PERGESERAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UGM[1]
Oleh : Darmaningtyas[2]
Pengantar
Apa persepsi
masyarakat terhadap mereka yang dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru di
UGM? Jawabannya ada beberapa macam dan tergantung pada periodisasinya,
seperti yang dapat digambarkan di bawah ini.
- Sampai dengan akhir decade 1980-an ketika belum ada program ekstensi, komentar masyarakat terhadap mereka yang diterima di UGM adalah “wah hebat, pintar ya!”.
- Sejak awal decade 1990an ketika mulai diperkenalkan program ekstensi, komentar masyarakat terhadap orang yang diterima di UGM adalah “ikut program apa?”
- Paska tahun 2002 ketika mulai diperkenalkan berbagai macam tes masuk, maka komentar masyarakat terhadap mereka yang diterima di UGM sudah mengalami pergeseran yang cukup tajam, yaitu “lewat jalur apa dan berapa bayarnya?”.
Komentar-komentar itu riil, bukan
cerita fiksi yang penulis karang, tapi ungkapan-ungkapan verbal spontan yang penulis
coba tuangkan dalam bentuk kalimat tertulis. Komentar-komentar semacam itu selalu
muncul setiap penerimaan mahasiswa baru. Dari komentar-komentar verbal spontan
itu kita mengetahui secara jelas bahwa ada pergeseran persepsi masyarakat
terhadap mereka yang dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru di UGM. Bentuk
komentar masyarakat tersebut sesuai dengan tingkat pereodisasinya, tapi
pergeserannya cenderung mengarah pada reduksi tingkat kecerdasan seseorang,
dari yang pertama-tama dipuji karena kepinterannya, kemudian turun ke jenis program
yang mengantarkannya, dan kemudian turun lagi ke masalah jalur yang ditempuh
maupun besaran uang yang dibayarkan untuk dapat diterima sebagai calon
mahasiswa di UGM. Atau dengan kata lain, dari sesuatu yang tidak mewujud secara
fisik, kemudian turun agak mewujud, dan terakhir wujud riil dalam bentuk nilai
nominal rupiah.
Informasi
Formal
Perubahan persepsi itu tidak salah, karena ketika kita coba mencari tahu secara formal melalui http://um.ugm.ac.id dapat memperoleh informasi mengenai program penerimaan mahasiswa baru, termasuk ragam program UGM 2009. Setidaknya ada tiga model penerimaan mahasiswa baru, yaitu :
1). PENELUSURAN BIBIT UNGGUL:
a. Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu (PBUTM):
· Ditujukan bagi siswa dengan kemampuan akademik tinggi tetapi tidak mampu secara ekonomi, dan mantap membangun masa depan bersama UGM.
· Peserta diusulkan oleh sekolah.
· Tiap sekolah mengajukan maksimal 2 (dua) peserta.
· Peserta dibebaskan dari biaya pedaftaran.
· Biaya pendidikan selama 8 (delapan) semester ditanggung oleh mitra UGM.
b. Penelusuran Bibit Unggul Berprestasi (PBUB)
- Ditujukan bagi siswa pemenang kompetisi bidang ilmu pengetahuan tingkat nasional atau finalis olimpiade bidang ilmu pengetahuan tingkat internasional.
- Peserta diusulkan oleh sekolah.
- Pilihan program studi harus sesuai dengan bidang prestasinya.
- Biaya pendidikan selama 8 (delapan) semester seluruhnya ditanggung oleh UGM untuk PBUB beasiswa dan ditanggung oleh orangtua/wali untuk PBUB mandiri.
- Peserta yang lolos seleksi berkas wajib mengikuti Tes Potensi Akademik (TPA) yang diselenggarakan oleh UGM di sekolah masing-masing.
c. Penelusuran Bakat Olahraga dan Seni (PBOS)
- Ditujukan bagi siswa dengan bakat khusus di bidang olahraga atau seni.
- Peserta diusulkan oleh sekolah.
- Biaya pendidikan ditanggung oleh orangtua/wali peserta.
- Peserta yang lolos seleksi berkas wajib mengikuti tes ketrampilan di UGM sesuai bakatnya.
- Program studi Pendidikan Dokter tidak menerima mahasiswa baru melalui PBOS.
d. Penelusuran Bakat Swadana (PBS)*
- Ditujukan bagi siswa dengan kemampuan akademik tinggi.
- Peserta diusulkan oleh sekolah.
- Biaya pendidikan ditanggung oleh orangtua/wali peserta.
- Peserta wajib mengikuti Tes Bakat Skolastik (TBS) dan tes Ilmu Pengetahuan Dasar (IPD) di lokasi yang dipilih saat mendaftar.
- Peserta yang lolos seleksi wajib mengikuti tes wawancara di UGM.
e. Penelusuran Bibit Unggul Pembangunan Daerah (PBUPD)*
- Ditujukan bagi siswa dengan kemampuan akademik tinggi.
- Program ini merupakan bentuk kepedulian UGM terhadap pembangunan daerah melalui kemitraan antara daerah dengan UGM, berbasis potensi wilayah dan kearifan lokal menuju kemajuan dan martabat bangsa Indonesia.
- Peserta diusulkan dan dibiayai oleh Pemda, dinas-dinas pemerintah di daerah, institusi, dan/atau perusahaan yang kredibel di daerah.
*Informasi PBS dan PBUPD akan ditampilkan mulai Desember 2008.
2. UJIAN TULIS
a. Diadakan untuk memilih calon mahasiswa baru yang berkualitas dengan kemampuan akademik dan potensi unggul untuk menunjang penyelesaian pendidikan di UGM sesuai batas waktu yang telah ditetapkan.
b. Materi seleksi meliputi Tes Potensi, Ilmu Pengetahuan Dasar, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial.
c. Ujian dilaksanakan di Yogyakarta, Madiun, Jakarta, Tangerang, Cirebon, Palembang, Pekanbaru, Balikpapan, Lhokseumawe (NAD), Bandar Lampung, dan Batam.
3. SELEKSI NASIONAL MASUK
PERGURUAN TINGGI NEGERI (SNMPTN)
a. Pada program ini UGM menerima sebanyak-banyaknya 18% dari total daya tampung.
b. Diselenggarakan oleh Panitia Pusat SNMPTN.
c. Keterangan lengkap dapat dilihat di situs http://um.ugm.ac.id/.
Komponen biaya pendidikan yang
dikenakan di UGM: Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP): Rp.
500.000,00/semester, biaya Operasional Pendidikan (BOP) Program studi kelompok
ilmu kesehatan dan eksakta: Rp. 75.000,00/sks/semester. Program studi kelompok
non-eksakta : Rp. 60.000,00/sks/semester. Untuk
Sumbangan Peningkatan Mutu akademik dapat dilihat pada http://um.ugm.ac.id
Refleksi
Informasi formal yang dapat diakses oleh semua orang itu menunjukkan secara sah bahwa memang ada beragam model cara masuk untuk menjadi mahasiswa baru di UGM, sehingga terjadinya pergeseran persepsi masyarakat tersebut tidak keliru. Kenyataannya, jumlah mahasiswa baru yang dijaring melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) – dulu pernah bernama SKALU, Perintis I, Sipenmaru, UMPTN, dan SPMB—semakin sedikit, yaitu sebanyak-banyaknya 18% saja dari total daya tampung. Padahal, ungkapan verbal spontan “hebat ya” itu diperuntukkan bagi mereka yang lolos sebagai calon mahasiswa UGM melalui sejenis UMPTN itu dan atau dulu melalui PMDK. Yang terbanyak adalah model-model seleksi masuk yang public tidak tahu jelas apa kriterianya. Meskipun secara formal sudah dituliskan criteria penerimaannya, seperti ditulis di atas, tapi yang terjadi di masyarakat muncul bisik-bisik yang kurang enak didengar, yaitu bahwa konon kriteria yang paling menentukan diterima/tidaknya calon mahasiswa adalah besaran uang yang dibayarkan oleh calon mahasiswa. Seberapa jauh kebenaran isu yang disampaikan secara bisik-bisik tersebut memang hanya orang dalam UGM yang mengetahuinya.
Mengecilnya jatah kursi bagi calon mahasiswa baru yang dijaring melalui model tes SNMPTN –apa pun namanya akan diubah sesuai selera pejabat— dan PMDK masa lalu itu amat disayangkan mengingat model tes tersebut –apa pun namanya—sebetulnya merupakan model seleksi masuk ke UGM –dan PTN-PTN lainnya—yang paling obyektif, adil, murah dan mudah dijangkau (bagi masyarakat), efisien, efektif, serta tidak merusak tatanan pendidikan. Sebab tes ini dilaksanakan setelah kelulusan SMTA, dilaksanakan di setiap daerah secara serentak, peserta memiliki keleluasaan menentukan pilihan (PTN, Fakultas, maupun Jurusan), semua yang lolos tes memiliki hak sama untuk diterima sebagai calon mahasiswa baru, membayar uang yang sama, dan memperoleh hak-hak yang sama untuk menjadi mahasiswa UGM. Model seleksi mahasiswa baru seperti itu juga memungkinkan UGM memperoleh calon mahasiswa yang beragam dari aspek etnis, suku, agama, kedaerahan, status ekonomi (terkait dengan capital), social (terkait dengan relasi), dan budaya, tetapi mempunyai tingkat kecerdasan yang hampir seimbang. Keragaman latar belakang etnis, suku, agama, daerah, status ekonomi, social, dan budaya itu dapat memperkaya UGM sebagai komunitas akademik. Pada masa kuliah decade 1980-an dulu, saya banyak menemukan kawan dari seluruh wilayah Indonesia yang kuliah di UGM. Konon, informasi yang saya dengar, saudara-saudara kita dari Indonesia timur (NTT, Maluku, dan Papua) memang mendapat kuota 10 – 20 untuk kuliah di UGM melalui kebijakan affirmative action. Kebijakan affirmative action ini baik untuk kepentingan integrasi bangsa secara keseluruhan.
Seleksi penerimaan mahasiswa baru dengan berbagai model seperti yang dikembangkan oleh UGM sejak diprivatisasi dalam bentuk BHMN jelas tidak adil dan penuh distorsi, karena pada kenyataannya besaran uang masuk yang dapat dibayarkan oleh calon mahasiswa lebih menentukan seseorang diterima sebagai calon mahasiswa UGM. Golongan miskin, meskipun memiliki kecerdasan tertentu sulit masuk, karena beasiswa diberikan setelah mereka menjadi mahasiswa, sementara dirinya tidak mampu membayar sejumlah uang sebagai persyaratan untuk menjadi mahasiswa baru. Dengan kata lain, konsep beasiswa itu konsep bohong-bongongan. Apalagi bila yang dibuka melalui program SNMPTN itu hanya 18%, maka berarti kuota untuk yang tidak mampu itu ya sekian persen dari 18% tersebut saja. Demi menjaga kemurnian dasar pendirian UGM, maka kembalikan UGM menjadi milik public dengan model seleksi melalui SNMPTN –atau apa pun namanya nanti—karena itu yang lebih obyektif, adil, efektif, efisien, dll. ***
[1] Catatan untuk bahan diskusi pada
lokakarya dengan tema Mencari Format
Ideal Sistem Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada, di UGM tanggal 22
November 2008 yang diselenggarakan oleh Senat UGM.
[2] Darmaningtyas, lulusan Fakultas Filsafat
UGM 1990, mendedikasikan diri untuk perbaikan sistem pendidikan dan
transportasi berkelanjutan.
Ooo begitu tho metodenya.
BalasHapusKok gak sederhana ya sistem testnya. Ruwet seperti birokrasi di Indonesia.