Oleh : DARMANINGTYAS
Masuknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) ke Indonesia merupakan keniscayaan yang sulit ditolak karena itu bagian dari sejarah panjang liberalisasi pendidikan (tinggi), terutama paska reformasi politik 1998. Pada masa Orde Baru (Orba) keinginan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Orgaisation for Economic Co-operation Development) untuk membuka bisnis jasa pendidikan di Indonesia mengalami hambatan regulasi. Tapi paska reformasi politik (22 Mei 1998), regulasi sektor pendidikan mengalami perubahan, makin liberalistik dan kapitalistik.
Paska reformasi, Pemerintahan transisi BJ Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. PP ini kemudian menjadi dasar pembuatan PP No. 152, PP No. 53, PP No. 54, dan PP No. 55, kesemuanya tahun 2000 yang menjadikan UI, UGM, IPB, dan ITB sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang dari segi pembiayaannya menjadi mahal, karena dituntut untuk lebih mandiri dari segi pendanaan, sementara belum ada sumber pendapatan lain, kecuali SPP mahasiswa.
Lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang merupakan revisi terhadap UU Sisdiknas No. 2/1989 memberikan payung hukum yang kuat bagi pendidikan asing (semua tingkatan) untuk beroperasi di Indonesia, seperti diatur dalam pasal 64 dan 65. Dengan diaturnya lembaga pendidikan asing ke dalam UU Sisdiknas tersebut, otomatis kehadiran pendidikan (tinggi) asing ke wilayah NKRI menjadi legal.
Payung hukum yang semakin kuat semula diharapkan dapat diperoleh dari UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), namun karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka urung. Hilangnya UU No. 9/2009 kemudian digantikan oleh kehadiran UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
Pasal 90 UU PT ini menjadi landasan yang kuat bagi penyelenggaraan PTA di Indonesia. Bunyi ayat 1-4 pasal 90 tersebut antara lain: (1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksudkan sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya; (3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memperoleh izin Pemerintah; b. berprinsip nirlaba; c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
Sebetulnya pasal 50 UU PT secara implisit juga dapat menjadi payung hukum bagi PTA ke Indonesia. Pasal 50 ayat (3) berbunyi “kerja sama internasional mencakup bidan Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat”. Sedangkan ayat (4) “Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui: a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu; b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri”.
Implementasi dari ayat (3) dan (4) tersebut adalah penyelenggaraan perguruan tinggi secara bersama antara PT nasional dengan PTA. Ini artinya PTA dapat melakukan proses pembelajaran, penelitian, dan mengabdian masyarakat di Indonesia asal bekerjasama dengan PT nasional. Persyaratan ini tidak terlalu sulit untuk dipenuhi bagi penyelenggara PTA yang ingin sekali membuka cabang di Indonesia.
Pengembangan Wilayah
Penulis sebetulnya dalam posisi menolak kehadiran perguruan tinggi asing (PTA). Sejak pembahasan RUU Sisdiknas hingga RUU PT, penulis menolak masuknya pasal tentang pendidikan asing di Indonesia, karena sejak awal menyadari sepenuhnya bahwa masuknya pendidikan asing ke Indonesia itu adalah proses kolonialisasi ekonomi gaya baru, ketika proses kolonialisasi dengan senjata tidak zamannya lagi. Proses kolonialisasi itu telah berlangsung lama dan halus, dimulai dengan menggeser pendidikan dari ranah UNESCO menjadi ranah WTO (World Trade Organization). Ketika pendidikan telah masuk ke ranah WTO, maka konsekuensi logisnya menjadi komoditas yang diperdagangkan. Oleh karena itu, tema “investasi” pendidikan menjadi tema yang menonjol sejak akhir abad ke-20.
Meskipun posisi penulis jelas menolak, namun karena kehendak memasukkan pendidikan asing, dimulai dari Perguruan Tinggi Asing (PTA) tidak dapat dibendung lagi, apalagi bila pucuk pimpinan sudah memberikan lampu hijau agar regulasi yang tidak mendukung direvisi, maka masuknya asing ke dalam sektor pendidikan itu tidak terelakkan lagi, sehingga yang diperlukan sekarang adalah exit strategy-nya agar kehadirannya tidak memperlebar kesenjangan pendidikan antara golongan mampu dan tidak mampu.
Penulis sependapat dengan Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP PTSI) Prof. Dr. Thomas Suyatno agar PTA yang masuk ke Indonesia tidak direct invesment, artinya kepemilikan penuh oleh asing harus dihindari, tapi perlu ada sharing dengan PTN/PTS agar Pemerintah RI memiliki legitimasi yang untuk melakukan kontrol bila suatu saat PTA tersebut merugikan bangsa dan negara.
Penulis juga sepakat dengan gagasan Kemenristek Dikti untuk membuat Kawasan Khusus Pendidikan (KKP) guna mendukung pengembangan PTA ini. KKP ini menurut hemat penulis justru tepat dibuat di luar Jawa dan Bali. Pilihan yang dekat dengan Jawa dan tengah-tengah adalah Kalimantan. Karena ada bererapa PTA yang akan masuk ke Indonesia, maka dapat disebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, dan Barat; sehingga dapat memacu perkembangan daerah tersebut lebih cepat lagi.
Pilihan lokasi di luar Jawa sama sekali tidak akan mematikan PTN/PTS setempat karena beda segmen. Penulis sependapat dengan Dirjen Kelembagaan Kemenristek Dikti, Dr. Patdono Suwignjo bahwa yang akan masuk ke PTA itu nanti amat segmented, mengingat yang boleh masuk ke Indonesia adalah PT yang termasuk dalam ranking maksimal ke-200 di dunia, yang di tempat asalnya sana mungkin biaya kuliahnya mencapai $US 10.000 – 15.000 per semester. Jika diselenggarakan di Indonesia lalu mahasiswa cukup membayar $US 5.000 – 6.000 per semester, maka siapa yang akan masuk ke sana? Tentu mereka yang selama ini mengirimkan anak-anaknya untuk sekolah ke luar negeri, sehingga tidak akan berpengaruh animo untuk masuk ke PTN/PTS lokal.
Sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah dapat menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain. Semoga kewenangan tersebut dimanfaatkan secara baik dengan memberikan izin kepada PTA untuk membuka di Kalimantan atau Sulawesi agar kehadiran PTA itu dapat memacu pembangunan wilayah di Kalimantan dan Sulawesi. Jika PTA itu berkualitas, maka tentu akan diburu oleh orang-orang berduit dari Jawa untuk menyekolahkan anaknya ke lurr Jawa, sehingga akan turut memacu pertumbuhan wilayah di luar Jawa, baik ekonomi maupun infrastrukturnya. Jika PTA itu di Jawa saja, maka selain merusak persaingan dengan PTN/PTS papan atas, juga makin memperlebar kesenjangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. Oleh karena itulah Pemerintah perlu bertindak cerdas dengan menjadikan kehadiran PTA itu sebagai momentum mempersempit kesenjangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa serta mendorong pengembangan wilayah di luar Jawa. Jika itu yang terjadi, maka kehadiran PTA itu membawa berkah bagi pembangunan wilayah di luar Jawa, bukan bencana bagi negeri ini. Sebaliknya, membiarkan PTA ada di Jawa, akan menimbulkan bencana berlipat-lipat.
Darmaningtyas, Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) di Yogyakarta.
Dimuat di Beritagar Jumat 23 Maret 2018
trims untuk artikelnya...
BalasHapusmantap, terimakasih artikelnya ijin dibaca
BalasHapusawesome
info menarik nih
BalasHapus