Langsung ke konten utama

Kembali ke Roh Pendidikan Nasional


Darmaningtyas, PENGAMAT PENDIDIKAN
Dimuat di Koran Tempo, 2 Mei 2011

Gagasan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh untuk mengembalikan kenasionalan pendidikan nasional dengan dimulai melalui upacara bendera pada setiap Senin perlu diapresiasi. Hanya, menurut penulis, masalahnya bukan di sana, melainkan pada formalisasi agama yang terlalu kuat, dimulai dari salam perjumpaan, cara berdoa, dan sejenisnya.

Pendidikan nasional tiba-tiba terguncang ketika ada sejumlah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi negeri menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII). Yang membuat kita semua terkesima adalah proses masuknya mereka ke NII melalui model yang tidak wajar, yaitu sembunyi-sembunyi atau bahkan melalui penculikan. Para orang tua pun kaget ketika anaknya tiba-tiba mengalami perubahan perilaku, mulai berbohong kepada orang tua hingga melawan orang tua, bahkan dapat menyebut orang tua sebagai kafir.

Di sisi lain, sebuah penelitian yang menjadikan guru agama dan murid sebagai respondennya menghasilkan kesimpulan bahwa 49 persen siswa setuju aksi radikal berlabel agama. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian tersebut dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri dengan melibatkan 993 siswa dan 590 guru.Tak satu pun madrasah diambil jadi sampel (Koran Tempo, 26 April).

Fakta dan data di atas membuat mereka yang selama ini tidak peduli terhadap praksis pendidikan nasional menjadi terperangah, seakan-akan dunia pendidikan nasional kiamat. Tapi, bagi penulis, keduanya itu hanya menjadi legitimator atas keresahan penulis selama ini mengenai hilangnya roh pendidikan nasional, terutama sejak praksis pendidikan nasional terjebak pada formalisasi agama.

Kecenderungan formalisasi agama praksis pendidikan nasional dimulai awal dekade 1990-an, dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) yang dalam penjelasan pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa,“Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.” Secara logika hak asasi manusia, penjelasan tersebut betul, tapi implementasinya di lapangan adalah memaksa sekolah-sekolah berlabel agama pun harus menyediakan guru agama yang berbeda dengan misi agamanya. Karena penyelenggara pendidikan yang berlabel agama tidak mau repot-repot, mereka pun membatasi penerimaan murid yang agamanya berbeda dengan misi agama yang diembannya. Atau kalau tidak, ada surat pernyataan “bersedia mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dikembangkan oleh sekolah tersebut”. Dengan kata lain, tanpa disadari bunyi penjelasan ayat (2) Pasal 28 UU SPN telah menjadi titik awal pengotakan murid berdasarkan agama yang dianutnya.

Setelah lahirnya UU SPN itu, terjadi perubahan peta politik nasional. Memasuki 1990, dukungan politik dari ABRI terhadap Presiden Soeharto saat itu mulai menurun, sehingga Soeharto berpaling ke kekuatan politik lain, yaitu Islam, yang kemudian direpresentasikan dalam wadah yang bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Menguatnya peran ICMI dalam perpolitikan nasional berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan nasional, terlebih ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1998) dijabat oleh tokoh ICMI, yaitu Wardiman Djojonegoro.

Pada 1994, muncul kebijakan baru yang mengizinkan foto dalam ijazah perempuan boleh tertutup telinganya. Implikasinya adalah pakaian jilbab boleh dipakai secara resmi sebagai bentuk seragam sekolah. Sebelumnya, ada aturan bahwa foto perempuan dalam ijazah harus tampak telinganya. Konsekuensinya adalah model pakaian jilbab tidak diterima sebagai pakaian seragam resmi sekolah.

Adanya kebijakan baru yang memperbolehkan pakaian jilbab sebagai pakaian seragam resmi itu sebetulnya merupakan titik awal dari formalisasi agama di sekolah. Bersamaan dengan itu, proses pembinaan agama di sekolah pun lebih intensif melalui organisasi siswa yang tergabung dalam kelompok pembimbingan rohani. Kelak, berdasarkan hasil penelitian Rahima, kelompok-kelompok rohani di beberapa sekolah yang dibimbing oleh orang bukan dari guru tapi oleh alumni atau senior itulah yang melahirkan masalah di beberapa sekolah, sehingga dalam sejumlah kesempatan diusulkan untuk dibubarkan.

Buah reformasi Reformasi politik yang ditandai dengan turunnya pemimpin Orde Baru, Soeharto, dari kursi presiden setelah berkuasa 32 tahun berdampak luas terhadap formalisasi agama di sekolah. Sebab, bersamaan dengan itu iklim demokrasi terbuka lebar, sehingga siapa pun dapat menyalurkan aspirasinya. Mereka yang sudah lama menghendaki adanya formalisasi agama di sekolah semakin terbuka lebar kesempatannya.

Formalisasi agama di sekolah dimulai secara resmi dengan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Juwono Sudarsono) dan Menteri Agama (A. Malik Fadjar) Nomor 4/U/SKB/1999 dan Nomor 570 Tahun 1999, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Indra Jati Sidi) yang mengatur tentang kewajiban siswa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. SKB tersebut di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dijadikan sebagai pilot project untuk pelaksanaannya, sempat menimbulkan ketegangan antarsekolah dan antarpengelola sekolah swasta, khususnya non-Islam dengan Kakanwil Pendidikan dan Kebudayaan DIY serta aparat birokrasinya.

Formalisasi agama tersebut makin diperkuat dengan keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) sebagai pengganti terhadap UU SPN Tahun 1989. Butir (a) ayat (1) Pasal 12 UU Nomor 20/2003 secara tegas menyatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pen didik yang seagama”. Bunyi pasal ini sekadar menegaskan bunyi penjelasan ayat (2) Pasal 28 UU SPN Nomor 2/1989 di atas.

Dengan ditarik menjadi pasal tersendiri, kekuatannya lebih tinggi dibandingkan dengan sekadar menjadi penjelasan. Implikasi dari bunyi pasal 12 di atas adalah menjadikan sekolah-sekolah swasta berbasis agama menjadi lebih eksklusif dalam penerimaan murid baru, padahal mereka sebelumnya sangat inklusif. Eksklusivitas dalam penerimaan murid baru itu berpengaruh terhadap relasi sosial yang diba

ngun oleh murid di sekolah, karena mereka kemudian hanya bergaul dengan orangorang yang seagama, semula di sekolah yang sama, mereka bisa bergaul secara inklusif. Akhirnya, sekolah sebagai institusi pendidikan yang seharusnya inklusif terhadap semua orang justru mengembangkan eksklusivitas, karena regulasinya memang menghendaki hal itu.

Celakanya, sekolah-sekolah negeri yang sebelumnya menjadi pilihan pertama bagi setiap orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tanpa mengalami hambatan agama maupun ekonomi justru semakin eksklusif. Banyak sekolah negeri kita yang jauh lebih agamis daripada sekolah-sekolah swasta yang berbasis agama.

Bibit-bibit radikalisasi yang ditemukan dalam penelitian Rahima itu justru terjadi di sekolah-sekolah negeri favorit. Kepala sekolah tahu persoalan hal itu. Tapi, karena para aktivis dalam organisasi itu berlaku lebih sopan dan rajin, mereka sulit untuk menindaknya. Tapi berdasarkan fenomena terakhir, ketika para siswa setuju terhadap sikap radikal yang berlabel agama atau bahkan banyak mahasiswa yang menjadi anggota NII, saatnya roh pendidikan nasional dikembalikan ke jiwa nasionalnya seperti yang diamanatkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai peletak dasar pendidikan nasional.

Gagasan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh untuk mengembalikan kenasionalan pendidikan nasional dengan dimulai melalui upacara bendera pada setiap Senin perlu diapresiasi. Hanya, menurut penulis, masalahnya bukan di sana, melainkan pada formalisasi agama yang terlalu kuat, dimulai dari salam perjumpaan, cara berdoa, dan sejenisnya. Sampai akhir 1990-an, ucapan perjumpaan guru di kelas adalah "selamat pagi/siang/sore"dan bila berdoa "menurut keyakinan kita masing-masing".

Tapi sekarang semuanya sudah ganti dengan ungkapan keagamaan mayoritas yang berkembang di tiap daerah. Demikian pula saat berdoa menurut agama mayoritas, padahal orang di kelas itu belum tentu beragama sama. Akibatnya, mereka yang menjadi minoritas di sekolah tersebut merasa tereksklusikan. Perasaan tereksklusikan itu jelas kurang elok untuk menjadi dasar penumbuhan jiwa kenasionalan. Agar kenasionalan muncul dari system pendidikan nasional, roh nasional dalam pendidikan kita itu harus dikembalikan lagi. Tanpa mengembalikan roh nasional, sulit mengharapkan pendidikan nasional melahirkan orang-orang yang berjiwa inklusif.


Komentar

  1. Cukup tajam pak, tapi bagaimana dengan pendidikan karakter yang sejak 2010 dikembangkan oleh Mendiknas? Apakah dalam tema pendidikan karakter yang sekarang marak ada kekuatan pasar yang ikut serta, atau memang betul-betul murni gerakan dalam pendidikan?
    Kalau bisa jawaban dikirm ke alamatku pak: musabdilla@yahoo.co.id

    BalasHapus
  2. kami dari yayasan tarakanita, ingin mengundang bapak dalam diskusi panel. Kami dapat menghubungi kemana yaa..?
    terimakasih
    ytwil_tgr@yahoo.co.id

    BalasHapus
  3. salam kenal pak, bs kh tulisan bapak mengenai penolakan RUU PT kami muat di majalah mahasiswa p.raya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.