Oleh : DARMANINGTYAS
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 16/3 2017
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY) berencana akan melarang operasional angkutan yang berbasis aplikasi, baik taxi maupun ojek online. Langkah ini di satu sisi merupakan bentuk ketegasan sikap Pemprov DIY terhadap menjamurnya angkutan online di wilayah DIY yang telah menggusur angkutan resmi, tapi di sisi lain bentuk kemunduran, mengingat teknologi itu makin hari tambah maju dan membawa kemudahan bagi umat manusia.
Sepuluh tahun lalu kita beli tiket pesawat terbang atau kereta api (KA) harus ke agen atau stasiun, tapi sekarang kita bisa beli tiket dari tempat tidur atau toko Alfa/Indomart yag ada di sekitar kita. Dahulu kalau akan terbang harus bawa tiket dicetak kertas, sekarang tiket bisa disimpan di HP. Intinya, teknologi dalam bidang transportasi itu memudahkan dan meringankan hidup kita. Oleh karena itu, masyarakat, terlebih bila pemerintah menolak kehadiran teknologi dalam bidang transportasi, jelas, suatu kemunduran dan berlawanan dengan kodrat teknologi.
Pemakaian teknologi di dalam bidang transportasi itu memberikan kemudahan, kepastian, dan efisiensi waktu kepada para pengguna jasa transportasi. Perkembangan teknologi yang seperti itu tidak mungkin terelakkan lagi. Mereka yang resisten terhadap perkembangan teknologi akan ketinggalan. Hanya mereka yang mampu menyesuaikan perkembangan teknologi yang akan menang dalam persaingan. DIY dikenal sebagai daerah tujua pendidikan, pariwisata, dan budaya. Juga memiliki universitas yang terkemuka di negeri ini (UGM). Tentu saja akan menjadi tertawaan dunia bila operasional angkutan online dilarang di Pemprov DIY. Yang dibutuhkan sebetulnya bukan pelarangan, tapi pengaturan agar keberadaan aplikasi tekonologi dalam transportasi itu tidak mematikan usaha transportasi yang resmi.
Beda Taxi dan Ojek
Ada dua jenis moda transportasi umum yang dalam pencarian penumpangnya dengan menggunakan aplikasi teknologi, yaitu yang menggunakan roda empat –yang oleh publik disebut taxi online—dan menggunakan sepeda motor yang umum mengenalnya Gojek, Grab, dan Uber. Keduanya itu lebih tepat disebut angkutaan ilegal karena tidak diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan turunannya. Yang oleh publik disebut “taxi online” itu tidak ubahnya taxi gelap, yang membedakannya adalah cara mencari penumpang dengan menggunakan aplikasi teknologi. Oleh sebab itu, dikhotominya yang tepat bukan “taxi konvensional” versus “taxi online”, melainkan taxi legal versus taxi illegal. Dikhotomi “taxi konvensional” versus “taxi online kurang tepat karena yang disebut konvensional pun di Jakarta ada yang menggunakan aplikasi teknologi. Dikhotomi taxi legal versus illegal lebih tepat karena yang satu diregulasi dan yang lain tidak.
Pilihan masyarakat lebih ke taxi illegal karena banyak kemudahan: mudah diakses (kapan saja perlu), dari mana saja (rumah, kantor, restoran, dll), tarif sudah pasti diketahui sebelum berangkat dan lebih murah, serta bisa memprediksi kondisi jalan karena memakai GPS (Global Position System), serta tidak dibatasi oleh jarak. Pada taxi legal, aksesnya justru susah. Penulis, dan juga pengalaman sejumlah kawan, sering batal mendapatkan taxi legal karena selalu dikatakan sedang kosong. Jumlah tarif yang harus dibayar pada saat naik taxi legal juga baru ketahuan setelah sampai tujuan. Bagi wisatawan yang uangnya cekak ini merepotkan. Besar kecilnya tarif amat tergantung pada kondisi jalan (macet/tidak). Taxi legal juga sering tidak mau misalnya menjemput ke Ngemplak, Sleman meski dijelaskan argonya ditanggung. Tapi taxi illegal mau menjemput di mana saja. Inilah yang menyebabkan taxi illegal disukai penumpang dan kemudian menimbulkan kecemburuan pada taxi legal. Tapi melarang taxi illegal dengan alasan menimbulkan konflik horizontal dengan taxi legal adalah kurang tepat.
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang diharapkan dpat menjadi solusi atas persoalan di lapangan. PM No. 32/2016 tersebut mengakomodasi kehadiran taxi illegal agar menjadi legal seperti dipersyaratkan dalam pasal 22, 23, dan 41. Sayang, PM yang harusnya sudah diimplementasikan per Oktober 2016 lalu sekarang justru sedang direvisi. Jika PM tersebut dilaksanakan, maka Pemprov DIY tidak perlu melarang beroperasinya taxi illegal, tapi mengaturnya. Sebaliknya taxi legal pun perlu berbenah diri agar dapat memberikan pelayanan yang apple to apple dengan taxi illegal –yang dalam revisi PM No. 32/2016 disebut Angkutan Sewa Khusus.
Sedangkan ojek sepeda motor baik yang mangkal atau ojek pangkalan (Opang) maupun yang menggunakan aplikasi teknologi , seperti Gojek, Grab, dan Uber, dilihat dari regulasinya sama-sama illegal karena tidak termasuk dalam moda angkutan umum seperti dipersyaratkan pasal 141 UU LLAJ, yaitu memenuhi aspek keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. Oleh karena sama-sama illegal, jika Gojek, Grab, dan Uber dilarang, maka Opang semestinya juga dilarang. Jika Opang dipertahankan, maka ojek dengan menggunakan aplikasi teknologi juga harus dipertahankan. Itu baru fair. Melarang angkutan taxi illegal dan ojek online bukanlah solusi mengikuti kondisi transportasi umum di DIY sebagai daerah tujuan wisata, pendidikan, dan kebudayaan jauh dari memadai. Satu-satunya angkutan umum yang ada hanya Transjogja tapi selain jumlah busnya terbatas, jalurnya juga mutar-mutar, sehingga sangat tidak efisien.
Darmaningyas, Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) di Jakarta
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 16/3 2017
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY) berencana akan melarang operasional angkutan yang berbasis aplikasi, baik taxi maupun ojek online. Langkah ini di satu sisi merupakan bentuk ketegasan sikap Pemprov DIY terhadap menjamurnya angkutan online di wilayah DIY yang telah menggusur angkutan resmi, tapi di sisi lain bentuk kemunduran, mengingat teknologi itu makin hari tambah maju dan membawa kemudahan bagi umat manusia.
Sepuluh tahun lalu kita beli tiket pesawat terbang atau kereta api (KA) harus ke agen atau stasiun, tapi sekarang kita bisa beli tiket dari tempat tidur atau toko Alfa/Indomart yag ada di sekitar kita. Dahulu kalau akan terbang harus bawa tiket dicetak kertas, sekarang tiket bisa disimpan di HP. Intinya, teknologi dalam bidang transportasi itu memudahkan dan meringankan hidup kita. Oleh karena itu, masyarakat, terlebih bila pemerintah menolak kehadiran teknologi dalam bidang transportasi, jelas, suatu kemunduran dan berlawanan dengan kodrat teknologi.
Pemakaian teknologi di dalam bidang transportasi itu memberikan kemudahan, kepastian, dan efisiensi waktu kepada para pengguna jasa transportasi. Perkembangan teknologi yang seperti itu tidak mungkin terelakkan lagi. Mereka yang resisten terhadap perkembangan teknologi akan ketinggalan. Hanya mereka yang mampu menyesuaikan perkembangan teknologi yang akan menang dalam persaingan. DIY dikenal sebagai daerah tujua pendidikan, pariwisata, dan budaya. Juga memiliki universitas yang terkemuka di negeri ini (UGM). Tentu saja akan menjadi tertawaan dunia bila operasional angkutan online dilarang di Pemprov DIY. Yang dibutuhkan sebetulnya bukan pelarangan, tapi pengaturan agar keberadaan aplikasi tekonologi dalam transportasi itu tidak mematikan usaha transportasi yang resmi.
Beda Taxi dan Ojek
Ada dua jenis moda transportasi umum yang dalam pencarian penumpangnya dengan menggunakan aplikasi teknologi, yaitu yang menggunakan roda empat –yang oleh publik disebut taxi online—dan menggunakan sepeda motor yang umum mengenalnya Gojek, Grab, dan Uber. Keduanya itu lebih tepat disebut angkutaan ilegal karena tidak diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan turunannya. Yang oleh publik disebut “taxi online” itu tidak ubahnya taxi gelap, yang membedakannya adalah cara mencari penumpang dengan menggunakan aplikasi teknologi. Oleh sebab itu, dikhotominya yang tepat bukan “taxi konvensional” versus “taxi online”, melainkan taxi legal versus taxi illegal. Dikhotomi “taxi konvensional” versus “taxi online kurang tepat karena yang disebut konvensional pun di Jakarta ada yang menggunakan aplikasi teknologi. Dikhotomi taxi legal versus illegal lebih tepat karena yang satu diregulasi dan yang lain tidak.
Pilihan masyarakat lebih ke taxi illegal karena banyak kemudahan: mudah diakses (kapan saja perlu), dari mana saja (rumah, kantor, restoran, dll), tarif sudah pasti diketahui sebelum berangkat dan lebih murah, serta bisa memprediksi kondisi jalan karena memakai GPS (Global Position System), serta tidak dibatasi oleh jarak. Pada taxi legal, aksesnya justru susah. Penulis, dan juga pengalaman sejumlah kawan, sering batal mendapatkan taxi legal karena selalu dikatakan sedang kosong. Jumlah tarif yang harus dibayar pada saat naik taxi legal juga baru ketahuan setelah sampai tujuan. Bagi wisatawan yang uangnya cekak ini merepotkan. Besar kecilnya tarif amat tergantung pada kondisi jalan (macet/tidak). Taxi legal juga sering tidak mau misalnya menjemput ke Ngemplak, Sleman meski dijelaskan argonya ditanggung. Tapi taxi illegal mau menjemput di mana saja. Inilah yang menyebabkan taxi illegal disukai penumpang dan kemudian menimbulkan kecemburuan pada taxi legal. Tapi melarang taxi illegal dengan alasan menimbulkan konflik horizontal dengan taxi legal adalah kurang tepat.
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang diharapkan dpat menjadi solusi atas persoalan di lapangan. PM No. 32/2016 tersebut mengakomodasi kehadiran taxi illegal agar menjadi legal seperti dipersyaratkan dalam pasal 22, 23, dan 41. Sayang, PM yang harusnya sudah diimplementasikan per Oktober 2016 lalu sekarang justru sedang direvisi. Jika PM tersebut dilaksanakan, maka Pemprov DIY tidak perlu melarang beroperasinya taxi illegal, tapi mengaturnya. Sebaliknya taxi legal pun perlu berbenah diri agar dapat memberikan pelayanan yang apple to apple dengan taxi illegal –yang dalam revisi PM No. 32/2016 disebut Angkutan Sewa Khusus.
Sedangkan ojek sepeda motor baik yang mangkal atau ojek pangkalan (Opang) maupun yang menggunakan aplikasi teknologi , seperti Gojek, Grab, dan Uber, dilihat dari regulasinya sama-sama illegal karena tidak termasuk dalam moda angkutan umum seperti dipersyaratkan pasal 141 UU LLAJ, yaitu memenuhi aspek keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. Oleh karena sama-sama illegal, jika Gojek, Grab, dan Uber dilarang, maka Opang semestinya juga dilarang. Jika Opang dipertahankan, maka ojek dengan menggunakan aplikasi teknologi juga harus dipertahankan. Itu baru fair. Melarang angkutan taxi illegal dan ojek online bukanlah solusi mengikuti kondisi transportasi umum di DIY sebagai daerah tujuan wisata, pendidikan, dan kebudayaan jauh dari memadai. Satu-satunya angkutan umum yang ada hanya Transjogja tapi selain jumlah busnya terbatas, jalurnya juga mutar-mutar, sehingga sangat tidak efisien.
Darmaningyas, Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) di Jakarta
Komentar
Posting Komentar