Oleh: Darmaningtyas
Bulan Oktober ini merupakan saat yang menentukan bagi sejarah bangsa Indonesia lima tahun ke depan atau bahkan selanjutnya. Sebab, selain akan ada pelantikan presiden terpilih (Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono), akan terjadi pergantian kabinet. Salah satunya, Menteri Pendidikan Nasional. Di negara tetangga, seperti Malaysia, Menteri Pendidikan merupakan jabatan yang strategis karena dialah yang kelak akan menjadi Perdana Menteri Malaysia. Karier Perdana Menteri di sana dimulai dari karier sebagai Menteri Pendidikan. Wajar bila mereka lebih maju daripada Indonesia.
Di Indonesia, pascareformasi, Menteri Pendidikan bagian dari dagang sapi, sehingga ada semacam pengkaplingan bahwa Menteri Pendidikan harus dari golongan tertentu. Padahal, berbeda dengan menteri teknis lainnya yang kebijakannya langsung dirasakan oleh warga dalam waktu dekat, kebijakan yang dibuat oleh Menteri Pendidikan akan langsung dirasakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan untuk memulihkannya butuh minimal satu generasi lagi. Sebagai contoh, kebijakan perbukuan, ujian nasional (UN), internasionalisasi sekolah, dan privatisasi pendidikan. Semuanya itu dirasakan seketika, tapi dampaknya akan panjang. Jangka pendeknya menyangkut soal pembiayaan pendidikan yang makin mahal, sedangkan jangka panjangnya berupa pembodohan masyarakat secara massal hingga hilangnya keindonesiaan kita. Lahir, besar, bersekolah, dan bekerja di Indonesia, tapi tidak punya identitas Indonesia lantaran pendidikan di sekolah tidak mengajarkan keindonesiaan.
Visioner
Mengingat makin mahalnya biaya pendidikan yang bukan hanya asumsi melainkan sudah terbukti secara empiris, demikian pula kadar keindonesiaan yang makin tipis yang juga terbukti di lapangan karena dikikis melalui kolonialisasi sistem pendidikan, diperlukan seorang Menteri Pendidikan yang mempunyai visi jauh ke depan untuk menyiapkan generasi 2045 (satu abad kemerdekaan). Jangan sampai satu abad Indonesia merdeka, kondisi bangsa justru memprihatinkan: mayoritas penduduk berpendidikan hanya SLTP, orang miskin tertutup aksesnya terhadap pendidikan, universitas-universitas top (center of excellence) hanya diisi orang-orang berduit, dan masyarakat terdidik justru kehilangan identitas keindonesiaan. Kita butuh seorang menteri pendidikan yang mampu menggunakan pendidikan untuk membangun kepercayaan diri bangsa, bukan justru menyerahkan diri sebagai pangsa pasar kapitalis global, yang pada akhirnya justru membuat bangsa ini bergantung terus kepada bangsa-bangsa lain.
Selain dibutuhkan seorang Menteri Pendidikan yang visioner, secara kelembagaan juga perlu ada penataan agar praksis pendidikan tidak terpisah dari budaya. Pemisahan kebudayaan dari pendidikan selama ini, selain telah menjadikan kebudayaan sebagai produk semata--untuk dijual kepada wisatawan--telah berdampak pada praksis pendidikan yang kering, tidak memiliki roh, dan terjebak dalam persoalan manajerial belaka. Kegiatan persekolahan pun disterilkan melalui sertifikasi ISO 9001:2000 dengan mengabaikan aspek dialogis-pedagogis yang menjadi ciri pendidikan. Padahal, seperti diingatkan oleh Ki Hadjar Dewantara--peletak dasar sistem pendidikan nasional--pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Sedangkan perguruan (sekolah) adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan. Mensterilkan manajemen sekolah sama dengan manajemen perusahaan atau korporasi sama artinya dengan tidak menyemai benih-benih kebudayaan untuk masa depan bangsa.
Dalam dasar-dasar dan asas-asas pembaharuan pengajaran yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dkk--kelak menjadi dasar rumusan pasal pendidikan dan kebudayaan UUD 1945--dikatakan secara tegas bahwa pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan pada kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia menuju arah kebahagiaan hidup batin serta keselamatan hidup lahir. Dalam garis-garis adab kemanusiaan, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, pendidikan dan pengajaran bersendikan agama dan kebudayaan bangsa serta menuju arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat.
Berdasarkan pemikiran para pendiri bangsa tersebut, sejak awal Indonesia merdeka, pengelolaan pendidikan dan kebudayaan itu selalu menyatu dalam satu institusi, meskipun namanya beberapa kali mengalami perubahan. Untuk itu, mengembalikan nama Departemen Pendidikan Nasional menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (seperti semula) merupakan langkah bijak untuk menyelamatkan pendidikan sebagai usaha kebudayaan, maupun kebudayaan sebagai dasar dari pendidikan nasional. Melepaskan kebudayaan dari pendidikan sama saja mencabut roh pendidikan, sehingga pendidikan mati suri, tak memiliki roh sama sekali, dan kebudayaan pun terancam punah karena tidak ada penyemainya lagi. Sekolah, sebagai taman penyemai kebudayaan, hilang fungsinya karena direduksi pada persoalan mengejar ranking saja demi tercatat sebagai pemegang sertifikat ISO 9001:2000. Pada tingkat perguruan tinggi, perguruan-perguruan tinggi negeri terkemuka juga lupa mengembangkan kebudayaan. Sebaliknya, justru dengan alasan efisiensi, menghilangkan berbagai mata kuliah yang meningkatkan derajat kebudayaan bangsa, seperti pelajaran bahasa daerah, filsafat ilmu, filsafat kebudayaan, dan pelajaran seni. Mereka terfokus mengejar target mencapai predikat world class university (WCU).
Pemisahan pendidikan dari kebudayaan itu merugikan keduanya. Praksis pendidikan tanpa kebudayaan menjadi kering dan dangkal, kurang reflektif; sedangkan pengembangan kebudayaan tanpa pendidikan menjadi tidak terarah. Munculnya kasus polemik renovasi Situs Trowulan (Jawa Timur) beberapa waktu yang lalu, misalnya, lantaran karya budaya hanya dilihat dari satu sisi, yaitu bagaimana dikemas untuk menarik wisatawan. Bukan dilihat sebagai laboratorium sejarah yang amat kaya bagi anak bangsa, guna mengetahui sejarah perkembangan peradaban masa lalu. Kecenderungan semacam itu akan terus terulang bila kebudayaan tetap dipisahkan dari pendidikan. Sebab, bagaimanapun, karakter Dirjen Kebudayaan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akan tetap berbeda dengan karakter Dirjen Kebudayaan di bawah Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Pada yang pertama, pasti akan selalu dilihat kebudayaan dalam konteks pendidikan. Tapi, pada yang kedua, akan dilihat kebudayaan dalam konteks pariwisata, bagaimana dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan asing sebanyak-banyaknya. Yang satu sifatnya reflektif, yang kedua sifatnya performance.
Pentingnya kebudayaan melekat pada pendidikan itu mengingat kebudayaan, seperti dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah buah dari keadaban. Karena adab itu sifatnya keluhuran budi, semua kebudayaan atau kultur itu selalu bersifat tertib, indah, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang ada dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian, mengembalikan nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sama halnya mengembalikan pengelolaan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan dan dasar filosofis konstitusi kita (UUD 1945), yang di dalamnya diatur soal pendidikan dan kebudayaan dalam ranah yang sama. Membiarkan kebudayaan terpisah dari pendidikan akan membuat bangsa ini hidup tanpa makna.
Tulisan ini sudah dimuat KoranTempo, Jum'at 16 Oktober 2009.
|
Komentar
Posting Komentar