Oleh: DARMANINGTYAS
Pemerintah,
dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tengah menyiapkan perubahan Kurikulum
2006 atau yang lebih dikenal dengan sebutan KTSP menjadi Kurikulum 2013. Uji
publik yang pertama terhadap naskah kurikulum baru tersebut dilaksankan akhir
November 2012 di Jakarta dan diharapkan pada Tahun Ajaran Baru 2013/2014
kurikulum tersebut dapat diimplementasikan, meskipun mungkin baru bersifat piloting (uji coba). Persoalan waktu
implementasinya ini masih menjadi perdebatan: serentak secara nasional atau piloting dulu saja?. Tapi bila merujuk
pengalaman sebelumnya, penulis lebih condong bahwa implementasi secara serentak
di tingkat nasional itu idealnya adalah pada Tahun Ajaran 2014/2015, yaitu pada
masa akhir jabatan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II agar lebih siap, tidak
terlalu terburu-buru.
Ganti Menteri, Ganti Kurikulum?
Komentar
publik secara spontan saat mendengar akan ada perubahan kurikulum adalah “Ganti
Menteri, Ganti Kurikulum”. Komentar semacam itu tidak terelakkan. Kenyataannya,
setiap kurun waktu tertentu, kurikulum pendidikan mengalami pergantian, dan
pergantiannya terjadi pada saat menteri pendidikannya baru. Betul bahwa secara
akademis kurikulum itu harus mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman. Hanya
saja, karena perubahan kurikulum selalu berimplikasi besar terhadap masyarakat,
terutama menyangkut biaya yang harus dipikul untuk membeli buku-buku baru, maka
perubahan kurikulum selalu membawa kehebohan tersendiri di masyarakat.
Pertanyaan
yang selalu dikemukakan kepada penulis adalah mengapa Kurikulum 2006 itu
diganti? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada yang bersifat politis/yuridis dan
akademis. Jawaban politis/yuridisnya adalah itu telah menjadi amanat dari RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan, serta
Inpres No.1 Thun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional:
Penyempurnaan Kurikulum dan Metode Pembelajaran Aktif Berdasarkan Nilai-nilai Budaya
Bangsa untuk Membentuk Daya Saing Karakter Bangsa. Penyempurnaan kurikulum
tersebut merupakan salah satu butir kontrak kerja M.Nuh sebagai Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan.
Sedangkan jawaban
akademisnya adalah seperti disampikan oleh Menteri M.Nuh kepada Wakil Presiden
Boediono, antara lain: 1). Kurikulum 2006 terlalu padat, banyak mata pelajaran
(Mapel) dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui
tingkat perkembangan usia anak; 2). Kurikulum belum sepenuhnya berbasis
kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; 3). Beberapa
kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya
pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills
dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi; 4). Kurikulum
belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat
lokal, nasional, maupun global, 5). Proses pembelajaran masih terpusat pada
guru (teacher center). 5). Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian
berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya
remediasi secara berkala. 6). Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang
lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Pengembangan
kurikulum diperlukn karena melihat tantangan masa depan yang semakin kompleks
dan perlu penyiapan diri dari pendidikan, seperti misalnya menghadapi globalisasi
yang diwujudkan melalui WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA; masalah lingkungan
hidup, percepatan teknologi informasi; konvergensi
ilmu dan teknologi; ekonomi berbasis pengetahuan; kebangkitan industri kreatif
dan budaya; pergeseran kekuatan ekonomi dunia; pengaruh dan imbas teknosains mutu;
investasi dan transformasi pada sektor pendidikan; dan hasil TIMSS dan PISA yang menunjukkan posisi
Indonesia selalu pada ranking bawah.
Alasan lain adalah
adanya tuntutan terhadap kompetensi masa depan yang lebih menekankan pada: Kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir
jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan
menjadi warga negara yang efektif, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran
terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang
mengglobal, memiliki minat luas mengenai hidup, memiliki kesiapan untuk bekerja,
serta memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya. Di sisi lain,
masyarakat memiliki persepsi bahwa Kurikulum 2013 ini terlalu menitikberatkan
pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter.
Adapun
elemen perubahan kurikulum ini mencakup Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Proses, Standar Isi, dan Standar
Penilaian. Sebagai contoh, standar proses dari yang semula terfokus pada eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi; dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyaji,
menyimpulkan, dan mencipta. Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi
juga di lingkungan sekolah dan
masyarakat. Guru bukan satu-satunya sumber belajar; serta sikap tidak diajarkan
secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan. Sedangkan pergeseran standar
penilaian yang dimaksudkan adalah betul-betul berbasis kompetensi; sehingga penilaiannya tidak hanya
berdasarkan hasil tes saja, melainkan menuju ke penilaian otentik, yaitu
mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan
proses dan hasil. Penilaian tersebut tidak hanya dapat dilakukan melalui Ujian
Nasional (UN) saja, tapi justru mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat
siswa sebagai instrumen utama penilaian. Di sini UN menjadi tidak relevan lagi.
Apa yang Baru?
Pertanyaan lain yang
selalu mengemuka adalah hal baru apakah yang ditawarkan oleh Kurikulum 2013?
Yang sudah dapat dipastikan adalah pengurangan jumlah mata pelajaran (Mapel) di
Kelas 1-3 SD dari 10 Mapel menjadi enam saja. Materi IPA-IPS di Kelas 1-3 SD
itu diintegrasikan dengan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarga-Negaraan),
Bahasa Indonesia, matematika, dan olah raga; bukan berdiri sendiri sebagai
Mapel. Mengapa? Agar Kelas 1-3 SD fokus pada Calistung (baca, tulis, dan berhitung) saja. Sedangkan untuk Kelas
4-6 SD masih terjadi tarik menarik antara mereka yang menghendaki pengintegrasian
seluruh kelas (1-6 SD) dengan mereka yang menghendaki pengintegrasian itu cukup
di Kelas 1-3, pada Kelas 4-6 muncul sebagai Mapel tersendiri. Pandangan pertama
beralasan agar pengurangan Mapel tersebut betul-betul dirasakan selama sekolah
di SD. Sedangkan pandangan kedua, beralasan bahwa tiap Mapel memiliki indikator
pencapaian masing-masing. Jika materi IPA dipaksakan bergabung dengan Bahasa
Indonesia, akan terjadi pendangkalan materi IPA (terhapusnya beberapa bagian
materi IPA), dampak negatifnya adalah prestasi kita di TIMSS dan PISA akan
menurun dan anak tidak banyak mengerti istilah-istilah IPA, sehingga tidak suka
membaca surat kabar/majalah yang mempunyai kolom sains. Tapi bila mau konsisten
dengan alasan pengembangan kurikulum, bahwa salah satunya karena hasil TIMSS
dan PISA Indonesia yang selalu di posisi ranking bawah, maka mestinya
pengintegrasian itu cukup di Kelas 1-3 SD saja. Sebab kalau seluruh kelas di
SD, maka itu bertentangan dengan alasannya itu sendiri (contradictio enterminis).
Kritik yang sama terjadi
pada pengintegrasian IPS. Prof.Dr. Taufik Abdullah sebagai salah seorang
narasumber dalam penyempurnaan kurikulum ini selalu mengingatkan jangan
melupakan sejarah. Kritik yang sama dikemukakan oleh Prof.Dr. Edi Swasono dalam
berbagai kesempatan. Menurutnya, penghilangan Mapel IPS dapat berdampak pada
anak-anak SD tidak kenal tanah air mereka dan tidak tahu kebesaran dan dinamika
perjuangan bangsa sendiri. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap sikap hidup
(budaya), patriotisme, nasionalisme, dan survival
bangsa ini.
Sedangkan Mapel Bahasa
Inggris di SD, sesungguhnya dalam Kurikulum 2006 ini pun tidak ada, sehingga
tidak ada istilah “penghilangan pelajaran Bahasa Inggris”. Mapel Bahasa Inggris
tidak diatur jadwalnya di SD. Ini artinya, bila guru SD memberikan pelajaran
Bahasa Inggris tidak dilarang, tapi bila tidak memberikan, juga tidak melanggar
aturan.
Isu lain yang menarik
untuk dicermati dari pada rencana Kurikulum 2013 ini adalah mengenai penambahan
jumlah jam pelajaran per minggunya serta terlalu besarnya muatan pendidikan
moral (Agama dan PPKN) untuk anak SD yang jauh lebih banyak daripada untuk
gerak fisik (olah raga) dan olah rasa (seni). Ironisnya ini justru terjadi pada
Kelas 1-3 SD. Padahal, teorinya, anak usia Kelas 1-3 SD hrus lebih banyak main
dan gerak fisik (fun), bukan yang
dogmatis-ideologis. Alasan penambahan jam pelajaran tersebut adalah karena ada
kecenderungan beberapa negara juga menambah jam pelajaran. Tapi perlu disadari
pula bahwa semakin lama anak di sekolah, maka sesungguhnya anak akan menjadi
semakin kuper (kurang pergaulan), kurang mengenal lingkungan geografis di
sekitarnya.
Hal baru lain adalah kegiatan Pramuka menjadi
Mapel ekstra wajib dari SD-SMTA. Hal ini tampaknya untuk mengimbangi kuatnya
gerakan radikalisasi sebagai konsekuensi dari kuatnya proses agamanisasi di
sekolah.
Konsekuensi dari perubahan kurikulum tersebut adalah
pertama, pentingnya peningkatan kapasitas guru agar mampu mengajar secara
menyenangkan, eksploratif, dan mampu merangsang murid untuk selalu bertanya
secara kritis. Tanpa adanya
guru seperti itu, maka kurikulum ini akan mengalami kegagalan. Guru merupakan
kunci keberhasilan dari implementasi kurikulum baru. Kedua, Ujian Nasional (UN)
sebagai penentu kelulusan jelas tidak sesuai lagi. Fungsi UN sebaiknya sebagai
media pemetaan saja dan dilaksanakan di ujung pembelajaran (Kels 6 SD/III
SMP-SMTA), tapi di tengah. Sebab bila kurikulum berubah tapi masih ada UN, maka
sesungguhnya bohong-bohongan saja.
DARMANINGTYAS, PENGURUS CABANG TAMANSISWA JAKARTA
Komentar
Posting Komentar