Langsung ke konten utama

Inspirasi Pedagogis "Profesor Kandang Ayam"

• Judul Buku: Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi • Penulis: Winarno Surakhmad • Penerbit: Penerbit Buku Kompas • Cetakan: Juli 2009 • Tebal: xxiv + 496 halaman • ISBN: 978-979-709-420-1

Oleh Darmaningtyas

Pendidikan di Indonesia ibarat buku yang bahasanya ruwet dan tidak keruan. Sejauh ini, kondisi pendidikan masih berputar-putar dari orbit kegagalan yang satu ke orbit kegagalan lainnya. Inilah tesis utama buku terbaru Profesor Winarno Surakhmad, seorang pendidik dan ahli pendidikan Indonesia. Sebenarnya, buku ini merupakan bunga rampai makalah yang pernah disampaikan ahli pendidikan (pedagog) yang mendapat julukan ”Profesor Kandang Ayam” di pelbagai forum sepanjang 2004-2008. Julukan itu diberikan karena puisinya yang mengkritik kondisi gedung sekolah yang reyot seperti kandang ayam.


Buku ini terdiri dari dua bagian. Pertama, ”Dari Orbit Kegagalan ke Orbit Keberhasilan”, terdiri dari 11 bab dan berisi kritik atas praksis pendidikan, mulai dari persoalan filosofi pendidikan, kebijakan, kurikulum, sampai pada usulan merevitaformasikan pendidikan nasional. Sementara bagian kedua, ”Memperjuangkan Sebuah Eksistensi” terdiri dari delapan bab, bicara tentang perjuangan profesi guru sebagai batu penjuru praksis pendidikan.
Tidak banyak terjadi pengulangan ide pada setiap babnya. Tepat catatan yang disampaikan editor buku ini bahwa terdapat benang konsistensi cara berpikir dan komitmen Pak Win—demikian Prof Dr Winarno biasa dipanggil—untuk memperjuangkan praksis pendidikan yang ideal. Gayanya pedas, keras, dan sarkastik mengkritik praksis penyelenggaraan pendidikan yang asal jalan. Melalui tulisan, Pak Win menunjukkan kecurangan ideologis dalam praksis pendidikan. Kritiknya didasarkan pada pengalaman sebagai pendidik, dari guru SD hingga menjadi guru besar (di IKIP Jakarta).
Prof Dr HAR Tilaar, kolega yang lebih dari 40 tahun berjuang bersama dan memberi pengantar buku ini, menuliskan bahwa Pak Win adalah seorang begawan pendidikan yang konsekuen dalam pendirian. Beliau mendambakan suatu sistem pendidikan nasional yang mengindonesiakan. (hal.xx).
Merasa resah

Pak Win resah terhadap kebijakan pendidikan yang dilihatnya telah menyeleweng dari spirit para bapak pendiri bangsa. Melalui tulisan berjudul ”Pendidikan Nasional: Panasea atau Plasebo”, Pak Win mengingatkan: bangsa ini harus sadar dan peduli bahwa apa yang sekarang disebut sebagai pendidikan dengan predikat nasional lebih banyak melahirkan masalah daripada melahirkan solusi.

Pendidikan nasional itu, panasea bukan, plasebo juga bukan. Maksudnya bukanlah obat sugesti untuk penyembuhan apalagi obat mujarab buat mengatasi patologi sosial semacam busung lapar. Murid, di sekolah usang, mempelajari pengetahuan kedaluwarsa dari guru dengan kompetensi lapuk, untuk mempersiapkan diri menjadi manusia usang.
Sifat hakiki dari sebuah pendidikan ialah bahwa pandangannya selalu tertuju ke masa depan. Pendidikan adalah potensi pembuat cetak biru masa depan yang dikehendaki dan direncanakan, bukan sekadar masa depan yang kebetulan dan tiba-tiba menyerbu. Pendidikan hari ini harus mampu mengembangkan segala potensi untuk generasi sekarang, tetapi tetap memungkinkan generasi berikutnya untuk lebih lanjut membangun masa depan mereka. Pendidikan hari ini adalah usaha membangun masa depan (hal 22-23).
Strategi pendidikan nasional, karena tidak menyantuni semangat hakiki, hasilnya adalah tragedi nasional. Pendidikan nasional hanya menggiring bangsa Indonesia pada tragedi nasional akibat kekurangmantapan kebijakan dan ketidakjelasan birokrasi serta pelaksana pendidikan yang kurang profesional.
Reformasi politik yang terjadi tahun 1998 yang semula diharapkan menjadi titik awal perbaikan pendidikan ternyata tidak membawa hasil. Banyak solusi yang ditawarkan ternyata melahirkan masalah baru, karena jalan pintas yang ditawarkan itu adalah sekadar meniru dari apa yang dijalankan oleh negara-negara lain yang sudah lebih dulu maju.

Krisis martabat

Di sisi lain, kurikulum yang menjadi instrumen bagi operasionalisasi ideologi pendidikan juga tidak menjawab persoalan. Kurikulum di jenjang SD hingga SMTA mencantumkan topik berbagai bidang studi secara rinci. Tugas pendidik sekadar mengangkat pokok bahasan demi pokok bahasan dan mengabarkan isi buku teks. Mutu hasil pembelajaran menjadi absurd karena yang dipakai sebagai ukuran hanyalah daya serap (kemampuan menghimpun pengetahuan minimal) yang diungkap lewat proses evaluasi hasil belajar bersifat artifisial, berupa ujian nasional.
Kurikulum yang menonjolkan otoritas dominan jelas tidak membebaskan siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang memupus bakat dan gairah siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu. Kurikulum tidak dilambari semangat pembebasan dengan pendekatan emansipatoris (menyantuni dan memberdayakan peserta didik) dan metode partisipatoris (penempatan peserta didik sebagai subyek belajar), tapi lebih banyak didasari semangat untuk meniru negara lain karena latah dalam jebakan globalisasi.
Pak Win selalu menekankan pentingnya pendidikan yang bermakna daripada bermutu. Sebagai contoh, kemampuan berbahasa Inggris secara fasih itu mencerminkan mutu pendidikan. Akan tetapi, kemampuan itu belum tentu bermakna bila setiap hari anak itu berkomunikasi dengan bahasa daerah.
Pada pemandangan lain, guru yang seharusnya menjadi ujung tombak perbaikan sistem juga tidak dapat diharapkan banyak. Mayoritas guru masih terhalang berkarya untuk menciptakan kehidupan yang berkualitas, terpasung dalam lingkungan kerja yang berbasis konvensional, masih diatur oleh birokrasi dengan paradigma status quo, serta masih terombang-ambing dalam gejolak yang tidak menentu. Wajar bila Pak Win pesimistis jika guru dapat diharapkan memanusiakan, membudayakan, dan mengindonesiakan anak bangsa, kalau guru pun tidak pernah menikmati diperlakukan demikian? (hal.143).

Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) yang semula diharapkan akan menjadi jawaban atas persoalan guru, setelah disahkan ternyata menyisakan banyak hal yang dirasakan oleh guru kurang terjawab. Sertifikasi guru misalnya, sebagai salah satu produk dari UUGD, dari sudut birokrasi merupakan gagasan yang baik, tapi sistem tersebut tidak akan berhasil apabila hanya menjadi instrumen untuk memonitor kinerja guru secara birokratis.

Dengan sertifikat di tangan, mestinya seorang guru diberikan pengakuan hak dan kewajiban untuk melaksanakan tugas profesional sebagai yang tertera dalam sertifikat. Tapi ternyata otonomi guru itu tidak ada. Guru terjebak untuk mengejar perolehan 24 jam mengajar dalam seminggu demi mengejar pembayaran tunjangan profesional.
Pendidikan yang usang ini menyebabkan bangsa Indonesia mengalami krisis martabat. Di sinilah relevansi pemikiran Profesor Winarno Surakhmat untuk disimak kembali. Seorang pedagog berjiwa nasionalis tulen yang bertekad hendak memulihkan martabat bangsa dengan membenahi pendidikan.

DARMANINGTYAS,Anggota Majelis Luhur Tamansiswa di Yogyakarta
(Resensi Buku ini dimuat Kompas Minggu, 18 Oktober 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.