Oleh : DARMANINGTYAS
Aktivis Pendidikan di Tamansiswa
Masalah pemilihan rektor di Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) tiba-tiba muncul menjadi isu public, terutama setelah
munculnya isu suap pada pemilihan rektor di sejumlah PTN yang diadukan ke
Ombudsman. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti)
M. Nasir pun berencana ingin merevisi regulasi mengenai pemilihan rektor di PTN.
Salah satu pedoman untuk melakukan
pemilihan rektor adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)
Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh
Pemerintah. Permendikbud tersebut mengatur mengenai persyaratan dan prosedur
pemilihan rektor dari proses penjaringan sampai terpilih. Namun yang menjadi
masalah sesungguhnya khusus Pasal 7 butir (e) yang menyatakan: “Pemilihan
Rektor/Ketua/Direktur dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan
ketentuan: (1). Menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari
total pemilih; dan (2). Senat memiliki 65% (enam puluh lima persen) hak suara
dan masing-masing anggota Senat memiliki hak suara yang sama.
Suara Menteri sebesar 35% itu dinilai
sebagai sumber masalah, karena amat menentukan seseorang dapat terpilih menjadi Rektor di PTN. Dalam banyak
kasus, calon rektor yang mendapat suara terbanyak di Senat, tidak otomatis
menjadi rektor, semua amat tergantung pada suara Menteri. Oleh karena suara
Menteri amat menentukan, maka setiap proses pilihan rektor di PTN, diperlukan lobi
ke Menteri. Sangat mungkin, bagi mereka yang amat berambisi menjadi rektor,
lobi itu disertai dengan uang suap pada orang-orang yang dianggap dipercaya
oleh Menteri. Tapi bagi mereka yang berfikir rasional, bahwa rektor itu jabatan
akademis, bukan jabatan politik, mereka tidak akan menyuap, karena darimana
uang itu diperoleh?
Permendikbud No. 33/2012 tersebut lahir Mei
2012, sebelum ada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Dalam
UU PT, Pasal 62 ayat (1) disebutkan: “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma”.
Sedangkan Pasal 64 menyebutkan: (1) Otonomi pengelolaan PT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik; (2). Otonomi
pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi norma
dan kebijakan operasional, serta pelaksanaan Tridharma; (3). Otonomi pengelolaan
di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi penetapan norma
dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organsiasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasana. Pilihan rektor itu masuk ke dalam pelaksanaan organisasi.
Dilematis
Memang ada ketidak-selarasan antara
semangat Permendikbud No. 33/2012 dengan Pasal 62 dan 64 UU PT. Adanya suara
Menteri 35% dalam Permendikbud No. 33/2012 seperti halnya tidak ada otonomi
nonakademik dalam pengelolaan PTN, karena dengan suara sebesar itu Pemerintah
melalui Menteri Ristek Dikti dapat melakukan intervensi terhadap pengelolaan
PTN. Namun, intervensi ini tidak sepenuhnya salah mengingat sebagian besar dana
PTN itu bersumber dari Negara. Meskipun demikian, tampaknya Kemenristek Dikti gamang
terhadap proses pemilihan rektor di PTN ini sehigga perlu merevisi regulasinya
agar tidak membuka celah untuk suap. Diharapkan, sebelum tutup tahun 2016
revisi sudah selesai.
Suap, apalagi di bidang pendidikan
tinggi, jelas memalukan, mengingat salah satu tugas pendidikan tinggi adalah
mencari kebenaran dan mencerdaskan masyarakat. Bagaimana peran tersebut dapat
dijalankan bila pimpinannya harus melakukan suap untuk dapat dipilih menjadi
rektor? Jadi suap atau korupsi dalam pemilihan rektor mutlak harus dibasmi,
tapi membasminya tidak harus dengan merevisi regulasinya, melainkan mengubah
perilaku birokrasi di Kemenristek Dikti agar tidak terlibat dalam
penyuapan/korupsi.
Mencermati proses pemilihan rektor di
PTN-PTN kita yang tidak jarang penuh intrik, termasuk isu SARA pun dibawa,
sehingga jauh dari nuansa akademis yang lebih mengutamakan nalar rasional, bahkan
sebaliknya ada yang harus berlanjut ke pengadilan karena saling gugat, maka sebaiknya
Kemenristek Dikti perlu hati-hati dalam membuat regulasi pemilihan rektor. Substansi
pasal 7 butir (e) Permendikbud No. 33/2012 itu cukup dilematis. Di satu sisi, mempertahankan
suara Menteri yang 35% hanya untuk satu calon saja, terasa tidak adil dan itu
tidak sejalan dengan semangat otonomi perguruan tinggi. Tapi membagi suara
Menteri ke semua calon rektor secara merata, berarti hilangnya kontrol
Pemerintah terhadap jalannya PTN. Pilihan tersebut bukan tanpa bahaya,
sebaliknya dapat jauh lebih berbahaya untuk ketahanan nasional.
Bila kita mencermati kehidupan
kampus PTN saat ini, sesungguhnya bukan murni lagi sebagai lembaga pengajaran dan
riset, tapi semi politik. Intrik yang berkembang di kampus-kampus kita, bukan
terkait denga paradigma keilmuwan yang dianut oleh para akademisinya, melainkan
ambisi-ambisi politik untuk menguasai kampus sebagai ladang pembibitan kader-kader
organisasi maupun partai politik (Parpol). Tidak mengherankan billa kemudian
ada kampus PTN (bidang eksata lagi) lebih dikenal publik bukan karena risetnya
untuk kesejahteraan masyarakat, tapi karena afeliasinya dengan Parpol tertentu.
Bahkan mayoritas dosen maupun mahasiswanya pun dikenal sebagai basis kader
parpol tertentu. Jika itu meluas di kampus-kampus PTN kita, melalui mekanisme
apa Pemerintah bisa mengontrol jalannya PTN?
Kecenderungan kampus sebagai lembaga
semi politik itu bukan fenomena baru, tapi sudah lama ada, dan itulah yang mau
dicoba hilangkan oleh Dr. Daoed Joesoef pada saat menjadi Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (1978-1983) dengan menerapkan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus)
dan BKK (Badan Koordinasi Kampus). Sayang, langkah Doaed Joesoef itu ditentang
oleh para mahasiswa karena dianggap menyumbat aspirasi mahasiswa. Namun pada
akhirnya, kebijakan-kebijakan kampus paska reformasi justru jauh lebih represif
dibandingkan konsep NKK dan BKK-nya Daoed Joesoef.
Menyadari makin menguatnya kegiatan
politik praktis di kampus-kampus PTN, yang dalam jangka panjang dapat
membahayakan ketahanan nasional (ingat foto-foto sejumlah mahasiswa PTN
terkemuka membawa poster-poster dukungan terhadap Khilafah), maka mutlak
diperlukan peraan kontrol Pemerintah secara langsung terhadap pengelolaan PTN,
jangan sampai kampus-kampus PTN dikuasai oleh kelompok-kelompok yang anti
Pemerintah, atau bahkan anti Pancasila. Salah satu mekanisme kontrol itu adalah
melalui suara Menteri dalam pemilihan rektor. Jika suara Menteri dibagi rata,
bagaimana nasib PTN ke depan, andaikan yang memiliki suara terbanyak di Senat
itu adalah golongan yang anti Pancasila?
Bila concern
Menristek Dikti adalah soal pemberantasan korupsi dalam pemilihan rektor, maka
yang perlu direvisi bukan regulasi yang memberi suara 35% kepada Menteri, tapi
mekanisme seleksi di Pusat. Kemenritek Dikti perlu melibatkan Kepolisian,
Kejaksaan, KPK, dan BIN untuk menelisik CV para calon rektor PTN yang diajukan.
Berdasarkan hasil penelusuran CV secara bersama itulah Menteri bisa memberikan
suaranya.
Komentar
Posting Komentar