OLEH: DARMANINGTYAS
AKTIVIS PENDIDIKAN DI TAMANSISWA
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan
25 November 2015
25 November 2015
Peringatan Hari
Guru di Indonesia dilaksanakan setiap tanggal 25 November. Tanggal ini
sebetulnya merupakan tanggal kelahiran organisasi guru yang bernama Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI). Pada tingkat internasional, Hari Guru
sebetulnya diperingati pada tanggal 5 Oktober. Hanya saja, karena di Indonesia
tanggal 5 Oktober itu merupakan Hari ABRI (TNI) yang pada saat masa Orde Baru
diperingati cukup meriah, maka secara politis, memperingati Hari Guru pada 5 Oktober
sangat tidak strategis karena akan tenggelam dengan kemeriahan Hari ABRI/TNI.
Dalam peringat
Hari Guru 25 November 2015 ini para guru sesungguhnya berada dalam situasi
serba bingung. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya kebingungan di antara para
guru, baik yang bersumber dari dalam internal guru sendiri maupun dari luar.
Faktor dari luar itu bisa bersumber dari kebijakan pemerintah, tapi bisa pula
bersumber dari situasi global atau perkembangan zaman yang mau tidak mau akan
berimbas pada profesi guru.
Kebingungan yang
bersumber dari dalam diri guru itu sendiri disebabkan matinya profesi guru.
Profesi guru itu telah mati ketika guru berhenti belajar. Sesungguhnya profesi
guru itu adalah profesi yang menuntut para guru untuk terus belajar sepanjang hayat
agar dirinya dapat menyemai benih-benih yang sedang tumbuh, memupuknya, serta
menyiangi dari segala rumput yang mengganggu pertumbuhan benih tersebut. Benih
itu adalah benih manusia yang memerlukan pertumbuhan bukan hanya fisik, tapi
juga jiwanya. Jika fisik itu dapat tumbuh secara sempurna berkat asupan gizi
yang bagus, demikian pula jiwanya. Jiwa anak manusia itu dapat tumbuh sehat
apabila dapat asupan gizi yang sehat. Asupan bagi jiwa itu berupa pengetahuan,
seni, ketrampilan, nasehat, tutur kata yang baik, serta ketauladanan dari para
guru; salah satunya yang diberikan oleh para guru. Dikatakan salah satunya,
karena pemberi asupan pada anak bukan hanya guru saja, tapi pertama-tama dan
utama justru orang tua serta lingkungan sekitar.
Guru akan dapat
memberikan asupan yang bagus kepada jiwa anak-anak apabila guru sendiri
mempunyai asupan yang baik, dan asupan itu dapat diperoleh melalui proses
belajar yang terus menerus, baik belajar pada teks yang ada (buku, majalah,
koran, dan tulisan lain), maupun pada lingkungan sekitar (kontekstual).
Perpaduan penguasaan antara teks dan konteks itulah yang akan membuat suara
guru itu menggema pada anak-anak didiknya. Mereka akan selalu mendengarkan
nasehat atau petuah para karena dirasakan penting untuk dicamkan sebagai bekal
hidup di masa mendatang. Anak-anak merasa akan kehilangan sesuatu tatkala tidak
mendapatkan apa-apa dari gurunya. Sayang, hasrat untuk belajar para guru kita
umumnya sudah mati. Perjuangan mereka dianggap selesai ketika sudah lulus
menjadi guru PNS lalu lolos program sertifikasi dan mendapatkan tunjangan
profesi. Padahal, itu semua mestinya awal dari semuanya. Justru ketika dirinya
dinyatakan lolos sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi tersebut, guru
perlu meningkatkan semangat belajarnya agar tingkat pengetahuan yang mereka
miliki dan kematangan jiwa mereka sepadan dengan tunjangan profesi yang mereka
terima. Berhentinya guru dalam belajar itulah yang menyebabkan mereka kemudian
mudah sekali bingung, canggung, dan panik ketika menghadapi perubahan-perubahan
(termasuk kebijakan dan zaman) yang datang dari luar.
Inkonsisten
Kebijakan
Salah satu
faktor dari luar yang membuat para guru kita bingung adalah adanya inkonsisten
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang kemudian berimbas pada nasib guru.
Ada beberapa contoh isu yang dapat disebutkan di sini, seperti misalnya masalah
sertifikasi dan tunjangan profesi, perubahan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum
2013, serta perubahan UU No. 32 Tahun
2004 menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; semuanya itu
berdampak pada nasib guru.
Pertama soal
sertifikasi dan tunjangan profesi. Masalah sertifikasi ini merupakan isu yang
akan terus hangat karena sudah hampir satu decade masalahnya masih tetap sama,
yaitu masih banyak guru yang belum berkesempatan ikut sertifikasi, sementara
keikutsertaan mereka dalam program sertifikasi itu akan berdampak pada
pembayaran tunjangan profesi yang besarannya satu kali gaji pokok. Karena masih
banyak yang belum mendapatkan kesempatan ikut program sertifikasi, akhirnya ada
kesenjangan pendapatan antara guru-guru yang sudah ikut program sertifikasi
dengan yang belum, sementara tugas dan kewajiban mereka sama. Pemerintah tidak
bisa melaksanakan program sertifikasi secara serentak karena dampak terhadap
APBN amat besar, pembengkakkan anggaran untuk bayar tunjangan profesi bagi
seluruh guru bisa di atas Rp. 50 triliun setahun. Tapi dengan tidak serentak
seperti sekarang, sesungguhnya menciptakan iklim tidak sehat pada guru karena
ada rasa iri antara guru yang belum tersertifikasi dengan yang sudah, sementara
beban tugas dan kewajibannya sama. Dampak terburuk dari ketidak-merataan ini
justru dirasakan oleh murid karena tidak mendapatkan layanan yang prima dari
semua guru.
Terkait langsung
dengan program sertifikasi adalah tunjangan profesi. Tunjangan profesi
merupakan tunjangan yang melekat pada setiap guru yang sudah dinyatakan lolos
sertifikasi. Pembayaran tunjangan profesi ini sejak awal (2007) sampai sekarang
belum pernah beres: terlambat tiga bulan, enam bulan, bahkan ada yang terlambat
setahun. Sejumlah guru bahkan mengeluhkan ada beberapa tunjangan profesinya
yang tidak terbayarkan. Ironisnya, guru-guru di lingkungan Kementerian Agama
justru banyak yang mengeluhkan keterlambatan tersebut. Dan terhadap keterlambatan
tersebut selalu terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pemda
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Pusat selau menyatakan sudah ditransfer
sejak awal tahun, tapi Pemkab/Pemkot mengaku belum ada transferan. Pembayaran
tunjangan profesi yang tidak tepat waktu itu berpengaruh terhadap kinerja guru
karena akhirnya guru tetap mencari obyekan di tempat lain untuk mencukupi
kebutuhannya.
Kedua, terkait
dengan masalah Kurikulum 2013. Perubahan kurikulum dari Kurikulum 2006 menjadi
Kurikulum 2013 menimbulkan kehebohan dan sekaligus kebingungan guru karena
banyak guru yang kemudian kehilangan jam mengajar akibat adanya perubahan
struktur dalam Kurikulum 2013. Sebagai contoh, Pelajaran Bahasa Inggris dari empat
jam berkurang menjadi dua jam, Bahasa Indonesia dari enam jam menjadi empat jam,
dan pelajaran TIK hilang sama sekali di semua tingkatan. Sebaliknya Pelajaran
Agama serta Pendidikan Jasmani dan Olah Raga naik dari dua menjadi tiga jam. Ada SMA/SMK yang berdasarkan Kurikulum 2006
dapat menyelenggarakan pelajaran Bahasa Cina, berdasarkan Kurikulum 2013 tidak
bisa lagi karena tidak memiliki cantolan yang jelas.
Pengurangan atau
penghilangan jam belajaran pada beberapa mata pelajaran tersebut tentu
menimbulkan kehebohan dan sekaligus kebingungan guru. Heboh karena mereka
merasa kehilangan mata pelajaran atau jam mengajarnya berkurang, dan bingung
karena mereka harus berfikir keras bagaimana mendapatkan 24 jam mengajar
seminggu agar bisa memperoleh tunjangan profesi, mengingat UU No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen mengamanatkan jumlah jam mengajar 24 jam seminggu untuk
dapat dibayarkan tunjangan profesinya. Kurikulum 2013 juga menimbulkan
kebingungan pada guru terkait dengan isi kurikulum yang tidak lebih baik dari
Kurikulum 2006, serta proses penilaian yang jlimet.
Ketiga, adanya
perubahan UU No. 32/2004 menjadi UU No. 23/2014, dan diperbarui lagi menjadi UU
No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah
Daerah yang di dalamnya mengatur pembagian tugas antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) dengan Pemkab/Pemkot untuk penyelenggaraan
pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar domain Pemkab/Pemkot, sedangkan Pendidikan
Menengah domain Pemprov, berdampak pada nasib guru, terutama guru-guru yang
mengajar di sekolah menengah. Mereka akan mengalami perubahan induk semang,
dari Pemkab/Pemkot ke Pemprov. Perubahan tersebut bisa menjadi lebih baik/buruk
amat tergantung pada komitmen masing-masing Pemprov. Yang pasti semuanya itu
telah menimbulkan kebingungan pada para guru untuk menyesuaikan diri lagi
dengan tuan yang baru.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus