OLEH: DARMANINGTYAS
Pengantar:
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic
Community (AEC) sesungguhnya bukan isu baru karena dalam dua dekade terakhir
ini sebetulnya kita telah hidup dalam suatu tatanan ekonomi global yang
kendalinya tidak lagi ada pada kita, melainkan pada kekuatan kapotal dan pasar
secara terbuka. Kalau kita cermati, apa saja yang kita konsumsi sehari-hari:
beras, jagung, kacang-kacangan, telor, daging ayam, daging sapi, sayuran,
buah-buahan, hingga pakaian batik yang seharusnya menjadi kebanggaan kita pun
kita impor, dan sebagian juga dari Negara anggota ASEAN. Demikian pula tenaga
kerja yang bekerja di Indonesia untuk bidang
IT dan finansial banyak yang dari Malaysia, Singapura, dan Philipina.
Tenaga kerja Indonesia juga jutaan yang bekerja di Negara-negara anggota ASEAN,
hanya saja, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Negara-negara ASEAN itu
adalah tenaga-tenaga kasar atau tidak terdidik.
Pembentukan MEA ini dimulai dari kesepakatan para
pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kuala Lumpur, Mayasia,
15 Desember 1997. Pada KTT tersebut, para Pemimpin ASEAN mengesahkan Visi ASEAN
2020 dengan tujuan antara lain sbb:
- Menciptakan Kawasan Ekonomi ASEAN yang stabil,
makmur, dan memiliki daya saing yang ditandai dengan arus lalu lintas
barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang
lebih bebas, pembangunan ekonomi yang merata serta mengurangi kemiskinan
dan kesenjangan sosial dan ekonomi
- Mempercepat liberalisasi perdagangan di bidang
jasa
- Meningkatkan pergerakan tenaga profesional dan
jasa lainnya secara bebas di kawasan.[1]
Pada KTT ASEAN Oktober 2003 di Bali, para Pemimpin
ASEAN menyepakati tiga pilar guna mewujudkan Visi ASEAN 2020 tersebut, yaitu: 1).
ASEAN Economic Community (AEC), 2). ASEAN Political-Security Community, 3). ASEAN
Social-Cultural Community. Sejak itulah ASEAN
Economic Community merupakan konsep yang mulai digunakan dalam Declaration ASEAN Concord II (Bali Concord
II). Pencapain ASEAN Community semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu
Declaration of on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community
by 2015” oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu Filipina, 13
Januari 2007. Para Pemimpin ASEAN juga menyepakati percepatan pembentukan ASEAN
Economic Community (AEC) dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.
Keputusan untuk mempercepat AEC menjadi 2015
ditetapkan dalam rangka untuk memperkuat daya saing ASEAN menghadapi kompetisi
global seperti India dan Cina. Kecuali itu juga beberapa alasan lain, seperti:
(1) potensi penurunan biaya produksi di ASEAN sebesar 10-20% untuk barang
konsumsi sebagai dampak integrase ekonomi; 2) meningkatkan kemampuan kawasan
dengan implementasi standard an praktek internasional, HAKI dan adanya persaingan.[2]
Guna mempercepat integrasi ekonomi tersebut ASEAN
menyusun ASEAN Charter (Piagam ASEAN) sebagai payung hukum yang menjadi basis
komitmen dalam meningkatkan dan mendorong kerjasama di antara Negara-negara
anggota ASEAN di Kawasan Asia Tenggara. Piagam tersebut memuat prinsip-prinsip
yang harus dipatuhi oleh seluruh Negara ASEAN dalam mencapai tujuan integrasi
di kawasan ASEAN. Piagam ASEAN ini kemudian ditandatangani pada KTT ASEAN ke-13
di Singapura tanggal 20 November 2007 dan mulai berlaku efektif bagi semua
Negara anggota ASEN per tanggal 15 Desember 2008. Indonesia telah melakukan
ratifikasi Piagam ASEAN pada tanggal 6 November 2008 dalam bentuk Undang-undang
No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter
of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara). [3]
Jadi, bila kita simak proses pembentukan MEA ini
sebetulnya sudah cukup panjang, hampir dua dekade. Tapi kita demam MEA baru
mulai 2014 lalu, ketika MEA itu sudah di depan mata. Ini sebetulnya memperlihatkan
cara berfikir kita yang reaktif, kurang antisipatif. Bila kita berfikir
antisipatif, maka semestinya demam MEA itu sudah dimulai awal 2004, paska
dideklarasikan terbentuknya MEA di Bali, Oktober 2003, sehingga pada tahun 2015
ini ketika MEA terbentuk, infrastruktur kita dalam segala bidang, termasuk
dalam pendidikan sudah siap. Namun ketika demam itu baru muncul setelah MEA
terbentuk, tentu saja ini tidak bisa melahirkan langkah-langkah antisipatif.
Yang ada adalah tindakan reaktif. Dan di mana pun, tindakan reaktif tidak akan
pernah mampu mengalahkan mereka yang bertindak secara antisipatif. Sebab apa
yang dipersiapkan sekarang baru akan berbuah paling cepat lima tahun ke depan
pada saat produk-produk manufaktur dan jasa dari Negara-negara anggota ASEAN
lainnya sudah membanjiri negeri kita dan tenaga profesional dari Negara-negara
anggota ASEAN sudah berdatangan ke Indonesia dan menguasai beberapa bidang
strategis (keuangan, telekomunikasi, dan informasi). Tapi ya sudahlah, kita
menganut paham “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Kebutuhan
dan Tantangan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini memang sedikit
berbeda dengan globalisasi yang kita kenal selama ini. Jika globalisasi ekonomi
selama ini terjadi by process, yaitu
kekuatan modal akan selalu mendesakkan kemauannya untuk memasarkan segala
produk mereka, maka MEA ini terjadi by
planning. Artinya, terbentuknya masyarakat ekonomi di kawasan ASEAN itu secara sengaja direncanakan oleh
para pemimpin ASEAN sejak 1997 lalu. Para pemimpin ASEAN dengan penuh kesadaran
membangun kesepakatan bersama akan mengantarkan warganya memasuki suatu area
baru yang lebih luas tanpa batas (borderless)
di kawasan ASEAN, yang bukan hanya berinteraksi dalam hal berkaitan dengan
barang-barang produk industri, pertanian, perkebunan, dan pertambangan saja;
tapi juga terkait dengan masalah jasa dan tenaga profesional. Salah satu poin
penting yang tercantum dalam ASEAN
Economic Community (AEC) Blueprint adalah ASEAN sebagai pasar tunggal dan
basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa,
investasi, dan tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas.[4]
Kerangka AEC Blueprint seperti itu adalah
kerangka kerja kapitalisme global yang menghendaki adanya liberalisasi dalam
berbagai sector, baik itu barang, jasa, investasi, maupun tenaga kerja sehingga
memudahkan mereka untuk mengepakkan sayapnya. Indonesia sebagai salah satu
Negara ASEAN, mau tidak mau patuh terhadap AEC Blueprint sehingga harus membuka
diri menerima datangnya barang-barang, jasa, investasi, maupun tenaga
profesional dari Negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hanya Negara-negara yang
telah memiliki kesiapan dengan langkah-langkah antisipatif saja yang dapat
eksis dan menang dalam memasuki MEA 2015. Sebaliknya Negara-negara yang tidak memiliki
kesiapan akan terpental.
Kesiapan yang diperlukan untuk menghadapi MEA itu
mencakup banyak hal: kualitas produksi atas barang-barang, layanan jasa, maupun
tenaga profesional yang memiliki keunggulan tertentu. Produk barang-barang industri,
pertanian, perkebunan, kehutanan, tambang, dan sebagainya harus bagus agar
menjadi pilihan bagi warga sendiri maupun bangsa asing. Bila produk-produk
tersebut kalah bagus dibandingkan dengan produk-produk dari Negara anggota
ASEAN lainnya, maka untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun belum tentu
bisa. Demikian pula sektor jasa, entah
itu jasa perdagangan, keuangan, telekomunikasi, transportasi, dan lainnya perlu
memiliki keunggulan tertentu agar bangsa sendiri maupun anggota ASEAN lainnya
lebih percaya menggunakannya daripada menggunakan layanan jasa dari
Negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesiapan
tenaga profesionalnya agar jangan sampai tergusur oleh tenaga profesional dari
Negara-negara anggota ASEAN lainnya dan pada saat kita menjadi tenaga kerja di
Malaysia, Singapura, atau Brunai Darussalam pun hanya menjadi tenaga kerja
kasar saja. Tendensi ke arah sana cukup kuat, karena kekurangsiapan kita.
Banyak jenis kemampuan atau kompetensi yang dituntut untuk
dimiliki oleh masyarakat kita dalam menghadapi MEA ini bila tidak ingin
terpinggirkan di negeri kita sendiri. Tuntutan kemampuan tersebut juga tertuju
kepada para lulusan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) agar mereka dapat terserap oleh pasar tenaga kerja. Bila para lulusan
LPTK tidak memiliki kompetensi yang dituntut oleh MEA, tentu sulit terserap
oleh pasar tenaga kerja sehingga akhirnya menjadi barisan pengangguran
terdidik.
Gambaran
mengenai jenis-jenis kemampuan atau ketrampilan yang diperlukan dalam menghadapi
abad ke-21 telah diberikan oleh Bernie Trilling dan Charles Fadel melalui
bukunya yang berjudul 21st
Century Skill, Learning for Life in Our Times. Secara umum, lulusan LPTK
itu perlu mempunyai kecakapan berkomunikasi lisan maupun tertulis (oral and written communication),
berfikir kritis dan pemecahan masalah (critical
thinking and problem solving), profesionalisme dan etika kerja (professionalism and work ethic), kerja
dalam tim dan berkolaborasi (teamwork and
collaboration), bekerja dalam beragam tim (working in diverse teams), menerapkan teknologi (applying technology), kepemimpinan dan
memenid proyek (leadership and project management).[5] Pada
abad pengetahuan ini, seorang lulusan LPTK juga perlu memiliki Creativity and
innovation, Collaboration, teamwork, and leadership Cross-cultural
understanding, communication, information, and media literacy, computing and
ICT Literacy, Career and learning self-reliance
overall work quality, technical competence, problem
solving, creativity and innovation, communication, teamwork, flexibility and adaptability, initiative
and self-direction, social and cross cultural skills
productivity and accountability, and Leadership and
responsibility.[6]
Para lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) mau tidak mau dituntut untuk memiliki kemampuan seperti yang dideskripsikan di
atas. Kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulis akan menjadi kunci
keberhasilan para lulusan LPTK karena melalui kemampuan itulah mereka akan
dapat membangun relasi dengan pihak-pihak mana pun sehingga cenderung lebih
mudah untuk mendapatkan peluang kerja, baik di negeri sendiri maupun di
Negara-negara anggota ASEAN lainnya. Lulusan LPTK yang tidak memiliki kecakapan
dalam beberapa kompetensi di atas, perlu siap-siap menjadi tenaga kasar di
Negara-negara anggota ASEAN lainnya.
2) Keterpakaian Kurikulum 2013 di ASEAN dan
perbandingannya dengan Kurikulum yang berlaku di Negara ASEAN,
3). Evaluasi dan Prospek Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
4) Problematika Pendidikan Nasional dan
Tuntutan Pendidikan ASEAN. Tapi
izinkan saya justru memulai dari poin terakhir tentang
- Problematika Pendidikan Nasional dan
Tuntutan Pendidikan ASEAN
Pendidikan nasional kita dihadapkan pada banyak
tantangan, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal menyangkut soal
transisi politik, sosial, dan budaya. Pada tatanan politik kita dihadapkan pada
proses demokratisasi yang belum selesai, karena masyarakat
40
students in each c
Transformasi
Demokrasi
dan reformasi
di segala bidang
•
Desentralisasi dan otonomi daerah
•
Persatuan dan kesatuan bangsa
•
Pengikisan karakter, ja@--‐diri, budaya bangsa akibat pengaruh global dan bias informasi
•
Harapan masyarakat pada pendidikan sebagai kunci kemajuan dan Mobilisasi sosial
•
Harapan pada perguruan @nggi sebagai Kekuatan moral
Keterpakaian Kurikulum 2013 di
ASEAN dan perbandingannya dengan Kurikulum yang berlaku di Negara ASEAN
Characteristics
of Curriculum
1.
Totality of activities
2. A
means to an end
3.
Total school environment
4.
Totality of experience
5.
Mirror of curricular and co-curricular trends.
6.
Mirror of educational trends.
7.
Development of balanced personality
8.
Process of living
9.
Dynamic
10.
Mirror of philosophy of life.
11.
Achievement of goals.
Curriculum
= Syllabus + co-curricular activities + various parts of
educational
environment
(Reddy,
R.S. 2004. Encyclopaedic dictionary of Education. Rajat
Publications)
Structure
of Curriculum Document of English (Ontario, Canada)
3.
Writing
Writing
has the following main points:
·
Approach to writing
· The
writing process
·
Overall expectations
·
Expectations in specific areas
4.
Reading
Reading
has the following main points:
·
Approach to reading
· The
reading process
·
Reading materials
·
Overall expectations
·
Expectations in specific areas
5.
Oral and visual communication
·
Overall Expectations
·
Expectations in specific areas
·
Explanatory Notes
Suggestions
In summary, with
this approach specially in history subjects, the pupils;
can learn about
the historical people and through developing historical imagination can try to
understand the ways
people I the past may have thought and felt,
can work like
"amateur social scientists" by using their research abilities,
can take
responsibilities in their groups to be able to learn co-operatively,
Teaching About
Slavery--7
can have fun
while learning,
can develop their
speaking skills while discussing and interpreting.
For the teachers,
they;
use their time
effectively and have every student involved in the learning process,
spend time on
creative and joyful activities because they do not have to transfer knowledge
all the time,
can find out the
different skills and specific abilities of pupils and plan their
curriculum
according to these.
Concerning
professional development, the paper suggests that a
demonstration-modellingimplementation
strategy enables
student teachers to assimilate a sophisticated pedagogy, apply
it in practice and,
hopefully, assimilate it into their repertoire of teaching protocols that they
can
draw
upon.
“Using a Thematic Teaching
Approach Based on Pupil's Skill and Interest in Social Studies Teaching” Dursun Dilek, Assistant Professor, Marmara University,
Atatürk Faculty of
Education Secondary Social Sciences Teacher Training Department,
History Education
Programme.
Göztepe
81040 Istanbul/Turkey.
Evaluasi dan Prospek Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
21st
Century Learning Balance
Teacher- directed
|
Learner-centered
|
Direct instruction
|
Interactive exchange
|
Knowledge
|
Skills
|
Content
|
Process
|
Basic skills
|
Applied skills
|
Facts and principle
|
Questions and problems
|
Theory
|
Practice
|
Curriculum
|
Projects
|
Time-slotted
|
On-demand
|
One-size-fits-all
|
Personalized
|
Competitive
|
Collaborative
|
Classroom
|
Global community
|
Text-based
|
Web-based
|
Summative tests
|
Formative evaluations
|
Learning for school
|
Learning for life
|
P21
and 7C Skills
P21 Skills
|
7Cs Skills
|
Learning
and Innovation Skills
|
|
Critical thinking and problem
solving
Communications and collaboration
Creativity and innovation
|
Critical
thinking and problem solving
Communications,
information, and media literacy
Collaboration,
teamwork, and leadership
Creativity
and innovation
|
Digital
literacy skills
|
|
Information literacy
Media literacy
ICT literacy
|
[included in Communication]
[included in Communication]
Computing
and ICT literacy
|
Career
and life skills
|
|
Flexibility and adaptability
Initiative and self-direction
Social and cross-cultural
interaction
Productivity and accountability
Leadership and responsibility
|
Career
and learning self-reliance
[included in Career and learning
self-reliance]
Cross-cultural
understanding
[included in Career and learning
self-reliance]
[included in Collaboration]
|
Pertama, mutu pendidikan tenaga kerja
masih rendah, di mana hingga Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau
dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total
118 juta pekerja di Indonesia.
Source : UNDP
Tabel II.1
|
||||
Indonesia 2045
Demographic Bonus
|
||||
Age Group
|
Male
|
Female
|
Total
|
|
0-4
|
11.662.369
|
11.016.399
|
22.678.702
|
|
5-9
|
11.974.094
|
11.279.986
|
23.253.480
|
|
10-14
|
11.662.417
|
11.008.664
|
22.671.081
|
|
15-19
|
10.614.306
|
10.226.428
|
20.880.784
|
|
20-24
|
9.887.713
|
10.003.920
|
19.891.633
|
|
25-29
|
10.631.311
|
10.679.132
|
21.310.443
|
|
30-34
|
9.949.357
|
9.881.328
|
19.830.685
|
|
35-39
|
9.337.517
|
9.167.614
|
18.505.131
|
|
40-44
|
8.322.712
|
8.202.140
|
16.524.852
|
|
45-49
|
7.082.740
|
7.008.242
|
14.040.982
|
|
50-54
|
5.865.997
|
5.695.324
|
11.561.521
|
|
Source : National Statistics Agency/ BPS, 2012 Demographic
Census
|
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus