Oleh Darmaningtyas
Penerimaan Murid Baru (PMB) online menjadi tren sekolah-sekolah di Indonesia, terlebih di kota-kota besar karena dianggap sebagai simbol melek Internet. Karena itu, setiap kota besar selalu berlomba mengadakan PMB online, seperti yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Sayang, karena kemajuan telekomunikasi itu tidak dibarengi dengan kemajuan mental birokratnya, maka PMB online di Jakarta mengalami gangguan sehingga prosesnya harus diulang dan waktu penerimaan murid baru pun tertunda. Dalam hal penundaan ini, yang dirugikan adalah masyarakat (calon murid dan orang tua), yang harus mengalami perpanjangan spot jantung untuk bisa mendapatkan sekolah baru.
Mengapa PMB online di DKI Jakarta mengalami hambatan? Secara teknis jawabannya sederhana: karena ganti server (swasta) yang masih baru sehingga kurang familiar dengan persoalan data calon murid yang begitu banyak lalu mengalami kelebihan beban. Tapi itu jawaban teknisnya. Persoalan nonteknis dan yang justru paling mendasar adalah mengapa ganti server kalau server tahun-tahun sebelumnya sudah teruji baik?
Jawaban atas pertanyaan itu ada dua kemungkinan. Pertama, ingin mencoba server yang lain yang diharapkan dapat lebih cepat dan canggih (syukur kalau begitu). Kedua, mungkin ada kepentingan bisnis yang masuk dan kepentingan tersebut tidak mudah untuk ditolak karena bisa jadi iming-iming keuntungannya besar, tentu dengan iming-iming server yang lebih canggih.
Penulis punya dugaan bahwa masalah yang dominan atas kegagalan PSB online di DKI Jakarta justru terletak pada masuknya kepentingan bisnis tersebut. Kepentingan bisnis yang begitu dominan itu mengabaikan perhitungan risiko buruknya. Mereka tidak menyangka bahwa dampak buruknya akan dirasakan oleh masyarakat, yang harus mengalami penundaan masa penerimaan murid baru.
Bila dugaan penulis itu betul, sebetulnya fatal karena berlawanan dengan prinsip online itu sendiri. Filosofi online (entah itu PSB atau tender proyek) adalah membuat proses itu lebih terbuka dan cepat, sehingga dapat meminimalkan intervensi dari kepentingan mana pun, termasuk penguasa, karena prosesnya dapat diketahui secara cepat dan terbuka pula oleh setiap orang yang mengaksesnya. Filosofi ini berangkat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa proses manual selain lama juga mudah diintervensi oleh golongan tertentu, terutama penguasa.
Adanya pergantian server karena adanya kepentingan bisnis yang mau masuk itu menunjukkan bahwa tak ada perubahan sikap mental dari para birokrat pendidikan di DKI Jakarta. Mereka tetap memiliki mental korup sehingga yang berkecamuk dalam benaknya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan finansial dari proses penerimaan murid baru ini. Bila sulit mendapatkan keuntungan dari proses penerimaannya itu sendiri, diciptakanlah peluang lain yang tidak mencolok. Penentuan pilihan perusahaan X atau Y yang menang dalam pelaksanaan PSB online bukanlah pertimbangan teknis semata, tapi justru lebih dominan pertimbangan bisnis. Sayang, perhitungan risiko kegagalan dari pilihan baru itu kurang dipertimbangkan sehingga beban penderitaannya harus dipikul oleh masyarakat. Dengan kata lain, teknologi boleh berkembang dan canggih, tapi kalau mental korupnya tidak berubah, tetap saja merugikan masyarakat. Jadi filosofi online yang harus terbuka, transparan, dan cepat itu tidak dijiwai oleh para penyelenggara PMB online, tapi yang menjiwai mereka adalah mental korupnya. Itulah sebetulnya akar masalah dari kerusakan server PMB di DKI Jakarta kemarin.
Bila disimak bahwa calon murid baru tetap harus datang ke sekolah untuk menyerahkan data-data dan konfirmasi, sebetulnya PMB online juga tidak konsisten; karena katanya untuk menyederhanakan proses, tapi ternyata bagi masyarakat malah tidak sederhana. Sebab, bagi mereka yang tidak punya fasilitas Internet di rumah--dan jumlahnya itu mencapai 75 persen--mereka setiap saat harus datang ke warnet dan keluar uang sekadar untuk mendaftar maupun memonitor perkembangan PSB dari jam ke jam atau dari hari ke hari. Bagi yang punya fasilitas Internet di rumah, akses Internet itu juga membutuhkan biaya (pulsa). Semuanya tidak berhenti di depan Internet, tapi tetap harus ke sekolah. Karena itu, belajar dari kasus PMB di Jakarta, PMB dengan menggunakan sistem online tidak ada yang dapat dibanggakan. Sebaliknya justru merugikan warga, karena pada 12 Juli 2010 sebetulnya sudah dimulai tahun ajaran baru untuk tahun ajaran 2010/2011, tapi di Jakarta masih proses penerimaan murid baru.
Kalender Pendidikan
Beban masyarakat (calon murid baru maupun orang tua) itu terasa berat, karena buruknya sistem penerimaan murid baru model online itu ditunjang oleh kalender pendidikan yang buruk pula. Kalender pendidikan yang buruk itu tampak dari berbagai kegiatan yang tidak memberikan kesempatan istirahat bagi murid maupun orang tua, akibat jarak satu kegiatan dan lainnya di satu sisi amat berjauhan, tapi di sisi lain amat berdempetan. Sebagai contoh, jadwal antara ujian nasional (UN) utama dengan waktu pengumuman hasil UN amat panjang (lebih dari satu bulan), setelah itu ada UN ulangan. Seusai pengumuman UN ulangan inilah baru dimulai proses penerimaan murid baru. Secara serentak penerimaan murid baru itu dimulai pada 1 Juli 2010. Bila tidak terjadi kesalahan, seperti di DKI Jakarta, proses penerimaan murid baru berakhir pada 7 Juli. Tapi pada 12 Juli sudah merupakan hari pertama tahun ajaran 2010/2011. Itu artinya usai proses penerimaan murid baru, langsung masuk sekolah.
Berdasarkan kalender pendidikan seperti itu, jelas di satu sisi jarak antara pelaksanaan UN--pengumuman--dan proses penerimaan murid baru terlalu panjang, tapi di sisi lain jarak antara proses penerimaan murid baru dan permulaan tahun ajaran baru terlalu mepet.
Jadi sebetulnya, murid-murid kelas satu SMP maupun SMTA (SMA dan SMK) itu memasuki tahun ajaran baru dengan suasana penat, tertekan, dan stres. Mengapa? Pertama, menjelang UN mereka stres menghadapi UN dan ikut bimbingan belajar ke sana kemari. Kedua, setelah UN, mereka stres menanti pengumuman hasil UN yang terlalu lama. Ketiga, setelah dinyatakan lulus, mereka masih harus menunggu waktu terlalu lama (lebih dua minggu) untuk bertarung dalam PMB. Tapi begitu dinyatakan lolos di sekolah baru, belum sempat bernapas lega, sudah harus memulai tahun ajaran baru lagi.
Beban berat juga dirasakan oleh orang tua; bukan hanya mental, tapi juga biaya. Hampir semua orang tua yang sadar akan pendidikan anaknya melakukan hal yang sama: Pertama, menjelang UN mereka mengeleskan anaknya ke berbagai bimbingan belajar yang memerlukan biaya. Kedua, seusai UN mereka harus keluar uang banyak untuk keperluan tutup tahun anak-anaknya. Ketiga, selepas dari SD/SMP harus berburu sekolah baru ke SMP/SMTA, semuanya itu pakai biaya mahal. Itu baru dari aspek pembiayaan. Dari aspek kejiwaan, orang tua sebetulnya jauh lebih tertekan ketika anak-anaknya galau menghadapi UN dan menanti lama pengumuman hasil UN. Sebab, apa pun hasilnya, orang tualah yang akan memikul seluruh tanggung jawab dari hasil belajar anak tersebut. Bila anak lulus UN dengan nilai bagus sehingga masuk ke SMP/SMTA favorit, orang tua gembira. Tapi bila anak tidak lulus UN atau lulus dengan nilai pas-pasan sehingga harus masuk ke sekolah swasta pinggiran, orang tua pula yang sedih.
Buruknya kalender pendidikan itu sudah lama penulis sampaikan ke pengambil kebijakan di Departemen Pendidikan Nasional, juga sudah pernah saya tulis di media massa untuk diperbaiki, tapi sampai sekarang belum diperbaiki juga. Semoga Menteri M. Nuh dan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal mau membuka diri untuk memperbaiki kalender pendidikan yang buruk itu. (Tulisan ini sudah dimuat di Koran TEMPO, 12 Juli 2010).
Komentar
Posting Komentar