Langsung ke konten utama

Desentralisasi Pengelolaan BOS

OLEH : DARMANINGTYAS

Pemerintah, dalam hal ini KemenP terian Pendidikan Nasional, akan mendesentralisasi pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke daerah. Selama ini dana BOS langsung dikirim ke rekening tiap-tiap sekolah, tidak melalui aparat pemerintah daerah, dengan harapan menghindari terjadinya pemotongan dana BOS oleh pejabat yang kompeten. Suatu langkah yang tepat, tapi tidak berarti otomatis menghilangkan korupsi dana BOS, karena korupsi dana BOS tetap terjadi juga.


Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch, testimoni para guru di sejumlah daerah, serta wawancara dan pengamatan penulis di beberapa daerah, ternyata pola pemotongan dana BOS oleh pejabat yang kompeten (kabupaten/kota sampai kecamatan) itu hampir sama: sekolah wajib setor ke rekening orang dinas, dinas mengedrop barang-barang yang tidak dibutuhkan sekolah, memaksa sekolah membeli LKS dengan harga lebih tinggi tapi kualitasnya lebih rendah daripada yang dijual di toko buku, atau sekolah harus turut menanggung biaya operasional unit pelaksana teknis pendidikan di tingkat kecamatan. Jumlah yang harus disetor beragam, ada yang Rp 200 ribu per sekolah, tapi ada pula yang Rp 2.000-5.000 per murid.

Pungutan semacam itu nyata terjadi di lapangan, tapi bukti tertulis sulit ditemukan karena sekolah tidak ingin direpotkan oleh urusan polisi, BPK, apalagi KPK. Karena itu, pejabat Inspektorat Kementerian Pendidikan Nasional tentu tidak akan pernah dapat menemukan bukti penyelewengan, karena itu menyangkut soal posisi aman kepala sekolah.

Modus penyelewengan dana BOS seperti itu terungkap karena kepala sekolah di satu sisi merasa mendapat amanah dari pemerintah untuk menggunakan BOS secara benar. Tapi, di sisi lain, mereka juga memperoleh tekanan dari pejabat di daerah yang ingin turut menikmati dana BOS. Di tengah keterjepitan itulah mereka merasa perlu menyampaikan unek-unek kepada orang yang mau mendengar, seperti para peneliti yang dinilai netral dan tidak akan mengancam posisinya.

Keluh-kesah yang sama belum tentu akan diperoleh kelak bila pengelolaan BOS sudah didesentralisasi ke kabupaten/kota, karena kepala sekolah tidak merasa mendapat beban ganda, atasan mere ka sama dengan asal kucuran dana, yaitu bupati/wali kota (cq dinas pendidikan dan bawahannya). Sehingga seandainya dana BOS langsung dipotong pun tidak akan berontak asalkan posisi mereka aman. Paling mereka bertindak tidak jujur dengan cara mau menandatangani bukti penerimaan secara utuh tanpa ada pemotongan, tapi riilnya dipotong. Dengan kata lain, desentralisasi pengelolaan BOS itu justru memudahkan dan melegitimasi praktekpraktek korupsi BOS tanpa ada kontrol siapa pun. Selalu bermasalah Program BOS sejak diluncurkan pada tahun ajaran 2005/2006 selalu bermasalah. Dari soal jumlahnya yang terbatas dan tidak mampu menggratiskan biaya pendidikan dasar, selalu datang terlambat, sampai masalah transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaannya yang amat rendah, karena yang tahu hanya kepala sekolah dan kroninya. Masalah keterlambatan tersebut dibuktikan oleh studi Bank Dunia bahwa pada periode tertentu (Januari-Maret dan Oktober-Desember), penerimaan BOS terlambat 1-3 bulan. Keterlambatan itu amat mengganggu kegiatan operasional sekolah. Di satu sisi sekolah dilarang memungut uang dari murid lagi, tapi di sisi lain dana BOS terlambat datang, sehingga sekolah terpaksa mencari pinjaman ke sana-sini untuk melangsungkan kegiatan belajar-mengajar.
Dana pinjaman ini merepotkan sekolah karena pengembaliannya disertai bunga, sedangkan dana BOS tidak ada komponen membayar bunga. Kondisi semacam inilah yang membuka peluang bagi kepala sekolah memanipulasi jumlah pengeluaran yang diatur dalam BOS.

Sebetulnya, bila BOS tidak datang terlambat, SD-SMP di pedesaan betul-betul dapat menggratiskan biaya pendidikan.
Sedangkan bagi SD-SMP di perkotaan, BOS yang sekarang dapat menutup 50 persen biaya pendidikan, sebelumnya ha nya sekitar 30 persen. Sehingga, meskipun sudah ada BOS, untuk bersekolah tetap membayar, apa pun istilahnya. Perbedaan jumlah Rp 5.000 antara kabupaten dan ko ta sebetulnya tidak signifikan.

Sistem pengelolaan BOS yang sentralis tik sebetulnya memiliki sisi baiknya, kare na bisa saling mengontrol. Tapi mengapa akan didesentralisasi? Pertama, alasan pe merintah adalah pendidikan sudah dioto nomikan. Tapi alasan ini lemah, karena (TEMPO) otonominya sudah berjalan ketika program BOS ini digagas. Kedua, bo leh jadi pemerintah tahu ada penyu natan BOS di la pangan. Karena itu, daripada pe merintah pu sat turut di persalahkan, lebih baik diserahkan langsung ke daerah saja bi ar daerah yang mengelola, se hingga seluruh beban tang gung jawab nya ada pada kabupa ten/kota.

Bagi pemerintah daerah yang tidak kri tis, desentralisasi pengelolaan dana BOS itu disambut gembira karena dapat men jadi jarahan baru. Tapi, bagi pimpinan daerah yang kritis, mereka curiga bahwa ini strategi pemerintah pusat untuk mele pas tanggung jawab pendanaan pendidik an ke depan. Seperti diketahui, sebagian dana BOS ini berasal dari pinjaman Bank Dunia. Utang itu kelak harus dikembali kan. Utang juga ada batasnya. Pada saat utang harus balik dan tidak ada dana utangan lagi, ketika itulah pemerintah daerah diminta turut memikul tanggung jawab karena dana BOS diserahkan ke mereka. Ini alasan ketiga. Untuk itu, bagi pemimpin daerah yang kritis, mereka ti dak terlalu gembira menyambut desentra lisasi pengelolaan dana BOS. Bagi mere ka, dana BOS lebih baik dikelola oleh pe merintah pusat. Meskipun tema sosialisasi BOS 2011 itu bertajuk: “Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi”, pada prakteknya di lapangan sulit mengharapkan pengelolaan BOS bisa transparan, selama yang tahu hanya kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan. Komite Sekolah, yang seharusnya menjadi representasi orang tua murid, hanya menjadi legitimator (cap) bagi kepala sekolah. Kondisi internal sekolah yang buruk itu diperburuk lagi oleh sikap masyarakat yang cuek serta tidak adanya kelompok masyarakat yang kritis dan kredibel di tingkat lokal. Ujungujungnya, sekolah akan menjadi sasaran empuk bagi para wartawan bodrek, yang selama ini selalu meneror para kepala sekolah SD sekadar untuk mendapatkan uang recehan puluhan ribu dari dana BOS.

Desentralisasi pengelolaan BOS akan memunculkan persoalan lebih krusial dalam hal distribusi mengingat cakupan BOS yang cukup luas. Tidak hanya sekolah dan madrasah, tapi juga meliputi pesantrenpesantren salafiah dan sekolah keagamaan non-Islam yang menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun. Pasti akan terjadi pembengkakan yang sangat besar dari jumlah penerima sekarang. Belum menyangkut soal kriteria penerimaannya yang amat debatable dan diwarnai oleh politik lokal. Tidak tertutup kemungkinan muncul institusi-institusi baru yang sengaja didirikan dengan tujuan mengakses dana BOS. Akhirnya, desentralisasi pengelolaan dana BOS itu tidak hanya memunculkan masalah transparansi, tapi juga akuntabilitas.

Mekanisme penyaluran dana BOS selama ini sebetulnya sudah tepat. Tinggal membenahi yang kurang, seperti jumlahnya yang masih sedikit, pengirimannya yang sering terlambat, serta pemotongan yang dilakukan oleh dinas dan bawahannya. Dan jangan disamaratakan antara Jawa dan luar Jawa, terutama wilayah timur Indonesia, yang biaya hidupnya lebih tinggi ketimbang daerah lain. Dengan pembenahan kekurangan tersebut, program BOS dapat menjawab problem pembiayaan pendidikan yang dialami oleh masyarakat miskin. Sebaliknya, pendesentralisasian pengelolaan BOS justru dapat menciptakan problem baru yang semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap pendidikan dasar secara gratis dan dapat mengundang konflik baru. ●

(Tulisan ini sudah dimuat di Koran TEMPO, Selasa, 5 Oktober 2010)

Komentar

  1. meski sudah desentralisasi, tetap aja kepala sekolah nyetor upeti ke dinas masing2...susah Pak negara kita dah diambang ambruk...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.