Langsung ke konten utama

Stop Sekolah Bertaraf Internasional

Oleh Darmaningtyas

TEMPO Interaktif, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tiba-tiba menjadi isu besar di Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri M. Nuh bermaksud mengevaluasi RSBI dan SBI tersebut. Ada empat parameter yang akan dijadikan dasar evaluasi, yaitu akuntabilitas keuangan, proses perekrutan siswa, prestasi akademik yang dihasilkan, dan apakah persyaratan RSBI sudah terpenuhi.


Menurut penulis, yang perlu dilakukan pemerintah sekarang bukan hanya mengevaluasi, tapi juga menghentikan proses menuju RSBI maupun SBI. Dalam mengevaluasi itu terkandung pengertian program ini masih dapat dilanjutkan dengan beberapa perbaikan yang selama ini menjadi kelemahannya.

Sedangkan menghentikan berarti meniadakan program tersebut sama sekali dan mengembalikannya menjadi sekolah umum yang dapat diakses oleh segenap lapisan masyarakat. Mengapa RSBI dan SBI patut dihentikan?

Pertama, seperti halnya ujian nasional (UN), RSBI dan SBI ini telah menjadi teror di masyarakat ketika akan menyekolahkan anak-anak mereka. Masyarakat kebanyakan merasa terteror oleh biaya pendidikan di RSBI/SBI yang tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah sekolah negeri yang mestinya terbuka untuk umum.

Kedua, RSBI/SBI telah menimbulkan keresahan karena biayanya amat mahal, tapi kualitasnya rendah. Selain mahal, pengelolaan keuangan di sekolah-sekolah RSBI/SBI--seperti sekolah pada umumnya--amat tertutup, tidak transparan, dan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan kroninya. Bahkan guru pun tidak dapat mengakses anggaran belanja di sekolahnya.

Ketiga, RSBI dan SBI akan memerosotkan mutu pendidikan nasional akibat proses pembelajarannya yang salah. Bayangkan saja, mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia saja belum tentu dapat dipahami oleh murid, apalagi menggunakan bahasa Inggris, di mana kemampuan berbahasa Inggris murid terbatas. Pasti yang dapat diserap oleh murid maksimal hanya 60 persen. Sebab, jangankan memahami materi yang disampaikan, memahami bahasa Inggrisnya saja sudah butuh energi ekstra. Akibatnya, secara evolutif RSBI dan SBI akan memerosotkan mutu pendidikan nasional sampai pada yang terendah.

Keempat, RSBI dan SBI ini jelas-jelas melanggar konstitusi, baik yang menyangkut pasal 31 ayat (3) mengenai amanat untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional maupun pasal 32 ayat (2) yang mengamanatkan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Juga pasal 36 mengenai bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Dengan proses pembelajaran yang menggunakan pengantar bahasa Inggris, RSBI dan SBI tidak menunjang pemeliharaan bahasa daerah maupun pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Kelima, meskipun dasar penyelenggaraan RSBI dan SBI itu adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, praksis RSBI dan SBI yang amat mahal dan eksklusif itu bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Keenam, konsep “bertaraf internasional” dalam RSBI/SBI itu tidak jelas. Sebab, bila acuannya pendidikan di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), negara-negara seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Selandia Baru, dll., yang menjadi anggota OECD, memiliki sistem pendidikan yang tidak seragam; masing-masing memiliki keunggulan yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Lalu, “internasional” mana yang akan menjadi acuan?

Ketidakjelasan acuan itulah yang menyebabkan terjadinya simplifikasi pelaksanaan RSBI di lapangan, yaitu dalam bentuk proses belajar-mengajarnya sebagian menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, ruangannya ber-AC, manajemennya diberi sertifikasi ISO, sedangkan kurikulumnya tetap menggunakan kurikulum pendidikan nasional. Tapi yang ironis adalah RSBI dan SBI itu tetap harus mengikuti ujian nasional. Ini jelas kontradiktif dengan dirinya sendiri dan sekaligus memperjelas ketidakjelasan konsep RSBI dan SBI tersebut, karena mau menjadi bertaraf internasional tapi kok harus ikut UN.

Saya masih teringat argumen Prof Dr Suyanto (sekarang Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebagai Komite Reformasi Pendidikan saat itu) pada saat diskusi naskah akademik RUU Sisdiknas (2001), mengenai alasan pentingnya mendorong daerah untuk mengembangkan sekolah bertaraf internasional itu, bahwa SBI perlu agar lulusan kita dapat sejajar dengan lulusan negara-negara maju.

Tapi tujuan yang sama dapat dicapai tanpa harus ada pelabelan internasional. Yang penting, proses pembelajarannya benar dan jangan terlalu banyak intervensi kepentingan politik. Sebelum ada pelabelan internasional, sudah banyak sekolah yang lulusannya langsung melanjutkan ke negara-negara maju dan mereka lulus dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama, meskipun tidak berlabel “internasional”. Artinya, soal kualitas bertaraf internasional bukan terletak pada label, melainkan pada proses pembelajaran yang benar.

Alasan ketujuh, RSBI dan SBI menjadi pintu terbuka bagi masuknya intervensi asing ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan alasan mengesahkan label “internasional”, sekolah-sekolah tersebut wajib menggunakan buku-buku terbitan negara-negara OECD untuk mata pelajaran tertentu, lalu model evaluasi mereka (yang tidak gratis), guru dari mereka dengan alasan sudah terbiasa berbahasa Inggris sehari-hari, serta kurikulum dari mereka. Kurikulum yang berasal dari mereka itu berarti isi pendidikan adalah dari perspektif mereka. Pada saat itulah kita baru menyadari bahwa RSBI dan SBI ternyata di satu sisi menghancurkan kedaulatan budaya, di sisi lain telah membuka peluang kerja bagi para penganggur di negara-negara maju untuk menjadi guru di Indonesia dengan menggusur para sarjana kita sendiri dengan alasan tidak berkualitas. Inilah tragedi dari RSBI dan SBI yang tidak terpikirkan oleh pengambil kebijakan.

Kedelapan, gugatan yang paling mendasar terhadap RSBI dan SBI ini adalah telah menutup akses masyarakat luas terhadap layanan pendidikan yang bermutu lantaran uang menjadi dasar penerimaan murid baru. Banyak calon murid yang nilainya bagus tidak berani mendaftar ke sekolah yang berlabel RSBI/SBI karena biaya sekolahnya amat tinggi, baik uang sumbangan maupun SPP per bulan.

Kesimpulannya, program RSBI dan SBI ini pantas untuk dihentikan bukan sekadar karena alasan-alasan teknis manajerial seperti yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan M. Nuh di atas, melainkan yang lebih substansial adalah alasan ideologis-konstitusional. Secara ideologis, RSBI dan SBI bertentangan dengan Pancasila (sila kelima, Keadilan Sosial) dan secara konstitusional jelas melanggar konstitusi negara. Padahal, peraturan perundangan pendidikan mestinya merupakan turunan dari konstitusi negara, bukan justru melanggarnya. Bila institusi pendidikan yang seharusnya dapat menjadi tuntutan dalam menjaga ideologi bangsa dan konstitusi negara justru secara sengaja melanggarnya, dapat dibayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi pada tatanan kehidupan bernegara kita di masa mendatang.

Bila program RSBI dan SBI ini dihentikan, perhatian pemerintah dan pemda dapat merata pada semua institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta, tanpa mengalami diskriminasi seperti sekarang ini. Sekolah-sekolah negeri yang berlabel RSBI/SBI dikembalikan menjadi sekolah milik publik yang terjangkau bagi segenap lapisan masyarakat.

Pekerjaan rumah (PR) yang perlu dikerjakan oleh pemerintah dan DPR dalam kaitan dengan usulan menghentikan program RSBI dan SBI tersebut adalah merevisi UU Sisdiknas, yang selama ini dijadikan dasar pengembangan RSBI dan SBI. Meskipun, bila dibaca secara cermat, pasal 50 ayat (3) itu lebih bermakna sifat (bertaraf internasional), bukan bentuk kelembagaan (RSBI/SBI). Tapi, selama ayat (3) tersebut masih berlaku, pasal ini akan terus dijadikan pedoman bagi birokrasi pendidikan untuk melanggengkan program RSBI dan SBI. *

(Tulisan ini sudah dimuat di Koran Tempo, Jumat, 30 Juli 2010).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.