Langsung ke konten utama

PRIVATISASI PTN YANG MEMBATASI AKSES


Harian Kompas medio Januar-Maret 2024 banyak menurunkan liputan maupun opini terkait akses pendidikan tinggi (PT) yang masih menjadi problem hingga sekarang, sehingga angka partisipasi pendidikan tinggi kita masih di bawah 40%. Salah satu penyebab utamanya adalah biaya PT secara keseluruhan yang dinilai mahal, baik di perguruan tinggi negeri (PTN), Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Adanya kendala biaya tersebut memunculkan wacana pemberian pinjaman pendidikan bagi mahasiswa (Kompas, 30/3. hal.10).

Biaya kuliah itu terbagi dua, yaitu biaya yang dibayarkan ke PT, baik biaya investasi maupun operasional atau dikenal dengan uang kuliah; serta biaya personal, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa sehari-hari, seperti makan, bayar kos, transportasi, pembelian laptop, paket internet, buku, dll.. Besaran uang kuliah di PTN/PTS reguler sebetulnya masih terjangkau karena per semesternya jauh dibawah uang sekolah di SMA/MA/SMK swasta. Namun yang tinggi justru biaya personal tadi. Saat ini, untuk dapat kuliah dengan sedikit tenang di wilayah Yogyakarta kebutuhan biaya personal minimal Rp. 1,5 juta sebulan. Jumlah itu dirasakan besar bagi golongan menengah kebawah. Kepemilikan laptop dan paket internet itu sekarang telah menjadi kebutuhan primer bagi seorang mahasiswa, sehingga harus diusahakan punya. Beda dengan mahasiswa 1990-an dan sebelumnya.

Upaya untuk membantu agar golongan miskin dapat melanjutkan ke PT, pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) diatasi dengan pemberian Beasiswa Bidik Misi. (BBM) yang diperuntukkan bagi murid SMA/MA/SMK berprestasi akademik tinggi namun secara ekonomi kurang mampu. Pemerintah tidak hanya menanggung uang kuliah saja, tapi juga biaya personalnya. Kendalanya saat itu besaran beasiswa untuk biaya personal terbatas dan kadang terlambat sehingga menyulitkan mahasiswa. Skema ini dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dengan mengubah nama menjadi Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK), namun prinsipnya sama.

Sayang, skema BBM maupun KIPK ini baru menyentuh satu segmen saja, yaitu kelompok Kuadran C (pintar tapi miskin) yang proporsinya di masyarakat sekitar 20% saja. Sedangkan segmen Kuadran D (miskin dan bodoh) yang proporsinya sekitar 40% belum tersentuh sama sekali oleh skema beasiswa manapun. Padahal, kalau kita meyakini pendidikan tinggi itu jalan tol menuju tangga eskalator (sosial ekonomi) yang cepat, harusnya kelompok Kuadran D ini yang perlu memperoleh perhatian khusus. Kelompok Kuadran B (kurang pintar tapi kaya) dan Kuadran A (kaya dan pintar) tidak memerlukan bantuan beasiswa, karena mereka akan dapat mengakses pendidikan tinggi di manapun yang mereka mau.

Hambatan akses masuk ke PTN/PTNBH bagi Kuadran D bukan hanya soal biaya saja, tapi juga sistem seleksinya yang cenderung tidak berpihak pada mereka, terutama yang  melalui jalur undangan dan mandiri. Jalur undangan amat memperhatikan rekam jejak sekolah (SMA/MA/SMK). Bila sekolah tersebut memiliki rekam jejak muridnya banyak diterima di PTN, maka probabilitas untuk diterima lebih tinggi. Sementara kelompok Kuadran D itu, karena kemiskinan dan ketidak-pintarannya, mereka bersekolah di SMA/MA/SMK swasta pinggiran yang tidak memiliki rekam jejak bagus. Paska kebijakan penerimaan murid baru berdasarkan sistem zonasi, mereka bisa bersekolah di SMA/MA/SMKN terdekat, tapi kalah dalam seleksi jalur undangan dengan kelompok Kuadran A dan C. Kelompok Kuadran B akan masuk ke PTN/PTNBH melalui jalur mandiri yang tingkat bayarnya lebih mahal. Sedangkan kelompok Kuadran D tidak mungkin masuk PTN lewat jalur mandiri. Mereka hanya punya satu peluang saja, yaitu jalur tes bersama. Apakah mereka (kelompok Kuadran D) itu tidak berhak kuliah yang dibiayai oleh negara? Itulah pertanyaan yang selalu menghantui penulis.

Skema pemberian beasiswa yang selalu mendasarkan pada nilai akademik semata memang melanggengkan ketidakadilan/ketimpangan secara struktural, karena kelompok Kuadran A dan B akan terus melesat jauh melalui PTN/PTNBH, dan disusul oleh kelompok Kuadran C, namun kelompok Kuadran D akan tetap tertinggal selamanya. Padahal, kehadiran PTN/PTNBH seharusnya berkontribusi mengurang ketimpangan tersebut,


Belajar dari KMI

Salah satu tawaran solusi yang sekarang tengah digagas oleh Pemerintah untuk meningkatkan akses ke pendidikan tinggi bagi kaum miskin adalah pemberian pinjaman pendidikan (student loan). Di kalangan pergerakan mahasiswa, student loan telah lama menjadi wacana diskusi. Setidaknya penulis sendiri pernah berbicara di depan Senat Mahasiswa Unpad dengan tema “Pendidikan Tinggi dan Wacana Kebijakan Student Loan” (28/11 2018). ToR seminar itu mengacu berita Kompas (1/8,18) yang menyatakan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia 2017 masih rendah, yaitu 31,75%, dan salah satu kendala terbesarnya adalah biaya pendidikan tinggi yang mahal. Isu dan solusinya masih sama.

Belajar dari  pengalaman negara-negara yang menerapkan student loan, dapat diketahui bahwa student loan bukan solusi yang tepat untuk mengatasi rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi maupun membantu kelompok Kuadran C dan D keluar dari lingkaran kemiskinan melalui pendidikan tinggi. Mengapa? Karena setelah lulus, penerima pinjaman akan terbebani utang pendidikan sehingga tidak sempat menata masa depan yang lebih baik.

Pemerintah juga telah memiliki pengalaman mengelola Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang muncul pada tahun 1982 saat Dr. Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuan KMI saat itu adalah untuk membantu mahasiswa di PTN yang tidak mampu agar cepat menyelesaikan skripsi sehingga dapat memperpendek masa kuliah menjadi 4-5 tahun, dari sebelumnya 7-9 tahun. Oleh karena itu, KMI hanya diperuntukkan bagi mahasiswa tingkat sarjana yang akan menyelesaikan tugas akhir. Besarnya KMI saat itu adalah Rp. 750.000,- untuk S1, Rp. 1,5 juta untuk S2, dan Rp. 2,5 juta untuk S3 dengan bunga 6%. Pelaksana KMI saat itu adalah Bank BNI 1946. Namun program ini distop pada akhir dekade 1990-an karena banyak peminjam yang tidak mengembalikan pinjaman.

Kegagalan dalam pengelolaan KMI ini melengkapi kegagalan pengelolaan student loan di banyak negara. Berdasarkan studi Chapman dan Lounkaew (2016), tingkat gagal bayar student loan di Amerika Serikat (14,7%), Kanada (13%), Thailand (53%), dan Malaysia (49%). Di negara-negara berkembang, tingkat gagal bayar kredit mahasiswa lebih tinggi dibandingkan di negara maju.

Student loan di Indonesia berpotensi gagal karena: tidak ada jaminan lulus sarjana mendapatkan kerja, gaji sarjana baru (bahkan lama) hanya cukup untuk biaya hidup seorang diri sehingga tidak mampu mencicil angsuran bank, data kependudukan belum sepenuhnya clear, sehingga belum mampu menjadi dasar penelusuran alamat peminjam dengan mudah; dan sistem perbankan kita belum bisa melakukan pemotongan langsung atas tunggakan kredit tanpa ada pesertujuan terlebih dulu dengan nasabah.


Stop Privatisasi PTN

Berdasarkan pengamatan dua dekade terakhir, setelah dimulainya privatisasi PTN menjadi PTNBH (sebelumnya bernama PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara), yaitu bermula dari UGM, UI, IPB, dan ITB pada tahun 2000; terlihat sekali kecenderungannya bahwa privatisasi PTN itu menjadi pangkal makin terbatasnya akses masuk ke PTN bagi golongan miskin. Sebab uang kuliah semakin mahal sebagai konsekuensi makin berkurangnya subsidi dari negara. Terbukti di lapangan, universitas besar seperti UI saja, setelah diprivatisasi, 60% sumber pendanaannya dari mahasiswa, 20% dari subsidi Pemerintah, dan sektor swasta hanya 20% saja. Pendapatan dari sektor swasta bagi PTNBH yang lebih kecil dari UI, tentu lebih kecil lagi. Oleh karena pendapatan dari sektor swasta kecil dan subsidi dari Pemerintah berkurang, maka beban besar itu dialihkan ke mahasiswa. Itu konsekuensi logis dari privatisasi PTN.

Sampai awal 2000-an Fakultas Kedokteran (FK) itu masih terjangkau oleh anak seorang guru SD, namun sekarang tidak terjangkau lagi, karena uang kuliahnya tinggi sekali. Seorang kawan yang menjadi pengurus persatuan orang tua mahasiswa FK di suatu PTNBH menuturkan, bahwa 75% mahasiswa FK itu adalah berasal dari keluarga dokter, karena hanya mereka yang mampu membayar uang kuliah tinggi. Wajar bila setelah lulus enggan ditempatkan ke daerah. Privatisasi itu pula yang mendorong PTNBH menyelenggarakan ujian masuk lewat jalur mandiri yang dasar penerimaannnya pada kemampuan membayar. Pola ini sekarang diikuti oleh semua PTN.

Mengingat privatisasi PTN itu menjadi akar masalah pembatasan akses ke PTN, maka solusi strategisnya untuk meningkatkan angka partisipasi PT dan mengantarkan kelompok Kuadran C dan D melakukan mobilitas vertikal melalui PT adalah menyetop privatisasi PTN. Tidak semua PTN diprivatisasi menjadi PTNBH. Hanya PTN-PTN yang secara istitusional mampu mencari sumber-sumber pendanaan dari sektor swasta lah yang layak diprivatisasi. Dan sayang, belum terbukti ada PTNBH yang mampu menggali sumber-sumber pendanaan dari swasta secara signifikan.Akhirnya, privatisasi PTN identic dengan uang kuliah mahal.

Pinjaman Pendidikan (student loan) itu bukan solusi strategis, karena hanya mengatasi permasalahan finansial perorangan dengan menimbulkan persoalan baru untuk membayar angsuran pinjaman. Jebakan student loan, baik yang menggunakan tenor waktu maupun berbasis pendapatan akan membuat mahasiswa yang tidak mampu tadi tetap dalam lingkaran kemiskinan. Mereka memang lulus dari PT, tapi tidak lolos dari lingkaran kemiskinan. Padahal, misi meningkatkan angka partisipasi PT adalah untuk mengantarkan warga mencapai jenjang kehidupan yang lebih baik.

Kecuali menghentikan proses privatisasi PTN, mekanisme seleksi masuk ke PTN/PTNBH juga perlu dikembalikan seperti dulu, yaitu 80% lewat jalur tes Bersama agar setiap lulusan SMA/MA/SMK punya peluang yang sama untuk diterima di PTN/PTNBH tanpa melihat rekam jejak sekolahnya. Orang seperti Presiden Jokowi kalau lulus SMA sekarang, mungkin tidak bisa masuk ke UGM karena berasal dari sekolah yang baru berdiri.

Alternait lain adalah untuk membuka akses bagi kelompok Kuadran D adalah dengan mengembangkan Akademi Komunitas seperti diamanatkan dalam UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti) pasal 59 ayat (7), yaitu PT yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memeuhi kebutuhan khusus. Semangat UU Dikti adalah Akademi Komunitas itu berdiri di setiap Kabupaten/Kota untuk memberikan kesempatan kepada para lulusan SMK/SMA/MA meningkatkan kompetensi teknis yang diperlukan oleh pasar tebaga kerja.

Mekanisme lain yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah mendorong agar PTN/PTNBH/PTS memberikan pinjaman laptop kepada mahasiswa tidak mampu agar mereka dapat mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugasnya secara lancer, serta menyediakan akses internet yang cukup di lingkungan kampus, sehingga dapat mengurangi beban biaya personal mahasiswa. Bagaimana mekanisme peminjaman laptop itu memerlukan tata kelola tersendiri, sama seperti tata Kelola peminjaman buku perpustakaan, hanya beda wujud dan waktu yang lebih lama saja. Alternatif-alternatif itu mungkin lebih solutif dibandingkan dengan menerapkan student loan.

KI DARMANINGTYAS

PENULIS BUKU MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN

Dimuat di kompas.id, 16 April 2024

 

Komentar

  1. Memang benar bahwa ekonomi atau uang menjadi salah satu penghambat bagi para anak-anak di luar sana. DItambah lagi dengan harga memasuki perguruan tinggi. Untuk kalangan bawah memang benar mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun bagaimana dengan kalangan menengah yang mampu tapi terkadang harga yang diberikan juga cukup mahal.
    https://shintalya.blogspot.com/2024/08/resume-unveiling-nexus-of-leadership.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.