DARMANINGTYAS
Penulis Buku Melawan
Liberalisasi Pendidikan
Pemisahan urusan pendidikan tinggi
(Dikti) dengan pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di era Pemerintahan
Joko Widodo (Jowoki) ini dimaksudkan untuk melakukan percepatan kemajuan di
Dikti melalui kegiatan riset
yang terkoneksi dengan industri. Namun perjalanan hampir dua tahun ini belum
ada tanda-tanda ke arah sana. Hal itu salah satunya karena Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) terjebak pada urusan
kuantitatif dan administratif. Kuantitatif dalam artian penambahan PTN/PTS baru, program studi baru, rasio dosen dengan
mahasiswa, dan sejenisnya. Sedangkan urusan administratif terkait dengan
banyaknya PTS abal-abal yang perlu ditertibkan.
Jebakan urusan administratif itu tidak
terlepas dari warisan masa lalu yang terlalu mudah memberikan izin pendirian
PTS. Pasca reformasi bermunculan PTS-PTS baru lebih dari 1.000 PTS, dengan
tanda disertai dengan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan, yaitu
standar kompetensi lulusan, isi, proses pembelajaran, dosen, prasarana dan
sarana, pengelolaan, pembiayaan, maupun standar penilaian pendidikan; sehingga
tepat disebut PTS abal-abal. Lebih dari 600 PTS yang sakit parah, dan lebih
dari 200 PTS telah dibekukan dengan berbagai alasan. Dugaan penulis, lebih 50%
dari 3100 PTS dalam kondisi tidak sehat sehingga layak untuk ditutup. Banyaknya
PTS abal-abal itu disebabkan birokrasi pendidikan tidak berjalan efektif,
terutama dalam hal pembinaan dan pengawasan.
Keberadaan Kopertis (Koordinator
Perguruan Tinggi Swasta) di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi pembina
dan pengawas PTS tampaknya tidak berfungsi. Mungkin lebih baik institusi itu
dibubarkan saja karena tidak ada manfaatnya.
Andaikan Kopertis itu berperan, tentu tidak akan muncul kampus
abal-abal, karena merekalah yang dekat secara fisik dengan kampus-kampus
tersebut, sehingga dengan mudah bisa melakukan pengawasan. Bila prasarana dan
sarana yang ada tidak laik untuk kampus, semestinya mereka tidak memberikan
rekomendasi untuk diberikan izin.
Namun karena Kopertis tidak berfungsi
efektif, akhirnya Menteri terjun langsung menertibkan kampus abal-abal
tersebut, sehingga energi Menristekdikti terkuras ke sana, tidak sempat membangun
grand design untuk pengembangan
Ristekdikti sepuluh tahun ke depan. Itu adalah cermin sesat pikir Kemenristek
Dikti. Penertiban kampus abal-abal semestinya cukup diserahkan ke Kopertis tidak
perlu sampai Menteri sendiri.
Sesat pikir lain adalah ketika upaya
meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi dilakukan dengan menegrikan
sejumlah PTS di Jawa yang akhirnya menambah beban APBN. Pembengkakkan jumlah
PTN dari 98 menjadi 128 PTN tentu menyedot anggaran yang tidak sedikit, dan
akhirnya mengorbankan kualitas. Yang kemudian terjadi adalah hak kaum miskin
untuk dapat menikmati PTN bermutu melalui Beasiswa Bidikmisi berkurang. Secara komulatif
jumlah penerima Beasiswa Bidikmisi tidak berkurang, tapi yang belajar di
PTN-PTN unggulan berkurang karena jumlah total mereka dibagi rata ke semua PTN,
termasuk PTN yang baru berdiri. Padahal, dengan kuliah di PTN terkemuka,
dimaksudkan orang miskin tersebut dapat melakukan mobilitas vertikal guna
memotong lingkaran kemiskinan mereka. Tapi dengan belajar di PTN-PTN yang baru
berdiri, anak-anak tersebut hanya dapat memenuhi tuntutan formalitas (kuliah)
saja, tapi belum tentu kualitas.
Sesat mikir lain yang kontradiktif
dengan tujuan pemisahan Dikti dengan Dikdasmen adalah ketika anggaran
penelitian di Dikti justru merosot. Bagaimana Dikti akan berkembang bila dana
riset terbatas? Dengan dana terbatas dan administrasi keuangannya yang kaku, tidak
mendorong akan mampu dosen untuk melakukan penelitian eksperimen maupun
inovasi. Kegiatan penelitian yang ada hanya sekadar pelengkap PT yang harus meneliti,
meskipun hasilnya cuma masuk ke keranjang sampah. Dengan dana penelitian yang
cair belakangan tapi harus dipertanggung jawabkan tepat waktu, mana mungkin
dosen dapat melaksanakan penelitian serius, pasti semua hanya demi memenuhi
prosedur saja. Penelitian di PT selamanya kita tidak akan pernah bermutu selama
kita masih dikuasai oleh rezim keuangan.
Sesat pikir Kemenristek Dikti yang
sungguh menyesatkan publik adalah ketika Kemenristek Dikti ini mengobral izin
pendirian Fakultas Kedokteran (FK) baru, baik di PTN maupun PTS, padahal
Kemenristik Dikti sudah tahu bahwa jumlah FK yang ada sudah dua kali lipat (69)
dari yang ideal (35). Data Kemenristek Dikti juga menunjukkan bahwa dari 69 FK
saat ini, yang terakreditasi A sebanyak 15 institusi saja, akreditas B sebanyak
29 institusi, sedangnya yang berakreditasi C sebanyak 21 institusi.
Kecuali itu, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Maret 2015 lalu
sudah menegaskan adanya moratorium pendidikan FK baru. Bahkan pernyataan Ketua
KKI Bambang Supriyanto tegas sekali, "Kalau ada yang buka baru maka itu
illegal!” Alasan KKI ini amat mendasar karena kata Bambang, ada lulusan FK yang
ingin mendapatkan surat tanda registrasi sebagai dokter, baru lulus setelah mengikuti
ujian yang ke-13 kali. Data Kemenristek Dikti juga menunjukkan bahwa,
berdasarkan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), terdapat
11 FK yang kelulusan mahasiswanya di bawah 50%, bahkan ada yang hanya 18-29%.
Jika Kemenristek Dikti sudah mengetahui
kualitas FK kita seperti itu, semestinya yang dilakukan terlebih dulu adalah
membenahi FK yang sudah ada agar yang berakreditasi B itu dapat menjadi A,
sedangkan yang berakreditasi C lebih baik ditutup saja. Tapi yang dilakukan
oleh Kemenristek Dikti justru mengobral izin baru pendirian FK untuk Universitas Khairun Ternate, Universitas
Surabaya, Universitas Ciputra Surabaya, Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Alauddin
Makasar, Universitas Bosowa Makassar, dan Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Melihat daftar nama-nama universitas yang memperoleh izin
pendirian FK baru tersebut tampaknya lebih didasarkan pada lobi-lobi atau kepentingan
lobi-lobi politik semata, bukan berdasarkan pertimbangan akademik. Sungguh
sesat bila Kemenristek Dikti yang seharusnya mengajari publik mengambil
keputusan berdasarkan nalar ilmiah, tapi justru memberikan contoh pengambilan
keputusan berdasarkan nalar politik. Implikasi etis dari obrol izin FK adalah akan melahirkan dokter-dokter yang
kurang kompeten, sehingga kecenderungan malpraktek tinggi, serta mahalnya biaya
kesehatan, karena kuliah di FK universitas swasta itu pasti mahal sehingga
setelah jadi dokter orientasinya adalah cepat mengembalikan modal. Semoga sesat
pikir Kemenristek Dikti ini tidak berlanjut, karena kalau berlanjut mending
kembali saja ke Pendidikan Dasar dan Menengah. Dikti haruslah mampu menjaga
akal sehat masyarakat melalui kebijakan-kebijakannya yang nalar, agar
masyarakat tetap sehat nalarnya.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus