Langsung ke konten utama

Kembali ke Peguruan Tinggi

Oleh Darmaningtyas

ANGGOTA PENGURUS MAJELJS LUHUR TAMANSISWA DAN PENULIS BUKU TIRANI KAPITAL DALAM PENDIDIKAN, MENOLAK UNDANG-UNDANG BHP

Dunia pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang telah diprivatisasi menjadi PT BHMN (perguruan tinggi badan hukum milik negara), tiba-tiba heboh. Kehebohan itu dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dengan alasan melanggar konstitusi. Kehebohan itu terjadi karena semula para pemimpin PT BHMN berharap dapat memperoleh payung hukum yang jelas dari UU BHP Ter-nyata apa yang mereka harapkan itu hilang begitu saja ditelan oleh palu Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010.


Dengan dibatalkannya UU BHP tersebut, ketidakjelasan landasan hukum bagi kegiatan operasional PT BHMN tetap berlangsung sampai sekarang. Sebagai contoh, PT BHMN, seperti UI, UGM, IPB, dan ITB, berjalan berdasarkan PP No. 152-155/2000. Bila kita simak PP tersebut, yang menjadi salah satu konsideran PP itu adalah UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku setelah muncul Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru (No. 20/2003, pasal 76). Sehingga, tanpa disadari, pasca-keluamya Undang-Undang Sisdiknas yang baru, sampai sekarang PT BHMN sebetulnya berjalan tanpa payung hukum yang jelas alias liar. Bila kondisi itu terjadi pada pedagang kaki lima di Jakarta atau kota-kota lain, pasti mereka sudah digusur.

Tapi, ironisnya, justru pada suatu institusi yang di dalamnya terdapat para ahli hukum, ketidakjelasan ini tidak pernah dipersoalkan. Bahkan mungkin di antara mereka ada yang turut menikmatinya atau minimal memberikan dukungan untuk tetap eksis. Dilihat dari ketidakjelasan payung hukum itulah, bisa dipahami keresahan para . pemimpin PT BHMN atas pembatalan UU BHP tersebut. Lalu mereka kemudian mencari-cari pembenaran atas kebijakan-kebijakannya di PT BHMN. Mereka menuntut adanya peraturan baru yang dapat memayunginya atau perubahan kelembagaan yang dinilai sesuai dengan semangat otonomi sekarang ini. Usulan bentuk kelembagaan yang mereka pilih adalah badan layanan umum (BLU), bukan kembali ke perguruan tinggi negeri (PTN).

Badan layanan umum BLU merupakan bentuk kelembagaan yang banyak dipilih oleh para pemimpin PT BHMN setelah bertemu dengan Menteri Pendidikan, 5 April lalu, dan para pemimpin PTN pada umumnya. BLU banyak dipilih karena memberikan otonomi dan keleluasaan bagi PTN untuk mengelola sendiri keuangan. Tapi pilihan kelembagaan berupa BLU juga menimbulkan permasalahan karena landasan hukumnya. Perguruan tinggi, baik PT BHMN maupun PTN, merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, berjalannya lembaga tersebut mutlak atau wajib mengacu pada keberadaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas tidak dikenal adanya istilah BLU. Yang ada hanyalah sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah (negeri) dan dikelola oleh masyarakat (swasta). Karena itu, aturan untuk mengatur PTN maupun PT BHMN tentu harus diturunkan dari UU Pendidikan Nasional, bukan dari UU Kementerian lain. Kecuali PTN dan PT BHMN berubah menjadi badan usaha di bawah Kementerian Keuangan, maka aturan-aturan di bawahnya mengikuti undang-undang di kementerian tersebut.

Pengalaman menarik adalah BLU Transjakarta. Temyata BLU Transjakarta tidak bisa otonom sepenuhnya, karena ia hanya merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dari Dinas Perhubungan DKI, sehingga hal-hal yang sifatnya strategis tidak bisa mereka putuskan sendiri, melainkan harus meminta persetujuan ke Dinas Perhubungan. Konsekuensi yang sama itu akan terjadi pada BLU di perguruan tinggi. BLU perguruan tinggi hanyalah merupakan UPT dari Departemen Pendidikan Nasional. Jadi, tidak sepenuhnya otonom. Bentuk BLU menurut saya justru makin tidak jelas, karena di satu sisi belum tentu otonom dan di sisi lain statusnya di bawah Kementerian Pendidikan Nasional atau Kementerian Keuangan.

Perguruan tinggi negeri

Mengingat PT BHMN maupun BLU itu tidak punya landasan hukum yang jelas dalam sistem pendidikan nasional, berarti keduanya bukan pilihan yang tepat. Yang tepat adalah mengembalikan PT BHMN menjadi perguruan tinggi negeri milik publik, agar tetap terjangkau oleh semua warga dan menjalankan peran pencerdasan bangsa. Persoalan otonomi tidak berkaitan dengan persoalan bentuk kelembagaan, melainkan dengan kemauan politik penguasa. Bisa saja bentuknya BLU. Tapi, kalau penguasa tidak punya kemauan politik untuk memberikan otonomi, ya, tetap tidak otonom. Sebaliknya, meskipun dalam bentuk PTN, kalau penguasanya punya kemauan politik untuk memberikan otonomi seperti di negara-negara maju, pimpinan PTN punya otonomi mengelola perguruan tinggi. Jadi, yang penting adalah pemerintah (Kementerian Pendidikan) mau legowo memberikan otonomi pengelolaan kepada perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta, bukan mengubah PTN menjadi BLU/PT BHMN.

Bila persoalannya adalah menyangkut masalah fleksibilitas penggunaan anggaran, yang perlu diubah adalah mekanisme penggunaan keuangan negara (UU Keuangan). Perlu ada aturan secara klausul khusus mengenai penggunaan anggaran untuk institusi-institusi negara yang melakukan pelayanan sosial, seperti lembaga-lembaga pendidikan dan rumah sakit atau puskesmas. Jangan digeneralisasi dengan institusi pemerintah lainnya.Jangan justru dibalik. Hal yang prin-sip/mendasar (pencerdasan bangsa) justru harus menyesuaikan dengan halyang tek- nis-manajerial (aturan penggunaan anggaran negara). Undang-Undang Keuangan itu bukanlah hal yang keramat untuk diubah. Jadi, keberadaan undang-undang itu harus menyesuaikan dengan tugas utama negara untuk mencerdaskan bangsa. Bukan justru membatasi dengan aturan yang kaku.

Konsekuensi dari kelembagaan yang berbentuk PTN adalah pendanaan utama di PTN dari pemerintah. Masyarakat sifatnya memberi sumbangan dalam bentuk SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan) yang terjangkau sesuai dengan kemampuan mereka Negara dapat mengalokasikan anggaran yang tinggi untuk PTN dengan cara memanfaatkan hasil sumber daya alam secara lebih efisien dan produktif, serta memobilisasi dana dari masyarakat melalui pajak progresif.Yang penting, pajak itu dikelola secara benar dan tidak dikemplang oleh para pemungutnya.

Tugas para guru besar di perguruan tinggi sekarang adalah memberikan masukan yang benar kepada pemerintah mengenai bagaimana cara mengefisienkan dan mem-produktifkan penggunaan sumber daya alam serta mengoptimalkan pajak untuk kemakmuran masyarakat serta pelayanan kebutuhan sosial dasar (pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan). Bukan justru mencari pembenaran untuk tetap mempertahankan PT BHMN atau berubah menjadi BLU, yang belum tentu betul-betul otonom.Guru besar itu bagian dari golongan cendekiawan kampus. Karena itu, tugas utamanya adalah mencari kebenaran yang universal, tindakannya perlu berjarak dengan kekuasaan, bukan justru memberikan back-up pada penguasa yang salah. Sebab, kalau cendekiawan sudah berkolusi dengan kekuasaan, siapa lagi yang harus menjaga kebenaran tersebut.

Kesimpulannya, baik bentuk PT BHMN maupun BLU bukan yang terbaik untuk pencerdasan bangsa, melainkan merupakan jalan sesat yang perlu dihindari dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi (negeri). Bentuk itu hanya menguntungkan para pemimpin lembaga dan pemerintah, tapi merugikan masyarakat. Bagi masyarakat, yang utama adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang terjangkau dan bermutu. Sejarah sudah membuktikan1, PTN kita di masa lalu terbukti mampu melahirkan ilmuwan yang mempunyai kaliber dunia. Bahkan para pemimpin PT BHMN sekarang ini pun dan pimpinan negara merupakan produk dari PTN masa lalu. Jadi, apa yang diragukan dari bentuk PTN? Sedangkan bentuk BHMN maupun BLU sekarang masih dalam taraf coba-coba. Tidak ada alasan rasional untuk tetap bertahan menjadi PT BHMN ataupun berubah menjadi BLU. Yang rasional adalah kembali ke PTN. Untuk apa harus harus coba-coba bentuk yang terbukti gagal.

(Tulisan ini sudah dimuat Koran TEMPO, Sabtu 10 April 2010).

Komentar

  1. Salam kenal. Saya cari bapak kemana-mana dan baru ketemu sekarang. Saya adalah salah satu dari sekian banyak person yang berduka cita dan prihatin atas pendidikan di Indonesia. Begitu banyaknya doktor dengan ribuan judul disertasi, begitu banyak master dengan ribuan judul tesis. Tapi memperbaiki dunianya sendiri saja tak mampu. Jangan-jangan ada yang salah (pasti banyak) dengan dunia kita (temasuk kita). Disertasi dan tesis pun melalui proses yang tidak gampang, ditulis, dianalisis sampai sedetail-detailnya. Hasilnya apa? Kengawuran perilaku. Artikel kecil-kecil saya dkk tentang dunia pendidikan ada di http://www.penulislepas.com/, jika bapak berkenan baca.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.