Salah satu kampanye melawan Covid-19 adalah dengan melaksanakan protokol kesehatan berupa memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak. Bila kita yakin protokol itu merupakan senjata ampuh, mengapa pengelola kampus tidak berani melakukan kuliah tatap muka dengan menjalankan protokol secara ketat? Bila khawatir di dalam kelas, kuliah bisa dilakukan di luar kelas, misalnya.
Kebijakan pimpinan perguruan tinggi yang tidak berani melaksanakan kuliah tatap muka adalah ironis dan irasional. Ironis karena orang-orang kampus seharusnya berpikir dan bersikap rasional, tapi ternyata mereka dicekam oleh ketakutan yang berlebihan terhadap pandemi Covid-19. Irasional karena dari kampus pula, terutama para ahli kesehatan, yang memberikan masukan kepada pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan, tapi mereka tidak mampu meyakinkan pimpinan kampus untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat.
Pimpinan perguruan tinggi juga tidak berani melaksanakan kuliah tatap muka sebelum ada lampu hijau dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan. Lantas, di mana otonomi kampus bila mengambil keputusan terbaik bagi kampusnya sendiri saja mereka tidak berani. Para pengelola kampus jauh lebih paham kampusnya cukup aman atau tidak untuk melaksanakan kuliah tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat. Pertimbangan itu dapat diperoleh dari para ahli yang ada di kampus-kampus tersebut.
Banyak kerugian yang dirasakan oleh mahasiswa, dosen, maupun negeri ini bila tidak ada kejelasan kapan kuliah tatap muka akan dimulai. Pertama, dari aspek kualitas pendidikan, kita akan mengalami penurunan kualitas satu generasi, dari yang sekarang duduk di bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bagi mereka yang saat ini duduk di bangku kuliah, kualitas mereka tidak dapat dibandingkan dengan mahasiswa yang kuliah sebelum masa pandemi. Adapun mereka yang sekarang duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, kualitas mereka saat kuliah akan mengalami distorsi akibat tidak tuntasnya pemahaman terhadap pelajaran-pelajaran sebelumnya.
Kedua, munculnya ketegangan laten antara mahasiswa dan pihak rektorat, terutama perihal hak dan kewajiban masing-masing. Mahasiswa merasa diperlakukan tidak adil karena mereka wajib membayar uang kuliah secara penuh, tapi hak yang mereka terima amat minimal. Sebaliknya, kampus menganggap wajar saja mahasiswa membayar penuh karena biaya operasional kampus tetap tinggi meski tidak ada pembelajaran tatap muka.
Ketiga, terlalu lamanya tidak ada kegiatan di kampus akan menyebabkan ekosistem kampus mati. Kampus hanya berupa gedung-gedung yang megah tanpa kehidupan akademis di dalamnya. Padahal, kehidupan dari civitas academica itulah yang menandai kehidupan kampus. Karena itu, terasa mendesak sekali untuk mengembalikan kehidupan kampus penuh dengan dinamika agar kampus tidak hanya berupa bangunan fisik, tapi juga memiliki atmosfer intelektualitas. Boleh jadi, melalui dialog langsung secara intens dengan berbagai disiplin ilmu ditemukan solusi cerdas untuk keluar dari maupun mengakhiri masa pandemi Covid-19.
Keempat, kehidupan kampus yang kembali bersemarak juga akan dirasakan oleh masyarakat sekitar kampus. Kegiatan ekonomi rakyat di sekitar kampus secara otomatis akan bangkit kembali, sehingga dapat menyelamatkan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Untuk itulah ditunggu keberanian pimpinan kampus untuk mengambil kebijakan dalam melaksanakan kuliah tatap muka selekas mungkin.
Ki Darmaningtyas
Aktivis pendidikan Tamansiswa
Dimuat di Koran Tempo 20 November 2020
https://koran.tempo.co/read/opini/459951/mengembalikan-kehidupan-kampus
Komentar
Posting Komentar