Oleh : Darmaningtyas
Ada dua isu di perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang perlu direspons. Pertama adalah menurunnya persentase orang miskin di PTN/PT BHMN (tinggal 4,19 persen); sedangkan orang kaya mencapai 32,4 persen. Versi pemerintah, persentase itu naik dibandingkan dengan kondisi pada 2003. Tapi sebetulnya menurun drastis bila dibandingkan dengan kondisi dekade 1980-1990-an. Pada saat itu, jumlah orang miskin di PTN (belum ada PT BHMN) lebih dari 10 persen.
Isu kedua adalah menurunnya peringkat beberapa perguruan tinggi (PT) terkemuka di Indonesia berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan oleh QS World University Ranking. Tapi isu kedua ini tidak penulis anggap penting untuk dibicarakan dalam kesempatan ini mengingat pemeringkatan itu tidak terlepas dari subyektivitas pembuat ranking. Sedangkan masalah akses itu menyangkut kepentingan berbangsa.
Kedua isu itu boleh jadi bertolak belakang dan telah menjadi perdebatan lama: membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat ataukah mementingkan kualitas dengan konsekuensi amat selektif. Pilihan pada salah satu itu karena, dalam persepsi pemerintah, kalau memilih keduanya, agak muskil di tengah keterbatasan dana yang ada; meskipun, menurut penulis, keduanya itu memungkinkan dilaksanakan bersamaan asalkan ada komitmen yang kuat dari pemerintah, mengingat sering terjadi inefisiensi dalam penggunaan dana, baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah.
Tulisan ini lebih ingin menekankan pada pembukaan akses bagi golongan miskin, terutama di PTN-PTN maupun PT BHMN, agar keberadaan PTN dan PT BHMN tetap dapat menjadi sarana mobilitas vertikal bagi semua warga, termasuk kaum miskin dan sekaligus sarana untuk mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Masalah penurunan ranking tidak perlu dirisaukan karena pemeringkatan itu sendiri bagian dari bisnis jasa pendidikan semata. Parameter yang mereka tetapkan didasarkan pada kriteria subyektif yang tidak terbebas dari agenda tersembunyi (hidden agenda) kapitalisme global untuk memasarkan produk-produk mereka, baik berupa software, hardware, maupun tenaga kerja mereka, yang sekarang mulai mengalami masalah dengan pengangguran.
Program pengabdian masyarakat yang dikembangkan oleh beberapa PT kita dan terbukti mampu membangun kesadaran sosial pada mahasiswa, misalnya, tidak termasuk dalam salah satu kriteria penilaian ranking perguruan tinggi di dunia. Karena itu, menjebakkan diri pada pemeringkatan yang dibuat oleh negara-negara maju dapat berbahaya bagi keberlanjutan perguruan tinggi kita karena akan kehilangan arah atau mengalami disorientasi. Bahkan karakter atau ciri khas yang dimiliki oleh setiap PTN/PT BHMN pun akan hilang karena terjadi penyeragaman kriteria perguruan tinggi yang berkualitas.
Makin elitis
Bagi penulis, hal yang sangat merisaukan dari perkembangan perguruan tinggi kita, terutama PTN dan PT BHMN, selama satu dekade terakhir adalah semakin elitis, karena uang menjadi dasar penerimaan mahasiswa baru. Mereka yang sudah dinyatakan lolos tes masuk PTN/PT BHMN belum tentu dapat kuliah karena tidak mempunyai uang untuk masuk kuliah. Meskipun selalu muncul berbagai sanggahan atas tuduhan tersebut, kenyataannya, jumlah orang miskin di PTN/PT BHMN semakin turun, sedangkan jumlah orang kaya semakin naik. Ini membuktikan bahwa uang memang menjadi sarana utama untuk dapat kuliah di PTN/PT BHMN. Bahkan ada PT BHMN yang memberikan porsi hanya 10 persen cara mahasiswa barunya diterima melalui model seleksi bersama PTN lain, selebihnya (90 persen) adalah yang berdasarkan besaran uang yang dibayarkan oleh calon mahasiswa.
Bila kita berpikir agak jauh, menyangkut soal rasa kebangsaan atau solidaritas sosial, perkembangan PTN/PT BHMN yang sekarang ini mencemaskan, karena perguruan tinggi akan menyumbang konflik sosial yang besar di masa mendatang, memperlebar jurang ketidakadilan antara kaya dan miskin, serta menyuburkan frustrasi sosial di masyarakat. Kaum miskin tidak lagi punya harapan dapat melakukan mobilitas vertikal melalui pendidikan tinggi, seperti yang terjadi sampai akhir dekade 1990-an. Bahkan yang sudah mulai terjadi sekarang adalah anak pasangan suami-istri sarjana pun tidak dapat kuliah karena biayanya tidak terjangkau.
Program beasiswa yang dikembangkan oleh pemerintah itu bukan solusi karena, selain proses untuk mendapatkannya panjang, beasiswa hanya dapat diakses oleh mereka yang sudah resmi sebagai mahasiswa. Sementara itu, hambatan terbesar justru ada di proses masuknya. Harga formulir di PTN/PT BHMN sekarang ini tidak mungkin terbeli oleh anak sopir angkot, sopir taksi, pengemudi becak, buruh bangunan, pekerja sektor informal lainnya, dan anak petani. Sistem penerimaan mahasiswa model online di satu sisi kelihatan maju, tapi di sisi lain menutup akses warga yang tinggal di daerah terpencil dan belum bisa mengakses Internet.
Warga miskin dan kaya itu juga sudah tersaring sejak SD, ketika SD sampai dengan SMTA dikastanisasi menjadi sekolah reguler, sekolah standar nasional, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah bertaraf internasional (SBI), dan sekolah internasional. Anak-anak miskin, meskipun pintar, masuk ke SD dan SMP reguler. Sedangkan setelah lulus SMP, mereka lebih banyak masuk ke SMK, sedikit yang masuk ke SMA. Mereka yang masuk ke SD-SMA RSBI/SBI hanya orang kaya. Wajar bila kemudian beasiswa untuk kaum miskin yang disebar ke PT BHMN dan PTN itu hanya terserap sedikit, karena orang miskin sudah terseleksi sejak SD.
Upaya membuka akses bagi orang miskin untuk masuk ke PTN/PT BHMN tidak ada cara lain kecuali mengembalikan sekolah-sekolah negeri menjadi sekolah publik yang dapat diakses oleh semua warga tanpa hambatan apa pun. Kebijakan beasiswa sangat tidak tepat karena, selain secara metodologis punya banyak kelemahan dalam pendistribusian, sifatnya charity. Sementara itu, pendidikan bukan persoalan belas kasihan, melainkan berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi warga versus negara. Tugas pemerintah sebagai representasi negara adalah menciptakan sistem pendidikan yang dapat diakses bagi semua warga. Segala hambatan yang ada perlu dihilangkan. Bila Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah hambatannya, perlu direvisi, seperti halnya undang-undang lain yang tidak pas dan direvisi. Jangan berkedok bahwa RSBI/SBI itu amanat UU Sisdiknas, lantas dijalankan terus meskipun tahu itu salah, tanpa ada keinginan merevisi UU Sisdiknas. Padahal kita tahu penyusunan UU Sisdiknas tersebut menimbulkan kontroversi panjang; bukan hanya masalah pendidikan agama, tapi juga masalah privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang sekarang sudah terbukti di lapangan.
Persoalan dana, yang selalu menjadi keberatan pemerintah dan pemimpin PT BHMN untuk kembali menjadi PTN milik publik, dapat diatasi dengan cara meningkatkan subsidi untuk perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dana tersebut dapat diambilkan dari pengalihan subsidi untuk sektor energi (BBM dan listrik). Daripada puluhan triliun hanya untuk subsidi BBM dan listrik, yang lebih banyak dinikmati oleh golongan kaya, lebih baik dipakai untuk menyubsidi seluruh perguruan tinggi, agar semua PTN dapat diakses oleh semua warga dan tidak perlu diprivatisasi. Bila warga miskin dapat mengalami mobilitas vertikal menjadi orang kaya, kenaikan tarif listrik dan BBM tidak akan menjadi masalah karena mereka memiliki kemampuan membayar. Jadi jelas, soal subsidi untuk perguruan tinggi itu hanyalah soal komitmen politik, bukan soal ketiadaan dana pemerintah.
Kita bersyukur bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan mengamanatkan bahwa rekrutmen mahasiswa baru melalui seleksi bersama minimal 60 persen dari total mahasiswa baru yang diterima oleh suatu PTN dan PT BHMN. Hal ini dapat menjadi peluang bagi yang miskin untuk kuliah di PTN/PT BHMN. Sedangkan keharusan menyediakan beasiswa 20 persen dari total mahasiswa merupakan amanat yang baik, tapi mungkin sulit terpenuhi karena anak-anak orang miskin sudah terseleksi sejak SMP. Tapi niat baik pemerintah tersebut perlu diperhatikan pula. (Sumber: Koran Tempo, 26 Oktober 2010)
salam.
BalasHapusPak Darma, saya tertarik untuk meneliti pendidikan ketika orde baru. Bagaimana kebijakan pemerintah mempengaruhi pendidikan dengan indikator yang ada di BPS. Judul penelitian saya, Pembangunan Pendidikan di Kota Bogor; 1966-1998. Kurang lebih porsinya lebih banyak analisis statistik pendidikan.
Mohon tanggapan bapak. terima kasih.
salam.
Bimo Adriawan
Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran
gommu.wordpress.com