomunikasi, listri, dan bangunan gedungnya) sudah bagus sehingga mudah sekali mendapatkan sarana untuk belajar. Sedangkan kawan-kawan dari luar Jawa itu seluruh infrastruktur fisiknya buruk sehingga berdampak buruk pula terhadap proses pembelajaran.  

            Bila melihat kecenderungan UGM paska privatisasi dalam bentuk BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang semakin mahal dan mengembangkan sistem penerimaan mahasiswa baru yang beragam, maka saya berkeyakinan bahwa para pengelola UGM tidak memiliki sensitivitas sebagai bangsa –yang plural dan tetap harus dijaga—sehingga tidak mau mengetrapkan kebijakan affirmative action untuk saudara-saudara yang tinggal di Indonesia bagian timur agar mereka tetap dapat kuliah di UGM. Bila ada kebijakan affirmative action, maka dengan mudah dapat ditemukan para mahasiswa dari berbagai daerah di setiap fakultas. Tapi ternyata sekarang tidak mudah menjumpai mereka di kampus UGM. Berbeda misalnya pada waktu saya kuliah dulu.        

            Affirmative action itu sama sekali tidak merusak sistem pendidikan, karena bukan merupakan kebijakan tunggal, tapi harus dibarengi dengan kebijakan lain, yaitu program matrikulasi bagi calon mahasiswa yang diterima melalui kebijakan affirmative action. Jadi sebelum mereka mengikuti kuliah reguler, terlebih dulu mengikuti program matrikulasi guna setidaknya mendekati sama pengetahuannya dengan calon mahasiswa yang diterima melalui seleksi mahasiswa pada umumnya. Dalam program matrikulasi itu sekaligus diperkenalkan mengenai berbagai ragam budaya yang akan dihadapi. 

Jebakan Kapital

            Sebagai orang yang meyakini bahwa pendidikan itu merupakan salah satu wahana untuk proses integrasi bangsa, maka keharusan universitas-univesitas di Jawa, termasuk UGM untuk menampung para mahasiswa dari seluruh penjuru Nusantara itu merupakan suatu keharusan yang mutlak dilakukan. Sebab cara tersebut dapat memfasilitasi interaksi sosial yang lebih beragam antara orang-orang Jawa dengan luar Jawa,. Melalui interaksi sosial yang intens itulah pemahaman atas perbedaan satu dan lainnya dapat dilakukan, toleransi dipelajari dan dipraktekkan, serta solidaritas sosial dibangun berdasarkan unsur kemanusiaan, bukan atas kesamaan agama atau budaya saja. Interaksi sosial yang intens antar individu yang memiliki keragaman suku, agama, dan budaya itu akan mematangkan jiwa masing-masing, sehingga ketika mereka kembali ke daerah masing-masing sudah mempunyai perspektif yang lain dalam menerima kehadiran orang lain. Kecenderungan ego kedaerahan yang dilahirkan oleh otonomi daerah, dapat diminimalisir melalui pertukaran budaya yang dilakukan oleh para mahasiswa saat belajar ke daerah lain. Sebaliknya para sarjana yang asli Jawa pun ketika bertugas di luar Jawa sudah memiliki bekal pemahaman terhadap budaya lokal hasil dari interaksi sosial selama di kampus. Rasa saling memahami dan menghargai itulah yang dapat meminamalisir konflik-konflik sosial yang ditimbulkan antara pendatang dengan warga asli. Cap orang Jawa sebagai penjajah (di Papua dan NAD) sulit terelakkan bila interaksi budaya itu tidak dibangun sama sekali, sehingga kedua belah bila selalu diwarnai rasa saling curiga.

            Kebijakan affirmative action itu sekaligus akan menghindarkan UGM dari jebakan kapital yang selama ini sudah menjerat pihak managemen sehingga UGM dikelola sebagai korporasi, bukan sebagai universitas yang multi disiplin dan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian, dan pelayanan, biasa diterjemahkan pengabdian masyarakat) . 

            Selama ini, bila dicermati dari sistem penerimaan mahasiswa baru yang berlangsung paska privatisasi dalam bentuk BHMN, memperlihatkan bahwa UGM berada dalam jebakan kapital. Pada mulanya UGM mengandalkan penerimaan mahasiswa baru melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang kemudian berubah menjadi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SPMB), seperti yang diikuti oleh PTN lainnya. Penerimaan mahasiswa baru secara mandiri melalui Ujian Masuk (UM) digagas dan dilakukan mulai 2003. UM UGM pada awalnya bertujuan untuk menjaring calon mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik yang unggul. Dr. Ir. Budi Prasetyo Widyobroto, DEA., DEES.[4], Direktur Administrasi Akademik, yang merangkap sebagai ketua panitia UM 2008 menyatakan, bahwa jalur SPMB (sebelum SNMPTN) tidak cukup efektif untuk menjaring calon mahasiswa berprestasi akademik tinggi. Oleh karena itu, UGM membuat UM sebagai sebuah jalur penerimaan yang lebih efektif.   

Namun patut diduga bahwa dibukanya UM UGM tidak sekadar untuk menjaring mahasiswa berprestasi, melainkan ada motif lain yang sesuai dengan realita di lapangan, yakni motif untuk mendapatkan pemasukan dana yang lebih besar melalui berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru tersebut sebagai suatu bentuk konsekuensi dari berubahnya status UGM menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN). Kecurigaan semacam itu makin tinggi ketika melihat kuota calon mahasiswa melalui jalur SNMPTN sekarang hanya diplot 18 persen saja, padahal, animo peserta yang mengikuti seleksi masuk melalui SNPTN (maaf saya agak pusing dengan ganti-ganti istilah ini, sehingga saya pakai seenaknya saja, tapi intinya pembaca pasti sudah tahu) itu jauh lebih banyak dibandingkan yang mengikuti Ujian Masuk, karena pada seleksi model SNPTN ini terdiri dari beragam stratifikasi sosial (kaya, miskin, difable dan tidak difable). Uang daftar ulang bagi peserta tes yang lolos juga beragam dari mulai Rp. 5 juta sampai tidak terbatas. Selalu dikatakan bahwa ada yang nol rupiah, tapi sebetulnya yang mendapat fasilitas itu hanya sekian persen dari 18% tersebut, sehingga kalau dihitung dari total mahasiswa baru, mungkin yang bayar nol rupiah mungkin hanya 0,1% saja. Ini sebetulnya data yang manipulatif saja untuk menunjukkan bahwa UGM paska BHMN itu tetap memberikan gratis kepada calon mahasiswa yang tidak mampu. Tapi yang memperoleh fasilitas gratis itu sebetulnya tidak signifikan. 

Kecuali uang masuk yang dibayarkan sudah tinggi, juga ada beban SPP per semester rata-rata Rp. 500.000,- dan ditambah Biaya Operasional Pendidikan (BOP) per SKS sebesar Rp. 60.000,- untuk jurusan IPS dan Rp. 75.000,- untuk jurusan IPA. Sedangkan khusus untuk jalur PBS dan PBUPD uang masuk Rp. 10 juta sampai Rp. 125 juta. Hal itu karena memang jalur PBS dibuka untuk menarik orang-orang kaya di Indonesia yang selama ini lebih suka menyekolahkan anaknya ke luar negeri, jadi yang dituju adalah penerimaan dana dari orangtua mahasiswa jalur PBS. Kebijakan yang dirasa memberatkan calon mahasiswa baru adalah ketika pada 2008 kebijakan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) Rp. 0 dihapuskan oleh panitia, hingga calon mahasiswa baru mesti membayar SPMA minimal Rp. 5 juta. Bahkan, di beberapa fakultas, calon mahasiswa diharuskan membayar SPMA minimal Rp10 juta. Selain itu, kenaikan SPMA juga terjadi dalam jalur PBS yang mencapai dua  kali lipat dibanding tahun lalu. Sebagai contoh, Fakultas Teknik yang pada tahun lalu mematok angka Rp 27 juta, pada tahun 2008 ini menjadi Rp. 40 juta.[5]

Penerimaan mahasiswa baru di UGM pun tercoreng oleh ulah para penjual kursi. Kasus yang mengemuka adalah anak dari Prof. Dr. Mahfud MD yang mengaku hampir menjadi korban oknum yang menawarkan dapat memudahkan anaknya untuk kuliah di UGM. Sindikat penjualan kursi tersebut konon dikenal sangat berani menghampiri calon mahasiswa. Setelah mendapatkan calon mahasiswa, mereka kemudian memberikan pelatihan singkat mengerjakan soal-soal UM, dan ternyata soal-soal tersebut bukan sekadar soal prediksi, melainkan soal yang memang akan diujikan pada UM.[6]

            Target meraup dana besar dari mahasiswa untuk mempertahankan kelangsungan UGM itu telah menjebak UGM dalam jeratan kapital, dan kemudian melupakan perannya sebagai universitas publik (untuk semua) dan melupakan sejarahnya sebagai universitas perjuangan, kebangsaan, maupun kerakyatan. UGM tidak jauh berbeda dengan korporasi yang menjadikan fakultas-fakultas sebagai anak perusahaannya. Konsekuensi dari cara pandang semacam itu adalah fakultas-fakultas humaniora yang dari sisi bisnis tidak menguntungkan –sebaliknya mungkin malah merugikan—pada saatnya harus ditutup demi atas nama efisiensi. Tidak dilihat dari peran ilmu-ilmu humaniora tersebut dalam kehidupan sebagai manusia yang beradab.

Perubahan Idealisme UGM

Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan tertua di Indonesia dan bila dilihat dari jumlah mahasiswa maupun luasnya kampus dapat dikategorikan sebagai universitas terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan pada atribut jati diri UGM dan amanat anggaran rumah tangga (ART) UGM menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menjadi jati diri UGM antara lain: (1) UGM sebagai Universitas Pancasila, Lembaga Nasional Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan bagi pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, yang memancarkan ilmu pengetahuan, kenyataan, dan kebajikan; (2) UGM sebagai monumen perjuangan nasional berdasarkan Pancasila; dan (3) Universitas memiliki dasar, sifat, tujuan, dan hakikat pahlawan serta perjuangan nasional demi Pancasila.[7]

Sebagai universitas tertua di Indonesia dan lahir dari kancah perjuangan, tak heran di masa usia balita pun UGM sudah mengambil peran besar untuk turut mencerdaskan bangsa Indonesia melalui program Pengiriman Tenaga Mahasiswa (PTM) yang menjadi guru relawan di berbagai pelosok Indonesia pada tahun 1950-an dengan di bawah kepemimpinan (alm.) Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Program itulah yang kemudian menjadi cikal bakal dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN)[8] Yang sampai sekarang masih berjalan dan diadopsi oleh banyak perguruan tnggi (PTN/PTS) di Indonesia. Melalui program KKN itulah UGM mendapat sebutan sebagai Universitas Kerakyatan atau Universitas ndeso. Bukan hanya karena sebagian besar asal mahasiswanya dari desa, tapi komitmen untuk pengembangan desa memang tinggi. 

Namun paradigma universitas kerakyatan tersebut mulai luntur seiring berubahnya status UGM menjadi PTBHMN. Para aktivis mahasiswa pada tahun 2000-an memandang keberadaan PP No. 153 Tahun 2000 yang menetapkan status UGM sebagai PT BHMN memiliki tiga kecacatan. Pertama, cacat yuridis, karena tidak ada UU yang menaunginya; kedua, cacat sosiologis, karena ada komponen “objek kebijakan” yang tak menyetujuinya, terutama mahasiswa; dan ketiga, cacat historis yang dimulai dari penetapan PP No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum yang muncul dalam kondisi terdesak ekonomi (desakan IMF untuk pemotongan subsidi pendidikan), lahir karena dipaksa kondisi negara tak mandiri alias terbelit.[9]
 
Bagi yang setuju dengan UGM menjadi PT BHMN terjadilah beberapa implikasi, antara lain adalah UGM mulai membuka berbagai program kegiatan yang dinilai dapat menjadi sumber pendanaan bagi UGM. Dibukanya program-program dipoma, S-1 ekstensi, serta unit-unit usaha seperti PT Gama Multi Usaha Mandiri (GMUM) yang divisi kerjanya bergerak dalam bidang perumahan, pariwisata, perdagangan, kesehatan, Iptek, dan penelitian serta agrobisnis.[10] Pada perrkembangannya, orientasi penggalian dana melalui S-1 ekstensi dianggap tidak tepat, maka berangsur-angsur mulai peninjauan ulang terhadap penerimaan mahasiswa baru melalui jalur ekstensi. Orientasi penggalian dana dialihkan menjadi Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP).[11]
 
Semakin banyaknya jalur khusus yang dibuka dengan biaya yang mahal, sedangkan jalur umum (SNMPTN) mendapatkan kuota yang amat kecil, masih ditambah dengan tingginya SPMA, BOP, dan SPP, maka secara sistematis UGM semakin tertutup bagi calon mahasiswa dari warga tidak mampu –meskipun pinter—sehingga cap UGM sebagai Universitas Kerakyatan, Universitas Perjuangan, dan Universitas Kebangsaan itu hilang seketika, dan akhirnya tinggal kenangan belaka. 

Perubahan idealisme UGM seperti itu tidak pernah disadari oleh para pengelola UGM sehingga mereka tidak lagi mau melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakannya yang makin menyimpang dari amanat para pendirinya. JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) tampaknya tidak berlaku bagi para pengelola UGM, karena mereka mengelola UGM dengan melupakan sejarahnya sama sekali. Ini yang menyedihkan. Banyaknya guru besar dan doktor di dalamnya, ternyata tidak berkorelasi positip dengan sikap kritis mereka dalam menyikapi pengelolaan UGM yang sudah melupakan sejarah berdirinya sebagai Universitas Perjuangan, Universitas Kebangsaan, dan Universitas Kerakyatan.

Menjadi Pelopor

Prof.Dr. Sofian Effendi dalam Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Rapat UGM dalam rangka Peringatan Dies Natalis UGM ke-55, Yogyakarta: 20 Desember 2004 yang diberi judul “Revitalisasi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Menghadapi Perubahan Global”,  mengungkatkan bahwa UGM harus berdiri di garis depan mempelopori upaya penyusunan pemikiran-pemikiran keilmuan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. “Pemikiran Bulaksumur” dalam semua disiplin ilmu dan dalam semua bidang yang menyentuh kehidupan rakyat adalah langkah konkret kita untuk menempuh jalan lain yang tidak semata-mata merupakan fotokopi dari pemikiran negara maju dan dengan memperhatikan keadaan dunia serta prediksi masa depan.[12]
 
Apa yang dikemukakan oleh Prof.Dr. Sofian Effendi, yang kebetulan pada saat itu menjadi rektor secara tidak disadari merupakan otokritik terhadap keberadaan UGM itu sendiri yang cenderung mereproduksi ilmu pengetahuan dari Barat tanpa mengalami kontrekstualisasi sedikit pun. Celakanya, ketika pemikiran Barat itu pun didominasi oleh kaum neo-liberal, tetap saja di-copy secara leterlek sehingga ketika diterjemahkan dalam bentuk kebijakan oleh pemerintah, menjadi tidak cocok sama sekali karena konteks sosial-budayanya memang jauh berbeda. Privatisasi pendidikan misalnya, mungkin cocok untuk diterapkan di AS atau Eropa yang angka partisipasi pendidikan tinggi (orang berusia 18 – 24 tahun kuliah) sudah tinggi. Tapi bagi Indonesia sebagai negeri yang sedang tumbuh dan memerlukan ilmuwan-ilmuwan maupun teknolog-teknolog dan teknisi handal, privatisasi pendidikan, terlebih untuk PTN-PTN terkemuka, sangat merugikan bangsa. Justru PTN-PTN terkemuka itu harus dibuat murah agar makin banyak orang miskin dapat mengakses sehingga mereka juga dapat melakukan mobilitas vertikal melalui dunia pendidikan tinggi.

Berdasarkan pada dasar-dasar bawaan Pancasila dan Kebudayaan Indonesia yang terdapat dalam Peraturan Senat UGM tahun 1958 bab II pasal 3 dinyatakan bahwa, “Pelaksanaan penyelenggaraan Universitas Gadjah Mada dilakukan atas dasar sifat bawaan dari pada cita-cita bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan kebudayaan Indoneia, ialah dasar nasional, dasar demokrasi, dan dasar kerohanian (ketuhanan dan kemanusiaan), dasar kemasyarakatan dan dasar kekeluargaan, dalam hubungan kesatuan dan saling memengaruhi di antasa satu denan lainnya dan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 2 (tentang dasar-dasar bawaan ilmu pengetahuan dan kenyataan”. 

Dengan mendasarkan pada Peraturan Senat UGM tahun 1958 tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa dasar/asas beridirinya UGM pada dasarnya adalah, (1) asas yang berasal dari bawaan ilmu yang bersifat universal, objektif, dan berupaya mencari kebenaran, (2) atribut hakikat UGM yakni kebebasan akademik dan mimbar akademik, sifat keadaban dan teleologis ilmu untuk keadaban, kemanfaatan, dan kebahagiaan kemanusiaan. Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada dua paham besar pengembangan ilmu pengetahuan, yakni “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan” dan pandangan lainnya, yakni yang lebih berdimensi teleologis bahwa ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan, keadaban, kerohanian, maka UGM berdiri dan berada pada pihak kedua.[13]
 
Berdasarkan asas berdirinya UGM seperti yang digambarkan di atas, rasanya agak asing bila tiba-tiba rekruitmen calon mahasiswa baru hanya didasarkan pada kemampuan membayarnya saja karena hal itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang termaktuf dalam Pancasila itu sendiri, baik sila kemanusiaan, persatuan, musyawarah untuk mufakat, maupun keadilan sosial. Ironis sekali bila nilai-nilai yang menjadi dasar pendirian UGM itu justru diabaikan oleh para pengelola UGM.  Mereka dosa besar terhadap nusa bangsa yang telah mereka khianati sendiri. UGM, mestinya justru menjadi pelopor dari implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bukan justru pelopor dalam mengingkari nilai-nilai yang mereka bangun sendiri. 

Pola rekruitmen calon mahasiswa baru di UGM yang sesuai dengan nilai-nilai yang termaktuf dalam Pancasila adalah yang tetap memperhatikan aspek kemanusiaan bagi mereka yang tidak punya; persatuan bagi seluruh bangsa, oleh karena itu keragaman asal calon mahasiswa harus diperhatikan;  musyawarah dan mufakat, guna memberikan jalan lain untuk dapat diterima di UGM bagi mereka yang start-nya memang sudah tertinggal; serta keadilan sosial, sehingga tidak fair memberikan beban yang sama berat kepada mereka yang tergolong miskin. Hak kaum miskin untuk tetap dapat kuliah di UGM tetap harus dijamin. Bahwa UGM membutuhkan biaya besar untuk operasional, itu sudah diketahui publik, tidak perlu dikatakan lagi, tapi justru di situlah pentingnya peran negara. Untuk apa kita harus membayar para penyelenggara negara dengan mahal, bila pada akhirnya mereka tidak mampu menjamin warganya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Bila yang dapat kuliah di UGM hanya orang-orang kaya saja, maka jelas di sini bahwa neraga tidak berperan untuk menjamin pendidikan warganya. Di lain pihak, UGM sebagai universitas kebangsaan, kerakyaran, dan perjuangan justru menggali benih-benih disintegrasi sosial dan integrasi bangsa. Sebab tidak terelakkan munculnya kecemburuan sosial dari golongan miskin terhadap golongan kaya yang dapat kuliah di UGM. Kecemburuan itu pada saatnya akan termanivestasi dalam tindakan fisik, sehingga disintegrasi sosal maupun bangsa tidak terelakkan lagi. Ini bukan menakut-nakuti, tapi sekedar mengingatkan kepada para pengelola UGM agar memiliki sensitivitas berbangsa dalam hal proses rekruitmen calon-calon mahasiswa baru. 

Mimpi menjadi world class university itu sah-sah saja, tapi bila untuk mencapai impian tersebut disertai dengan pengorbanan bangsanya yang tidak lagi mampu mengakses pendidikan di UGM, maka impian tersebut tidak memiliki makna apa-apa. Universitas Gadjah Mada mestinya justru harus dibuat murah agar saudara-saudara yang dari daerah miskin tetap dapat kuliah di UGM dengan biaya amat ringan. Dari mana UGM dapat menutup biaya operasionalnya yang mahal? Dari uang kita yang kita bayarkan lewat pajak. Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, realisasi penerimaan pajak (termasuk PPh Migas dan penerimaan nonmigas) Januari – Agustus 2008 sebesar Rp. 367,636 triliun atau 68,78%  dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2008 (Kompas, 10/9 2008). Rencana Anggaran Belanja UGM setiap tahunnya maksimal hanya satu triliun rupiah. Daripada uang pajak yang ratusan triliun rupiah setiap tahun itu hanya untuk membayar PNS yang tidak ada pekerjaan atau sebagian besar dikorup, lebih baik dialokasikan untuk mensubsidi PTN-PTN di seluruh Indonesia agar murah sehingga banyak warga negara yang dapat mengaksesnya. Selama ini, angka partisipasi pendidikan tinggi (orang berusia 19 – 24 tahun kuliah) baru mencapai 14%. Rezim Orde Baru sudah membuat perencanaan bahwa pada tahun 2010 (dua tahun lagi), angka partisipasi pendidikan tinggi itu mencapai 25%. Pada waktu Orde Baru tumbang (21 Mei 1998), angka partisipasi pendidikan tinggi itu sudah mencapai 12%. Jadi 10 tahun reformasi, angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya naik dua persen. Masalah ini mestinya harus dipecahkan oleh pemerintah dengan membuat PTN murah, bukan justru memprivatisasi PTN-PTN, yang berarti menutup akses orang miskin untuk masuk ke PTN-PTN terkemuka, termasuk UGM.

Kesimpulan dan Penutup

Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dulu dikenal sebagai universitas kerakyatan, kebangsaan, dan perjuangan kini telah kehilangan identitasnya itu semua semenjak berubah status menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara). Berbagai pola rekruitmen mahasiswa yang diterapkan oleh UGM bukan dimaksudkan untuk memberikan ruang berbagai lapisan masyarakat agar dapat kuliah di UGM, tetapi justru sebagai upaya membentengi kaum miskin masuk ke UGM. Makin kecilnya persentase kursi yang dibuka untuk publik menandakan makin tidak pekanya pengelola UGM terhadap kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sekaligus juga menandai bahwa UGM telah terjebak dalam pusaran kapital. Ketika besar-kecilnya kapital itu menjadi penentu diterima-tidaknya seseorang menjadi mahasiswa UGM, maka sebetulnya UGM telah berubah menjadi korporasi dengan unit usahanya di fakultas-fakultas dan bukan sebagai universitas lagi yang bertugas mencari kebenaran. Dalam jangka panjangnya, proses pendidikan di UGM yang kapitalistik itu akan menyumbang terjadinya disintegrasi sosial dan bangsa, hanya karena para pengelolanya lupa pada kesejarahannya. Oleh sebab itu sebelum tragedi memilukan itu terjadi, maka tidak ada jalan lain kecuali UGM dikembalikan menjadi universitas publik, yang maknanya universitas untuk semua warga. 

Bukti sudah menunjukkan bahwa di zaman PTN yang murah meriah dulu mampu melahirkan orang-orang sekaliber Prof.Dr. Sardjito, Prof. Dr. Herman Johanes, Prof.Dr. Seno Sastroamidjojo, Umar Kayam, Prof.Dr. Sartono Kartodirjo, Prof.Dr. Kuntowijoyo, Prof.Dr.Mubyarto, Prof.Dr. Masri Singarimbun, dan banyak lagi guru besar yang memiliki kaliber internasional. Tapi sekarang, apakah privatisasi yang berlangsung sudah mampu menunjukkan dapat memunculkan orang-orang yang berkaliber dunia? Orang-orang yang di dalam lah yang dapat menjawabnya. Yang pasti, sebagai alumni UGM sempat ikut malu ketika membaca berita tentang hasil penelitian sejumlah dosen komunikasi terhadap pemberitaan Majalah TEMPO atas Asian Agri, yang menurut pemberitaan media massa sarat kepentingan kapital. Beberapa surat pembaca yang menyayangkan hasil penelitian tersebut ditulis oleh sejumlah alumni UGM di beberapa media massa nasional. Informasi yang sudah diketahui publik itu menunjukkan bahwa kapital yang besar tidak identik dengan prestasi yang besar dan integritas yang tinggi, sebaliknya dapat menjerumuskan tatanan universitas ke arah kubangan lumpur. Yang terjadi kemudian, pusat studi-pusat studi dibentuk bukan untuk pengembangan ilmu, tapi untuk mengumpulkan kapital. Ini berbahaya karena sikap kritis akan hilang dan ketika sikap kritis hilang, maka mati pula ruh universitas tersebut. *** 



[1] Sejarah Berdirinya Universitas Perjuangan UGM, KAGAMA, 2007, hal. 10 - 15
[2] Heri Santoso, Filosofi UGM, PPKB Due-like UGM-PSP UGM-PPP UGM, 2007, hal.18
[3] Sejarah Berdirinya Universitas Perjuangan UGM, KAGAMA, 2007, hal. 12- 13
[4] Didownload dari http://um.ugm.ac.id.
[5] Didownload dari www.balairungpress.com.
[6] Ibid.
[7] Heru Santoso. 2007. Filosofi UGM. Yogyakarta: PPKB Due-Like UGM, Pusat Studi Oancasila (PSP) UGM, dan Pusat Pengembangan Pendidikan UGM, hlm. 23.
[8] Ibid. hlm. 31.
[9] Rudy Hantoro, dalam Heru Nugroho (ed.) McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Program Sosiologi PPS UGM, CCSS, dan Kanisius, (2002) hlm. 103.
[10] Supraja, ibid., hlm. 95.
[11] Heru Santoso. Op Cit., hlm. 15.
[12] Sofian Effendi. 2004. Revitalisasi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Menghadapi Perubahan Global, Orasi Ilmiah disampaikan dalam Rapat UGM dalam rangka Peringatan Dies Natalis UGM ke-55, Yogyakarta: 20 Desember.
[13] Heru Santoso, op cit., hlm. 34-35.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.