Pengantar:
Tulisan
di bawah ini lebih merupakan pengantar kepada siapa saja untuk merangsang
kepada siapa saja agar mulai memperbincangkan persoalan pembangunan infrastruktur
transportasi di negeri ini secara lebih serius agar proses pembangunan
infrastruktur transportasi nasional tidak menjerumuskan bangsa ini ke dalam
jurang kesengsaraan, lantaran salah asumsi, strategi, dan implementasinya.
Sebaliknya kita justru mendorong agar pembangunan infrastruktur transportasi
tersebut dapat menumbuhkan dan mengembangkan peradaban bangsa.
Kondisi
transportasi yang buruk di Jakarta dapat
dijadikan sebagai refleksi dan sekaligus referensi bagi pembangunan
infrastruktur transportasi di kota-kota atau daerah-daerah lain di Indonesia
agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang ada di Jakarta . Sebab kemacetan yang terjadi di Jakarta bukan saja telah
menyebabkan penderitaan jutaan manusia, tapi juga, untuk menguraikannya
memerlukan dana yang besar dan waktu yang panjang disertasi dengan proses
politik yang amat alot. Bila keledai tidak mau tertumbuk pada batu yang sama,
semoga kita sebagai manusia yang berfikir, juga tidak ingin tertumbuk pada batu
yang itu-itu juga.
Agar
paparan ini sedikit terarah, maka akan menjawab beberapa pertanyaan panitia
saja yang telah terumuskan dalam TOR.
Pertama, mengenai persoalan-persoalan yang teridentifikasi menjadi faktor
penyebab dari ruwetnya persoalan transportasi publik kita adalah rendahnya
komitmen politik dari pengambil kebijakan.
Rendahnya komitmen itu berdampak amat luas, dari soal perhatian yang
kurang serius sampai pada masalah pendanaan yang terbatas. Tidak ada satu pihak
pun (eksekutif maupun legislatif) yang secara serius berjuang untuk pengembangan
angkutan umum massal ini. Ketiadaan komitmen politik itu mungkin disebabkan
karena ketidak-tahuan mereka. Ambil contoh, penghapusan sarana transportasi
umum di Jakarta berupa tram listrik pada masa Walikota Sudiro (1953-1960) hanya
didasarkan pada pandangan Presiden Soekarno bahwa tram-tram tersebut tidak
cocok dengan kesan kota modern, karena tram tersebut tidak berada di bawah
tanah (Peter J.M. dan Manase Malo2007, hal. 246-248). Desakan untuk menghapus
tram itulah yang memicu konflik antara Walikota Sudiro (representasi daerah)
dengan Presiden Soekarno (representasi pusat). Presiden Soekarno pada saat itu
melihat sarana transportasi tersebut tidak dari fungsinya, tapi dari aspek
estetika belaka. Seandainya Soekarno melihat fungsi tram sebagai moda
transportasi kota yang efisien, tidak berpolusi, dan tidak menggunakan BBM,
tentu dia tidak akan menyarankan untuk dihapus, sebaliknya justru dikembangkan
sehingga sampai sekarang mungkin masih menjadi moda transportasi publik di
Jakarta yang sangat handal karena mampu mengangkut jumlah penumpang cukup
besar.
Jabakan Motorisasi
Hilangnya tram lisrik menyebabkan Jakarta kehilangan moda transportasi
massal yang handal. Moda transportasi massal yang ada pada itu (dekade 1960-an)
tinggal berbasis motor, yaitu bus dan bemo. Sedangkan angkutan umum lain yang
dominan adalah becak. Adapun kendaraan pribadi didominasi oleh sepeda. Di
penghujung dekade 1960an produk Jepang, terutama berupa sepeda motor merek
Honda dan Suzuki mulai membanjiri Jakarta. Arus motorisasi itu semakin kuat
memasuki dekade 1970-an, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan
berkembangnya industri otomotif.
Bank
Dunia turut andil besar dalam mendorong motorisasi ini dengan memfasilitasi
pembangunan jalan raya. Blok M – Kota yang dulunya dilayani tram kemudian
digantikan dengan jalan raya. Jaringan tram dihapuskan. Sedangkan pembangunan
jalan yang menghubungkan Cawang - Tanjung Priok dibiayai oleh Amerika Serikat (Ibid, hal.248). Perhatian
besar Bank Dunia terhadap motorisasi itu tidak terlepas dari campur tangan
pemilik saham, termasuk Jepang yang sangat diuntungkan dengan proses motorisasi
di Indonesia. Mayoritas motor (baik roda empat maupun dua) yang menyesaki
jalan-jalan di Jakarta adalah produk Jepang, seperti Daihatsu, Hino, Honda, Isuzu, Kawasaki,
Mitsubishi, Nissan, Suzuki, Toyota, Yamaha, dll.
Proses motorisasi ini tidak terbendung lagi ketika negara secara sadar
memfasilitasinya dengan membangun banyak jalan raya dan mulai tahun 1978
membangun tol Jagorawi, kemudian diikuti dengan pembangunan jalan tol lainnya,
seperti Jakarta – Cikampek, Jakarta Tangerang, Cawang – Priok, Cawang –
Bandara, dan sebagainya. Juga diikuti pembangunan jalan-jalan tol di luar
Jakarta, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, dan Makasar.
Jebakan motorisasi itu semakin mencengkeram ketika industri otomotif Jepang
mulai ekspansi dengan mendirikan pabrik di Indonesia. Krisis ekonomi Juli 2007
sampai dengan akhir 1999 sempat membuat pasaran industri otomotif khususnya
sepeda motor dan mobil lesu, tapi mulai tahun 2000 industri tersebut bangkit
kembali. Khususnya untuk produk sepeda motor, pertumbuhan mereka begitu cepat,
karena paska krisis ekonomi itu sepeda motor dijadikan sebagai moda produksi
dalam bentuk ojek bagi korban PHK. Mayoritas pengojek mulai akhir dekade
1990-an itu adalah korban PHK, mereka membelanjakan pesangonnya untuk membeli
sepeda motor untuk ngojek. Kehidupan tukang ojek yang relatif lebih mapan
daripada menjadi buruh pabrik itu mendorong orang desa untuk tertarik menjadi profesi
ojek di Jakarta. Mereka kemudian rela menjual sapi, kayu jati, atau bahkan
tanah (sawah/ladang) mereka untuk membeli sepeda motor sebagai ojek di Jakarta.
Belakangan, industri sepeda motor sendiri lebih kreatif dalam memasarkan
produknya dengan mengetrapkan mekanisme kredit amat mudah, mereka bekerjasama
dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti WOM Finance, FIF, Aldira, dan
sejenisnya. Kesemuanya itu mempermudah orang untuk mendapatkan kredit sepeda
motor. Itu yang terjadi pada tingkat swasta. Sedangkan pada tingkat pengambilan
keputusan, sejak Orde Baru, terlebih paska reformasi, kita sesungguhnya
memasuki Rezim Bina Marga, di mana
program pembangunan jalan, entah itu jalan tol maupun non tol memperoleh
perhatian besar daripada pembangunan infrastruktur untuk pertanian, perikanan,
perkebunan, maupun peternakan yang sebetulnya semuanya itu akan membuat bangsa
Indonesia hidup lebih mandiri. Rezim Bina Marga itu terasa sekali (justru)
paska reformasi ini ketika seperti tahun lalu dan tahun sekarang ini anggaran
untuk satu direktorat jendral (Bina Marga) di PU jauh lebih besar dibandingkan
dengan anggaran satu departemen (Perhubungan) yang menangani empat jenis moda
transportasi: jalan raya, kereta api, laut, dan udara.
Sinerginya antara inovatifnya swasta dalam mengembangkan produk otomotifnya
dengan kebijakan pemerintah yang didominasi oleh Rezim Bina Marga itulah yang
memicu pertumbuhan kendaraan bermotor begitu cepat dalam satu dekade terakhir.
Tabel
Perkembangan Kendaraan Bermotor Nasional
(versi Polri)
(versi Polri)
Tahun
|
Mobil
|
Bus
|
Truck
|
Spd Mtr
|
Jumlah
|
2006
|
6 615 104
|
1 511 129
|
3 541 800
|
33 413222
|
45 081 255
|
2007
|
8 864 961
|
2 103 423
|
4 845 937
|
41 955 128
|
57 769 449
|
2008
|
9 859 926
|
2 583 170
|
5 146 674
|
47 683 681
|
65 273 451
|
2009
|
--
|
--
|
--
|
--
|
--
|
2010
|
--
|
--
|
--
|
--
|
--
|
Perkembangan Kendaraan Bermotor nasional
(versi Dephub)
(versi Dephub)
TAHUN
|
Mobil
|
Bus
|
Truck
|
Spd
Mtr
|
Jumlah
|
2006
|
7.678.891
|
4.896.065
|
2.737.610
|
35.102.492
|
50.415.058
|
2007
|
9.501.241
|
5.031.544
|
2.854.990
|
45.948.747
|
63.318.522
|
2008
|
10.779.687
|
6.025.023
|
3.870.741
|
51.697.879
|
72.373.329
|
2009
|
11.828.529
|
6.225.588
|
4.223.677
|
59.477.626
|
81.725.420
|
2010
|
--
|
--
|
--
|
--
|
--
|
Tabel
Pergeseran
Moda Transportasi yang dipakai untuk Perjalanan
No
|
Moda yang dipakai
|
2002
|
2010
|
1
|
Jalan kaki dan sepeda
|
23,7%
|
22,6%
|
2
|
Motor
|
21,2%
|
48,7%
|
3
|
Mobil Pribadi
|
11,6%
|
13,5%
|
4
|
Bus
|
38,3%
|
12,9%
|
5
|
Lainnya
|
5,3%
|
2,3%
|
Sumber : JUTPI,
Commuter Survey, 2010
Di sisi lain, percepatan pertumbuhan kendaraan bermotor itu telah
mengorbankan moda transportasi lain, yaitu kereta api dan laut. Di Jakarta kita
melihat sehari-hari pemandangan di mana jumlah penumpang KRL Jabodetabek yang
begitu banyak tidak dapat terlayani semua sehingga harus naik di atas atap yang
membahayakan jiwanya. Sedangkan buruknya transportasi laut terlihat dari
panjang dan lamanya kasus antrean di Merak dan Bakauheni akibat keterbatasan
prasarana maupun sarana angkutan laut.
Kasus antrean panjang itu merupakan persoalan serius karena berdampak pada
ekonomi berbiaya tinggi, juga penderitaan para sopir dan kernet truck yang
harus tombok untuk makan dan lainnya selama terjebak kemacetan. Tapi kita
lihat, setidaknya yang muncul di media massa, itu seakan persoalan perhubungan
saja, padahal itu persoalan ketersediaan infrastruktur secara keseluruhan, di
mana Kepentrian PU selayaknya turut bertanggung jawab.
Kuatnya Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong realisasi pembangunan
Jembatan Suramadu, yang berbiaya tinggi dan mematikan moda transportasi laut,
tapi tidak ekonomis dan tidak membuat warga Madura lebih sejahtera. Meskipun
demikian, sebuah rencana yang jauh lebih besar dengan menelan dana amat besar pula
akan dilaksanakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yaitu
pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). JSS yang diharapkan akan dimulai tahun
2014, sebelum SBY meletakkan masa jabatan pada 2014 nanti, akan menelan dana
sekitar Rp. 250 triliun. Sebuah tim, aturan, dan kelembagaan untuk mempercepat
rencana itu sudah disiapkan. Ini
artinya, rencana itu bukan sekedar wacana saja, tapi akan diimplementasikan di
lapangan. Menko Perekonomian, Bappenas, PU, dan Perhubungan sudah selalu
intensif melakukan pembahasan terhadap implementasi rencana tersebut.
Dilihat dari kepentingan berbangsa, JSS ini adalah proyek besar yang akan
mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kehancuran. Sebab dari aspek finansial,
dana Rp. 250 triliun itu tidak sedikit. Jauh akan lebih bermanfaat untuk
membangun infrastruktur pertanian (termasuk pertanian garam agar tidak impor
garam), infrastruktur perkebununan, peternakan, dan perikanan agar bangsa
Indonesia dapat mandiri dari segi pangan. Sedangkan dari aspek politik, JSS
dapat mempercepat disintegrasi bangsa, terutama antara Indonesia Barat –yang selalu
dimanjakan dengan infrastruktur transportasi—dan Indonesia Timur yang selalu termarginalisasi. Bagaimana warga
di Papua tidak marah dan menuntut merdeka bila persoalan infrastruktur
transportasi mereka sampai sekarang belum terpecahkan, tapi anggaran besar dari
negara justru akan dipakai untuk membiayai proyek megalomania saja, yang dampaknya
juga akan mematikan moda transportasi laut yang selama hampir satu abad menjadi
jembatan penghubung antara Jawa dengan Sumatra. Rezim Bina Marga itu tampaknya
menumpulkan cara berfikir kita, sehingga pemahaman penguasa terhadap arti kata
“jembatan” itu identik dengan bentangan baja atau beton saja. Padahal, kalau
kita lihat Kamus Bahasa Indonesia, kata “jembatan” selain diartikan titian
biasanya dari kayu atau beton yang melintang di atas sungai, juga dapat berarti
penghubung atau perantara. Penghubung
atau perantara itu tidak harus
berupa bentangan besi atau beton, tapi kapal itu juga berfungsi penghubung.
Dengan kata lain, Rezim Bina Marga itu telah memiskinkan dan mereduksi
pemahaman kita tentang makna kata “jembatan” yang bisa selain fisik, juga
bermakna simbolik menjadi menjadi bermakna fisik semata.
Indonesia, mestinya belajar dari Yunani, yang tahun 2010 lalu mengalami
kebangkrutan ekonomi dan perlu bantuan dari negara-negara Eropa lainnya. Salah
satu faktor yang memicu kebangkrutan itu adalah banyak utang yang jatuh tempo. Utang
tersebut salah satunya untuk pembangunan infrastruktur menjelang pelaksanaan
Olympiade olah raga satu dekade lalu. Kebangkrutan yang sama akan dialami
Indonesia pada saat dan atau paska pembangunan JSS. Bisa saja para pejabat
terkait selalu membodohi (menganggap rakyat bodoh) dengan mengatakan JSS akan
dibiayai oleh swasta. Komentar terhadap pernyataan tersebut sederhana saja:
“Tidak ada makan (pagi, siang, malam) yang gratis!”. Boleh jadi, sepertiga negeri ini digadaikan
kepada investor hanya untuk membangun JSS itu.
Pembangunan JSS itu juga akan memperburuk kondisi lalu lintas di Jakarta,
karena Jakarta ibarat digerojok dengan mobil pribadi dari Sumatra. Begitu juga
sebaliknya sehingga kondisi lalu lintas di Sumatra pun akan kacau balau dan
udaranya menjadi sangat polutif. Semoga tsunami Jepang minggu lalu membuat para
pengambil keputusan berefleksi lagi, bahwa betulkah kemampuan teknologi akan
dapat mengalahkan kekuatan alam? Jepang adalah negara yang unggul teknologinya
dan kepada mereka pula kita berkiblat. Tapi kenyataannya mereka tidak mampu
mensiasati kebesaran alam (tsunami), juga tidak mampu menahan agar PLTN nya
tidak meledak. Siapa yang menjamin bahwa kekuatan angin kencang di selat Sunda
dan Gunungkrakatau dapat diatasi dengan kemampuan teknologi. Runtuhnya Jembatan
Misisipi di AS dan tidak terselesaikannya jalan tol yang retak di Semarang –
Solo merupakan bukti bahwa kekuatan alam lebih dahsyat daripada kekuatan otak
manusia, maka kalau betul-betul orang beragama, jangan takhabur dengan mengatakan
bahwa “kita bisa mengatasi kondisi alam tersebut”. Saya bersedih mendengar
pernyataan semacam itu karena itu mencerminkan sikap takhabur dari orang yang beragama. Saya
berharap nafsu megalomania pimpinan tidak menyebabkan kita menjadi takhabur.
Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong pembangunan Tol
Trans Jawa yang merusak ekosistem
pertanian dan memiskinkan warga yang tergusur. Padahal, kita semua tahu
bahwa Pulau Jawa merupakan daerah yang subur dan menjadi penobang terbesar
untuk produksi padi maupun cadangan air tanah. Dengan digusurnya lahan
pertanian dan sumber air kita untuk jalan tol, maka ke depan akan muncul
bencana besar berupa kelaparan dan kelangkaan air bersih. Keduanya kelak
terpaksa harus impor.
Pembangunan Tol Trans Jawa itu dilihat dari segi transportasi sangat tidak
rasional karena jaringan rel kereta api (KA) kita itu sudah ada dari Merak
sampai Banyuwangi, tinggal mengoptimalkan saja (agar lebih sering dilewati) dan
dikembangkan dengan membuat jalur ganda. Membuat jalur ganda KA tidak perlu
menggusur karena lahannya sudah tersedia, tingkat meletakkan rel baru itu di
sisi kiri atau kanan dari rel yang sudah ada saja. Tapi pilihan yang mudah dan
murah itu tidak diambil karena memang tidak menguntungkan dari kepentingan
kapital. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur transportasi kita dibangun
bukan dalam rangka menjalankan tugas negara agar dapat melayani warganya untuk
bertransportasi dengan aman, nyaman, dan selamat; tapi dalam rangka memperluas
pasar kapitalisme global. Kalau memang betul untuk melayani warga, maka
mestinya yang dibangun adalah pelabuhan-pelabuhan yang bagus dengan kapal yang
kokoh sehingga dapat memperlancar mobilitas geografis antar pulau. Jembatan
Selatan Sunda itu hanya kepentingan pemimpin yang megalomania dan Cina maupun
Jepang yang sudah tahu potensi alam yang dapat dikeruk paska adanya pembangunan
JSS.
Begitu kuatnya
Rezim Bina Marga itu pula yang membuat kita ini tidak memiliki blue print tentang pembangunan
transportasi nasional yang sesuai dengan karakter geografis kita sebagai negara
kepulauan. Yang ada hanyalah blue print
tentang pengembangadan jalan tol, baik Tol Trans Jawa maupun luar Jawa. Memang
masing-masing direktorat (darat, kereta api, laut, dan udara) di Kementrian
Perhubungan punya perencanaan nasional, tapi kalau tidak didukung oleh
kementrian terkait (PU dan Keuangan), maka rencana tetap menjadi rencana
belaka, tidak bisa direalisasikan.
Contoh ketidak-jelasan visi
transportasi itu terlihat dari kebijakan BBM di negeri ini tidak ada
juntrungnya. Tarik menariknya kebijakan pembatasan penggunaan BBM (bersubsidi
atau tidak) menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya lebih dikendalikan oleh
kekuatan kapital (industri otomotif) yang khawatir produk mereka akan turun
bila ada pembatasan penggunaan BBM. Bila pemerintah itu sungguh otonom dan
punya visi, maka harga BBM dibuat sesuai harga pasar, sedangkan BBM bersubsidi
khusus untuk angkutan umum (penumpang dan barang) serta nelayan, dengan maksud
agar harga barang-barang tidak naik dan nelayan tetap bisa bertahan hidup.
Lalu, alihkan dana yang untuk subsidi BBM itu untuk membangun infrastruktur dan
penyediaan sarana tranportasi yang baik sehingga warga merasa terfasilitasi;
untuk pendidikan dan kesehatan secara murah. Membiarkan kebijakan BBM tidak
jelas seperti sekarang ini, akan membuat negara hancur karena subsidi untuk BBM
terus meningkat, apalagi sekarang kita sudah menjadi negara pengimpor BBM.
Jebakan
motorisasi dan kuatnya Rezim Bina Marga ini menunjukkan bahwa tidak ada diregen
yang baik di negeri ini untuk pengembangan sektor transportasi. Ibarat orang bermain orkestra, nada suara antara alat satu dengan lainnya
itu sumbang, bertentangan sehingga tidak menghasilkan permainan musik yang
merdu didengar, tapi kacau balau. Di satu sisi mau melakukan pembatasan
penggunaan BBM (bersubsidi maupun tidak), tapi di sisi lain justru giat
membangun jalan tol, jalan layang, maupun jembatan beton/baja antar pulau yang
itu jelas-jelas akan memicu motorisasi dan otomatis pemborosan BBM.
Permainan orkestra itu terasa sumbang sekali kalau kita melihat kebijakan
infrastruktur transportasi dikaitkan dengan komitmen pemerintah untuk
mengurangi dampak emisi gas buang (yang disebabkan oleh kendaraan bermotor).
Pemerintah berjanji kepada dunia untuk mengurangi dampak emisi gas buang, tapi
tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberadaan moda non motorize transportation (NMT) dan pejalan kaki, sebaliknya
justru hanya memfasilitasi pergerakan motor saja.
Maut Selalu Menjemput
Jebakan motorisasi itu terasa amat di
Jakarta, sehingga yang terjadi kemudian adalah pembangunan infrastruktur di
Jakarta terjebak untuk melayani pergerakan motor. Banyak jalan layang dan
terowongan dibangun, tapi tidak menyelesaiakan
Masalah karena semakin banyak jalan
baru dibangun, semakin banyak pula jumlah pengguna kendaraan bermotor. Di sisi
lain, keberadaan jaringan rel kereta api yang banyak, tidak dapat dioptimalkan
pemakaiannya dan juga tidak dapat dikembangkan dengan alasan ketiadaan dana. Di
sini mestinya Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta dapat bersinergi untuk
mengoptimalkan dan mengembangkan jaringan rel kereta api, mengingat UU
Perkeretaapian yang baru memungkinkan Pemprov dapat masuk ke KA, sebagai
operator (pada jaringan rel yang sudah ada), tapi juga bisa membangun jaringan
rel baru pada kawasan yang belum ada. Kebijakan pembangunan infrastruktur di
Jakarta saat ini masih terjebak pada motorisasi dan Rezim Bina Marga, bahwa
jalan raya adalah panglima utama untuk bertransportasi. Mereka lupa bahwa jalan
raya selain bermakna sosial dan ekonomis, juga dapat berperan sebagai algojo
dengan sepeda motor sebagai mesin pembunuhnya. Menurut Kapolda Metro Jaya,
rata-rata tiga orang per hari meninggal di Jakarta karena kecelakaan lalu
lintas. Dan meskipun Pemerintah sudah mempunyai komitmen
untuk menciptakan Zero Accident, tapi belum terlihat jelas strategi
implementasinya sehingga jargon tidak terwujud. Maut tetap menjemput para
pemakai jalan di Jakarta.
Kececelakaan
Lalu Lintas di Wilayah Ditlantas Polda Metro Jaya 2005-2010
Tahun
|
Jumlah Kecelakaan
|
Jumlah Korban
|
Jumlah korban
|
Kerugian
|
|||
Tewas
|
Luka berat
|
Luka ringan
|
Benda
|
Materiil (Rp)
|
|||
2005
|
4.156
|
1.118
|
2.402
|
1.943
|
5.463
|
6.779
|
9.520.300.000
|
2006
|
4.407
|
1.128
|
2.372
|
2.188
|
5.688
|
6.585
|
7.693.727.000
|
2007
|
5.154
|
999
|
2.345
|
3.398
|
6.742
|
8.003
|
11.302.141.000
|
2008
|
6.393
|
1.169
|
2.597
|
4.317
|
8.083
|
10.131
|
12.249.420.000
|
2009
|
7.329
|
1.071
|
3.388
|
5.165
|
9.624
|
11.209
|
12.393.069.000
|
2010*
|
6.786
|
854
|
2.956
|
4.776
|
8.586
|
10.349
|
14.219.318.000
|
*) (s/d Oktober)
Sumber data :
Polda Metro Jaya, Direktorat Lalu Lintas, 2010
Sumber berita : Kompas, 23 Desember 2010
Trend yang Berkembang
Jumlah Kecelakaan Nasional, sumber: Instran,
data diolah, 2010
WORLD REPORT ON ROAD TRAFFIC INJURY
PREVENTION: SUMMARY
Upaya Mengurai Benang Kusu
Kebijakan pembangunan transportasi
publik adalah sebuah keputusan politik, bukan ekonomi. Oleh karena itu, usaha
untuk mengurai benang kusut persoalan transportasi publik tidak ada cara lain
kecuali dengan keputusan politik. Kita mengharapkan ada pimpinan negara yang
memiliki visi jelas terhadap pembangunan infrastruktur transportasi publik. SBY
bukan orang yang memiliki visi yang jelas, terbukti dia justru mendorong
percepatan pembangunan Tol Trans Jawa dan menghendaki terwujudnya pembangunan
Jembatan Selat Sunda (JSS) sebelum masa akhir jabatannya yang kedua, sementara
sebagai seorang militer mestinya dia mengetahui bahwa keberadaan jembatan
tersebut akan berpotensi terhadap percepatan disintegrasi antara Indonesia
Timur (yang semakin tertinggal) dan Indonesia barat yang mengalami percepatan
berlipat dalam infrastruktur transport. SBY sebagai doktor pertanian dari IPB
mestinya juga tahu kalau pembangunan Tol Trans Jawa yang akan merusak lahan
pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya. SBY juga tahu kalau kebijakan BBM
sekarang ini akan mendorong pemborosan pemakaian BBM. Sebagai orang yang
katanya dulu memakai KA Matramaja (Malang – Jakarta PP) SBY juga tahu kalau
kondisi KA ekonomi kita amat memprihatinkan dan perlu direnovasi. Tapi semuanya
itu dibiarkan tanpa arah yang jelas. Kita butuh pengambil kebijakan yang
memiliki visi jelas. Yaitu kembangkan angkutan umum massal baik berbasis rel,
bus, maupun angkutan antar pulau, karena itu yang akan memfasilitasi mobilitas
warga secara efektif dan efisien.
Karakteristik
Aangkutan Massal
(Kecepatan,
Biaya, Kapasitas Angkut)
No
|
Tipe Moda
|
Kecepatan
|
Biaya
|
Kapasitas
|
|
Km/jam
|
Juta USD/Km
|
Arah/ Jam-Lajur
|
|
1
|
Busway Mix
|
10–12
|
0,5-2,5
|
15000
|
|
Busway Mix
|
15–30
|
35.000
|
|
2
|
Kereta Api Mix
|
10-12
|
3-5
|
12.000
|
3
|
Light Train
|
15-25
|
12-25
|
18.000-40.000
|
4
|
Metro Surface
|
30-35
|
30-40
|
20.000-50.000
|
5
|
Metro Subway
|
30-35
|
85-105
|
25.000-70.000
|
Sumber : ITDP, 2003
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta membuat
PTM (Pola Transportasi Makro) dengan menyediakan pilihan-pilihan infrastruktur
yang akan dibangun sudah tepat, kecuali PTM revisi yang memasukkan enam ruas
jalan tol tengah kota yang menjadi salah sasaran. Yang perlu ditambahkan dalam PTM adalah perhatian
terhadap last mile, terutama pejalan
kaki dan sepeda, keduanya terlupakan karena kuatnya arus motorisasi yang
mendekte kekuasaan dan pakar dalam menyusun perencanaan transportasi. Sepeda
dan pejalan kaki tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen perjalanan,
meskipun setiap pergerakan ada unsur pejalan kaki. Pilihan infrastruktur dengan
membangun FO Anatasari dan Casablanca adalah pilihan yang amat keliru karena
justru akan menambah deret kemacetan di Jakarta lima tahun ke depan setelah FO
tersebut beroperasi. Sebaliknya revitalisasi sungai sebagai bagian integral
dari pengembangan infrastruktur transportasi di perkotaan malah tidak
dilakukan. Kita berharap agar Dinas dan Kementrian Pekerjaan Umum jangan hanya
terfokus pada bidang bina marga saja dengan membangun jalan dan jembatan, tapi
kembali ke khitoh sebagai “Pekerjaan Umum” yang mendorong terciptanya
infrastruktur transportasi unuk publik. ***
LAMPIRAN SAJA BILA DIPERLUKAN, BAGI YANG
BELUM TAHU
LANGKAH-LANGKAH
PENANGANAN KEMACETAN
VERSI
KANTOR WAPRES
- Memberlakukan
Electronic Road Pricing (Kemenhub, Pemprov DKI)
- Mengkaji
kebijakan perpakiran on street dan penegakan hukum (Pemprov DKI,
Kepolisian Pemprov DKI, Banten,
Jawa Barat, Otoritas )
- Perbaikan sarana-prasarana jalan Transportasi
Jabodetabek (Pemkab Bodetabek)
- Jalan tol dalam kota tambahan (Kemen PU Kemenkeu,
Kemenko Perekonomian),
- Menyusun kebijakan pembatasan kendaraan bermotor
(Kemenhub, Polri, Bappenas)
- Penyiapan lahan park and ride untuk mendukung KRL
(Kemenhub, BPN, Pemprov DKI, PT. KCJ)
- Meningkatkan kualitas, merevitalisasi dan memperluas
pedestrian way (Pemprov DKI)
- Sterilisasi jalur busway (Bus Rapid Transit)
(Pemprov DKI, polisi)
- Penambahan jalur busway hingga 12 koridor pada akhir
2012 (Pemprov DKI)
- Harga gas khusus transportasi (Pertamina, Kemen
BUMN, Kemen ESDM)
- Restrukturisasi angkutan bus kecil yang tidak
efisien (Kemenhub, Pemerintahan di Wilayah Jabodetabek)
- Mengoptimalkan KRL Jabodetabek dengan re-routing
(Kemenhub)
- Penertiban angkutan liar dan tempat perhentian
angkutan liar (Pemprov DKI)
- Mempercepat pembangunan MRT (Pemprov DKI)
- Proyek double-double track KRL Jabodetabek ruas
Manggarai – Cikarang (Kemenhub, Pemprov DKI)
- Mempercepat pembangunan lingkar dalam KRL yang
diintegrasikan dengan sistem angkutan massal (Kemenhub, Pemprov DKI, PT.
KAI)
- Percepatan pembangunan KA Bandara (Kemenkeu)
- Pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek
(Kemenko Perekonomian)
- Revisi Rencana Induk Transportasi Terpadu
Jabodetabek Kemenko Perekonomian
- Pendidikan masyarakat tentang kemacetan dan
disiplin berlalu lintas ( Kemenhub)
teirma kasih ulasan berita yang sangat menariknya salam sukses selalu
BalasHapuskunjungi juga pak saya di Obat Penyakit Stroke